Kosong-kosong, mulai dari nol, dengan demikian, adalah sebentuk negosiasi untuk di satu sisi penihilan, penghapusan, peniadaan atas segala kesalahan.
Kosong-kosong ya. Mulai dari nol/awal lagi ya. Kalimat-kalimat itu di antara sebagian yang populer di momen lebaran. Lebaran identik dengan meminta-dan-memberi maaf kepada sesama. Bermaaf-maafan adalah jalan untuk memulai hubungan baru, meski tidak sepenuhnya baru, di antara sesama.
Benar, memberi-dan-meminta maaf bukanlah garansi untuk memulai hubungan yang sepenuhnya baru. Lazimnya dalam segala hubungan terdapat ala, luka, dan ketidaknyamanan. Meski demikian, maaf adalah permulaan yang harus tetap ditempuh.
Tentu saja maaf tidaklah cukup. Hannah Arendt, sebagaimana pernah saya tulis di Jurnaba, memberi rumus untuk rekonsiliasi hubungan antarsesama berupa maaf dan janji. Maaf tidaklah cukup, tanpa memberi garansi untuk tidak terulangnya kesalahan yang sama di kemudian hari. Maaf haruslah berbarengan dengan janji. Maaf hanya akan tetap memiliki nilai sakral dan keampuhan saat dibarengi dengan janji. Tanpanya, maaf hanyalah manis di bibir memutar kata.
Maaf, memberi dan menerima, adalah upaya untuk berdamai dengan masa lalu. Penerimaan spenuhnya atas masa lalu, dibasuh-sempurnakan dengan upaya pemaafan. Sedangkan janji adalah batu tulis berisi kontrak tentang upaya penyembuham dan perbaikan bagi kehidupan damai di masa mendatang.
Tentu saja itu tidak mudah, menempatkan janji sebagai garis linier dari sebuah maaf. Penghubung antara keduanya adalah komitmen. Saat meminta maaf atas kesalahan, haruslah paralel dengan janji untuk tidak mengulang kesalahan. Saat memberi maaf, dibarengai dengan kesediaan-kelapangan dada untuk berdamai dengan hal yang tidak menyenangkan. Terus-menerus. Itulah komitmen atas maaf dan janji.
Kosong-kosong, mulai dari nol, dengan demikian, adalah sebentuk negosiasi untuk di satu sisi penihilan, penghapusan, peniadaan atas segala kesalahan. Di sisi lainnya adaah sebentuk pengakuan, penginsafan, dan penegasan untuk memulai kebaikan. Penghilangan dan pembersihan hati dari nafsu dan kesalahan, dibarengi dengan penegasan hati kepada kebaikan.
“Hendaklah hati kosong bersih. Setelah bersih seperti semula sewaktu lahir ke dunia, baru menyerahkan dirinya kepada Allah,” begitu pemaknaan Kiai Dahlan tentang makna kalimat tahlil laailaaha illallaah. Kalimat tahlil yang kita persaksikan itu berisi penihilan dan penegasan sebagai satu rangkaian tak terpisahkan.
Laailaaha bermaksud membuang, meniadakan, menghilangkan segala hal yang ada di dalam hati manusia tentang yang dipertuhankan dan diibadahi. Illallah adalah menegaskan, mena’kidkan bahwasanya di hati manusia, hanyalah Allah yang layak dipertuhankan dan diibadahi.
Kalimat syahadat akan menjadi tali pengikat yang kuat dan kokoh saat setiap manusia membersihkan hati dari nafsu yang menolak kebenaran ketauhidan Allah. Setelah hati bersih lantas berjanji dan berkomitmen untuk hanya menuhankan dan menyembah Allah semata. Pemaafan atas kesalahan adalah pembuka untuk pengakuan atas ketauhidan yang murni.
Kiai Dahlan melihat bahwa saat itu ketauhidan dan keimanan kaum Muslim tidak murni dan kokoh karena hati mereka belum bersih disebabkan hawa nafsu yang mengikat diri-diri setiap manusia dengan kebiasaan, adat istiadat, dan sesembahan lainnya selain Allah. Selama belum membersihkan hati dari hal-hal itu, maka pengakuan kepada Allah tidaklah benar.
Setalah hati manusia bersih dengan pengimanan yang lurus kepada Allah Swt, Kiai Dahlan menekankan pentingnya memberi bukti atas pengakuan keimanan tersebut. Iman yang tertancap di dalam hati haruslah dibuktikan dengan tulus dalam perbuatan.
Orang yang memiliki keimanan yang lurus lantas ditunjukkan dengan amal perbuatan adalah manusia beragama yang sesungguhnya. Salah satu murid Kiai Dahlan menjelaskan salah satu hal yang dipelajarinya dari Kiai Dahlan, “orang beragama adalah orang yang menghadapkan jiwanya kepada Allah dan berpaling dari lainnya. Bersih tidak dipengaruhi lain-lainnya, hanya tertuju kepada Allah, tidak tertawan oleh kebendaan dan harta benda. Sikap ini dpaat dibuktikan dan dilihat dengan kesadaran menyerahkan harta benda dan dirinya kepada Allah.”
Manusia beragama adalah kombinasi dari pengakuan dan keimanan kepada Allah dalam hati yang bersih, diikuti dengan amal perbuatan dalam lahir. Amal perbuatan yang utama adalah menyerahkan harta benda untuk kebaikan dan ketakwaan. Baru kemudian menyerahkan jiwa dan raga.
“Agama itu,” kata Kiai Dahlan, “Adalah cenderungnya ruhani berpaling dari nafsu, yang naik ke angkasa kesempurnaan, yang suci, yang bersih dari tawanan benda-benda.” Manusia beragama adalah yang hatinya bersih dari nafsu yang merusak keimanan kepada Allah, lantas membuktikan keimanannya dengan komitmen beramal perbuatan nyata.
Tentu saja, memiliki hati yang bersih dengan keimanan yang otentik, tidaklah mudah. Perlu untuk terus memeprbaikinya: Meminta maaf kepada Allah atas kesalahan akibat hawa nafsu sambil berjanji-komitemn untuk menginsafi kebaikan. Terus-menerus. Maaf dan janji.