Karya-karya amal Kiai Dahlan, sebagai salah satu pendorongnya, lahir karena adanya dorongan mati.
Nasib adalah kesunyian masing-masing. Begitu Chairil Anwar menuliskan dalam sajaknya. Nasib menjadi rahasia, temaram, senyap, lamat-lamat, dan tidak sedikitpun memberikan bocoran. Manusia hanya menjalani pelan-pelan alur nasibnya. Manusia adalah lakon sekaligus objek dalam perjalanan nasibnya.
Nasib juga yang mengantarkan Lee Si-woo sampai kepada kesimpulan bahwa menikah dan memiliki anak adalah suatu musibah. Dituding oleh ayahnya sebagai penyebab kematian ibunya, setelah melahirkan dirinya menjadi sebab hubungan dirinya dengan ayahnya tidak pernah akur. Lahir ke dunia, bukanlah permintaan dan keinginan Lee Si-woo, tetapi kematian ibunya dibebankan ke pundaknya.
Barangkali apa yang dipikirkan Lee Si-woo serupa juga dengan Soe Hok Gie. Nasib buruk adalah pernah dilahirkan di dunia. Persoalan lahir di dunia, kita semua tidak pernah mengajukan proposal permohonan untuk diciptakan dan dilahirkan. Semua terjadi karena kehendak Tuhan lewat perantara orang tua kita masing-masing.
Faktanya, kini kita telah terlahir di dunia dengan membawa nasib sunyi masing-masing. Fakta pula, kelahiran bukanlah ujung dalam peraduan nasib manusia, sebaliknya, adalah awal pula aneka kisah setiap manusia. Kelahiran bukan terminal akhir, melainkan terminal keberangkatan. Ke mana akan menuju?
Kiai Dahlan sangat takut akan nasib dirinya setelah mati. Agama yang beliau yakini menyatakan bahwa setelah manusia meninggal dunia, dia akan mempertanggung-jawabkan dirinya di akhirat kelak: Selamat atau celaka? Surga atau neraka?
Sebuah tulisan di meja kerja Kiai Dahlan menggambarkan ketakutan dan kekhawatiran beliau. “Hai Dahlan,” tulis beliau sebagai pengingat, “sungguh bahaya yang menyusahkan itu terlalu besar. Demikian pula perkara-perkara yang mengejutkan di depanmu, dan pasti engkau akan menemui kenyataan, demikian itu. Mungkin engkau selamat, juga mungkin tewas menemui bahaya.”
Diri Kiai Dahlan amat mengkhawatirkan nasib dirinya akan kematian dan balasan setelahnya. Dorongan kematian memberi semangat untuk melakukan amal. “Karya-karya amal Kiai Dahlan, sebagai salah satu pendorongnya, lahir karena adanya dorongan mati,” tulis Yusron Asrofie dalam tesisnya.
Begitulah pribadi Kiai Dahlan. Hidupnya diarahkan untuk menuju ke terminal kematian dan kehidupan setelahnya. Kelahiran mungkin adalah peristiwa yang mungkin tidak bisa terelakkan. Kelahiran barangkali juga tragedi yang menimpa setiap individu tanpa pernah diminta dan diinterupsi.
Namun, kematian dan kehidupan setelahnya, masing-masing manusia dapat mengupayakan nasibnya. Bagaimana nasib setelah kematian, manusia sepenuhnya memiliki kuasa. Manusia sepenuhnya berkehendak akan seperti apa nasibnya kelak setelah meninggal dunia.
Perasaan hati-hati dan was-was Kiai Dahlan perlu untuk bersama-sama direnungkan. “Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka dan sengsara selama-lamanya,” kata Kiai Dahlan.
Agar hidupnya selamat, Kiai Dahlan mewasiatkan kepada setiap individu untuk terus-menerus menggunakan akal pikirannya untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan memberi petunjuk yang menunjukkan bekal manusia dalam menjalankan kehidupannya. Ilmu pengetahuan adalah pelita yang menunjuki mana yang benar dan salah; baik dan buruk; boleh dan terlarang.
Menurut Kiai Dahlan, memikirkan hakikat dan tujuan hidup manusia, apa perlunya hidup di dunia, apa yang perlu dicari selama hidup di dunia, dan ke mana akan menuju setelah hidup di dunia adalah di antara ilmu pengetahuan dan kebenaran yang selalu dicari oleh manusia.
Pemberdayaan daya pikir secara terus-menerus untuk memoeroelh ilmu dan kebenaran sejati memperoleh tempat yang istimewa dalam pribadi Kiai Dahlan. Ketiganya adalah alat untuk mendapatkan keselamatan. Keselamatan di dunia, utamanya keselamatan di akhirat. Tanpa mempergunakan daya pikirnya, kesejatian manusia akan tereduksi.
“Apakah kamu mengira bahwasanya kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami”, wasiat Kiai Dahlan dengan mengutip Al-Furqon ayat 44. Jika manusia tidka mendayagunakan kemampuan berpikirnya untuk memahami dan memperoleh ilmu yang benar, manusia layaknya binatang ternak, bahkan bisa jadi lebih sesat.
Dan, ilmu yang utama adalah ilmu tentang tujuan hidup manusia: Ke mana akan menuju setelah mati?