Subagio Sastrowardoyo membuka bukunya yang berjudul “Sosok Pribadi Dalam Sajak” dengan dua kalimat, yang menurut hemat saya, adalah sebuah sindiran halus mengenai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat kita, baik di masa lalu maupun di masa sekarang.
“Ini bukan kecaman terhadap Chairil Anwar. Kurang ada keberanian pada saya untuk mengutik-utik kedudukan tokoh sastra kenamaan itu.”
Dalam paragraf selanjutnya, Subagio menulis bahwa sekalinya seseorang telah mencapai kharisma, yakni memiliki kedudukan dalam masyarakat, maka sulit opini publik tentangnya bisa dibelokkan.
Subagio memberikan contoh yang terjadi pada Rendra, yang puisi-puisinya kita dengar dinyanyikan anak-anak muda penikmat senja dan kopi itu.
Rendra pernah gagal menampilkan Hamlet di atas panggung karena kelemahan penyutradaraan, menurut Subagio. Pun demikian, publik manggut-manggut saja ketika Rendra berkilah bahwa ia memberikan sentuhan ‘urakan’ dalam pementasan tersebut.
Seni memang tak sama dengan pekerjaan-pekerjaan eksak yang bisa diukur keberhasilannya dengan prosentase capaian atau pelaksanaan. Saya sendiri bahkan tidak bisa menjelaskan mengapa saya menyukai suatu karya tertentu.
Sejalan dengan seni, politik pun demikian. Penilaian yang sudah lama dibentuk di dalam masyarakat akan sangat sulit dibelokkan, kecuali sebuah ‘bom’ tiba-tiba meletus.
Dalam satu kesempatan, saya pernah menyampaikan kritik tulisan saya pada Tri Rismaharini, Ibu sekaligus Walikota dari arek-arek Suroboyo. Hasilnya, argumen saya ditolak mentah-mentah.
Saya tidak mengatakan dipatahkan, tapi ditolak tanpa bisa disebutkan mana bagian dari argumen yang salah. Heuheu 85% memang kekuatan massa yang luar biasa.
Fenomena seperti ini bukan saja terjadi pada Risma. Beberapa bulan lalu, suhu di Indonesia bahkan lebih panas dari suhu di negara-negara dengan Gurun pasir. Betul, hanya karena dua pasang calon, keributan terdengar sampai ke langit ke-7.
Para pendukung Jokowi tidak terima jikalau Jokowi-Makruf dikritik. Sejalan dengan Jokowi-Makruf, pendukung Prabowo-Sandi juga bahkan ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mendukung mereka menang, maka ia khawatir banyak orang tidak mau menyembah Tuhan lagi.
Nabs, kenapa orang bisa menjadi buta akan kebenaran? Atau tiba-tiba tuli? Karena kita ada dalam budaya yang malas untuk mencari tahu dan takut sekali menjadi berbeda.
Seperti sekelompok kerbau yang digiring, mereka takut dipecut jika keluar jalur. Padahal bisa jadi pemegang pecut ini seorang yang tua, yang tidak lagi punya daya untuk berlari mengejar jika kerbau-kerbau gembalanya kabur.
Akibatnya mereka mengabaikan kanan-kiri untuk tetap berjalan lurus, sedang Tuhan menyebar kebaikan dan kebenaran melalui berbagai hal.
Kenapa sih, Nabs, kita masih saja menutup mata dan pura-pura tidak melihat?
Jika kita masih merasakan betapa buruknya perjalanan dari Surabaya Barat ke pusat, artinya ada yang memang masih kurang. Jika toh masih saja mengalami kebanjiran saat hujan turun, artinya masih ada yang kurang dalam penataan kota.
Tugas masyarakat adalah mengingatkan. Tugas penikmat adalah mengingatkan. Bukan begitu, Nabs?
Jika tidak ada kritik, maka dari mana sebuah kebijakan akan diperbaiki? Pelayanan akan ditingkatkan? Penampilan akan dipersiapkan lebih matang? Hehehe
Selamat hari Sabtu, Nabsky. Selamat menyambut akhir pekan yang semoga tidak suram.