Festival Candra Benawa membuat generasi penerus jadi tahu, bahwa fakta kejayaan jauh lebih sepuh daripada dongeng perang dan kesedihan.
Nyadran Akbar menjadi bagian penting Festival Candra Benawa yang dihelat pada 5 – 6 Juli 2024. Agenda dilaksanakan di lima kawasan sepuh pembatas Blora dan Bojonegoro tersebut, menjadi simbol kerukunan, kejayaan, dan kebersyukuran Masyarakat Bengawan.
Baca Juga: Kesenian Njipangan, Menginisiasi Munculnya Budaya Bengawan
Nyadran (syukuran) itu dilaksanakan secara serentak di Desa Ngloram (Blora), Payaman (Bojonegoro), Jipang (Blora), dan Tebon (Bojonegoro), untuk kemudian disatukan ke Desa Getas (Blora) menggunakan perahu. Lima titik desa sepuh ini, konon merupakan Proliman Keramat yang dulu menjadi pusat jantung peradaban Tlatah Jipang.
Tlatah Jipang identik Masyarakat Bengawan. Tempat para Brahmana Bengawan. Kejayaan Bengawan Jipang sudah tercatat sejak abad 11 M, diperjelas abad 13 M, diperkuat pada abad 14 M. Kemudian diteruskan hingga abad 16 M. Baru pada abad 19 M, kisah kejayaan Bengawan seolah hilang, terganti dongeng tentang perang dan kesedihan.
Festival Candra Benawa bertujuan menceritakan kembali Kejayaan Bengawan yang terjadi sejak abad 11 hingga 16 M itu. Tujuannya agar generasi penerus tahu, bahwa Kejayaan Bengawan benar adanya. Agar generasi penerus juga tahu, bahwa fakta kejayaan jauh lebih tua daripada dongeng perang dan kesedihan.
Para Brahmana Bengawan
Tlatah Jipang dikenal sebagai Tanah Para Brahmana. Lebih tepatnya Brahmana Bengawan. Brahmana, di sini dimaknai sebagai kasta bijak bestari. Para sepuh nan bijak, yang selalu lahir di tiap zaman dan generasi. Baik Brahmana zaman Hindu Budha (Mpu), maupun Brahmana zaman Islam (Wali).
Brahmana Ngloram
Ngloram Blora menjadi titik penting sekaligus bukti bahwa Brahmana Bengawan punya peran kebajikan. Pada abad 11 M, tepatnya pada 1041 M, Raja Airlangga Medang Kahuripan menulis Prasasti Pucangan sebagai bukti keberadaan Ngloram sebagai pengendali pralaya. Para Brahmana Bengawan menjadi penengah antara dominasi Sriwijaya (Pesisir) dan Medang Kuno (Pegunungan).
Brahmana Merbong
Merbong (Payaman) Bojonegoro, juga jadi titik penting sekaligus bukti keberadaan Para Brahmana Bengawan. Pada 1248 M, Raja Wisnuwardhana Singashari menyebut Para Brahmana Bengawan telah membantu Raja Ken Arok dalam menyatukan Jenggala (Pesisir) dan Panjalu (Pegunungan). Berkat penyatuan itu, Ken Arok mampu mendirikan Tumapel, yang kelak dikenal sebagai Singashari.
Brahmana Jipang
Jipang Blora menjadi titik penting, yang namanya sudah dicatat Prasasti Maribong (1248 M) sebagai Wateg Atagan Jipang. Sejak zaman Singashari, Jipang sudah dikenal sebagai wilayah Brahmana. Lalu pada zaman Raja Hayam Wuruk Majapahit (1358 M), Jipang juga masyhur sebagai titik penting kejayaan Bengawan.
Brahmana Tebon
Gunung Jali Tegiri (Tebon) Bojonegoro menjadi titik penting masuknya Islam damai tanpa peperangan. Tercatat pada 1344 M, Gunung Jali menjadi lokasi dakwah Syekh Jumadil Kubro (Mbah Jimatdil Kubro), di tengah masa keemasan Majapahit. Sebagai Brahmana Islam (Waliyullah), Mbah Jimatdil Kubro mampu membawa Islam damai di tengah keyakinan lama. Islam damai dan toleran yang dibawa Mbah Jimatdil Kubro ini, kelak dilanjutkan Para Brahmana Islam berikutnya, seperti Mbah Keramat Songo Jipang, Mbah Sunan Ngudung Ngloram, hingga Mbah Nursalim Tegiri.
Brahmana Getas
Getas Blora menjadi titik lintasan para Brahmana Bengawan. Sejak Medang Kahuripan, Singashari, hingga Majapahit, Getas menjadi bagian dari titik penting yang selalu dicatat prasasti. Dalam acara Festival Candra Benawa ini, Getas menjadi titik penyatu semangat kejayaan Bengawan. Doa syukur dan semangat kejayaan dari Ngloram, Payaman, Jipang, dan Tebon, kemudian disatukan dan kembali dimunculkan di Getas.
Tlatah Jipang (Bojonegoro dan Blora) sebagai Wangsa Bengawan, merupakan fakta penting yang harus diketahui generasi penerus. Kejayaan Bengawan bukan sekadar dongeng picisan, tapi fakta kejayaan yang terukir abadi, melintas bermacam tahun dan zaman. Festival Candra Benawa diadakan agar generasi penerus tahu, bahwa fakta kejayaan jauh lebih sepuh daripada dongeng perang dan kesedihan.