Festival Candra Benawa menginisiasi kembali munculnya kesenian Islam kuno yang lahir dari rahim Bengawan. Seni peninggalan Para Wali Njipangan.
Festival Bengawan bertajuk Candra Benawa Getas yang dihelat pada 5 – 6 Juli 2024 di sungai pembatas Bojonegoro (Jawa Timur) dan Blora (Jawa Tengah) itu, bertujuan menginisiasi munculnya kembali Budaya Bengawan. Kebudayaan Njipangan yang telah lama dilupakan.
Festival Candra Benawa berlangsung di 5 titik sepuh di Kabupaten Bojonegoro dan Blora. Di antaranya adalah Ngloram, Payaman, Jipang, Tebon, dan Getas. Kelima desa itu, masyhur sebagai titik paling keramat di tengah Bojonegoro dan Blora, yang dulu bernama Tlatah Jipang.
Baca Juga: Candra Benawa, Menjaga Kelestarian Budaya Bengawan
Peradaban Jipang terdeteksi sejak zaman Raja Airlangga (1041 M). Kemudian dipertegas pada zaman Singashari (1248 M). Dan diperkuat zaman Majapahit (1358 M). Diukir Airlangga, Wisnuwardhana, dan Hayam Wuruk sekaligus. Fakta kewilayahan Jipang (Blora dan Bojonegoro), masih bertahan hingga tahun 1800 M.
Pada tahun 1358 M, Maha Raja Majapahit, Raja Hayam Wuruk, memuliakan Tlatah Jipang dengan membuat sebanyak 18 titik Naditirapradeca (pelabuhan sungai) di Tlatah Jipang. Membentang dari Jipang Hulu (Margomulyo – Menden) sampai Jipang Hilir (Baureno – Rengel).
Dari data di atas, terdapat fakta bahwa tiga Maha Raja Nusantara (Raja Airlangga, Raja Wisnuwardhana, dan Raja Hayam Wuruk), begitu menghormati para Brahmana Jipang, sebagai pengendali ritme Bengawan. Ini bukti bahwa Bojonegoro dan Blora sebagai Wangsa Bengawan.
Pada era kedatangan Islam, Tlatah Jipang tercatat sebagai wilayah yang cukup awal mengenal Islam (abad 14 M). Data ini tercatat pada History of Java, Hikayat Banjar, hingga Tarikh Aulia. Sumber tersebut menyebut, Tlatah Jipang jadi lokasi dakwah para Brahmana Islam seperti Syekh Jimatdil Kubro (Mbah Jimat Tegiri), Kramat Songo Jipang, hingga Sunan Ngudung Loram.
Tlatah Jipang mengalami masa kejayaan Bengawan sejak era Hindu Budha. Ketika kemudian Islam datang, Bengawan juga masih jadi entitas penting yang dirawat dan dimuliakan. Para Waliyullah menjadikan Bengawan sebagai pusat dakwah sekaligus simbol tumbuh kembangnya ajaran Islam.
Islam masuk Tlatah Jipang secara damai tanpa konflik. Para Brahmana Islam (Waliyullah) membangun zawiyah (padepokan) di pinggir sungai Bengawan, berdampingan dengan tradisi keyakinan lama. Dari persinggungan itu, seni budaya Islam pun tercipta dengan tanpa menghilangkan kearifan sebelumnya.
Bermacam kesenian Islam khas Bengawan pun lahir di Bumi Njipangan. Di antara kesenian Islam yang lahir di Bumi Njipangan adalah Kesenian Sandur Njipangan, Barongan Njipangan, Jedor Njipangan, Kentrung Njipangan, Emprak Njipangan, hingga Berjanjen Njipangan. Sumber Belanda menyebut kesenian itu sebagai kesenian Islam Kuno khas Masyarakat Bengawan.
Tak semua jenis kesenian Njipangan itu lestari. Sandur bertahan di Bojonegoro, Barongan bertahan di Blora. Sementara Jedor, Kentrung, dan Berjanjen Njipangan masih ada, tapi mengalami perubahan bentuk. Berjanjen yang semula seni teaterikal berbasis puji-pujian, kini sekadar puji-pujian saja, tanpa menyertakan unsur teaterikalnya.
Candra Benawa dihelat pada 5 – 6 Juli 2024 ini, bertujuan utama memunculkan kembali bermacam kesenian Islam khas Tlatah Njipangan, seni peninggalan Para Wali Jipang. Ini alasan utama festival itu menampilkan Seni Sandur sebagai penyimpul antara Jedoran Bojonegoro dan Barongan Blora. Ketiganya merupakan kesenian Islam Kuno yang lahir dari rahim Peradaban Bengawan.