215 tahun sebelum buku Padangan Kota Cahaya saya tulis (2021), leluhur kami telah menggambarkan Padangan dengan kata yang jauh lebih puitis: Fiddarinur.
Padangan Bojonegoro, punya riwayat panjang persebaran agama islam. Bahkan, riwayat itu tergambar langsung pada namanya: “pepadang” atau penerang, yang jadi cikal bakal kata Padangan. Jika diartikan, Padangan berarti tempat berkumpulnya cahaya.
Padangan kota cahaya, adalah frasa yang membuat saya jatuh cinta. Saya merasa, “Padangan Kota Cahaya” adalah sebutan yang sangat puitis. Berhari-hari lidah dan kepala saya akrab dengan sebutan tersebut.
Dan entah karena energi apa, saya terdorong menjadikan sebutan tersebut untuk jadi judul buku. Ya, tepat awal 2021, Padangan Kota Cahaya jadi judul sebuah buku manakib tipis.
Sebenarnya, Padangan Kota Cahaya belum layak disebut sebagai buku. Selain terlalu tipis, ia hanya berisi mukadimah saja. Sebab sampai hari ini, saya masih dalam proses penyusunan materi, guna mempertebal isi buku yang membahas manakib para ulama Padangan pada abad 18 dan 19.
Uniknya, saya tak pernah tahu jika ratusan tahun sebelumnya, kakek buyut kami, Syekh Abdurrohman Alfadangi (1776-1877), sudah memberi julukan pada Padangan dengan istilah yang jauh lebih puitis lagi: Fiidarinnur. Hal itu baru saya ketahui tepat setahun setelah saya menerbitkan buku.
Memang ada fakta bahwa pada 1800 masehi, Padangan adalah markazul ilmi (tempat ilmu) yang menjadi jujukan dalam pencarian ilmu. Mbah Durrohman menyebutnya sebagai Fiidarinnur. Kota berselimut cahaya. Kota cahaya.
Pada awal 2022, setahun setelah menerbitkan buku Padangan Kota Cahaya, bersama para kerabat dan dzuriyah Mbah Abdurrohman lainnya, saya mengkaji dan membuka manuskrip dan kitab-kitab karya Mbah Durrohman.
Kitab dan manuskrip tersebut, sampai saat ini, masih tersimpan rapi dan jarang dibuka. Kitab tulisan tangan Mbah Durrohman sangat memukau. Baik dari sisi isi, atau bentuk tulisannya.
Dari pembacaan manuskrip tersebut, kami tahu bahwa Syekh Abdurrohman Alfadangi adalah pilar penting jejaring Fiddarinur — ulama yang berdakwah di Jipang Padangan pada periode 1700 – 1800, dan memiliki pengaruh hingga Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, dan sekitarnya.
Dari penemuan kitab-kitab itu, kami berupaya melakukan ekspedisi literasi dan penelusuran jejak leluhur, untuk kemudian menuliskannya secara ilmiah berbasis data. Meski tentu saja, tak menghilangkan unsur khususiyah-nya.
Tujuan kami sederhana. Kami ingin mempelajari dan menauladani sisi baik leluhur, khususnya dalam hal ubudiyah dan muamalah. Sehingga yang kami tahu tak hanya kisah tentang karomah. Tapi juga bagaimana menjaga sikap istiqomah dalam beribadah.
Di Padangan, Syekh Abdurrrohman Alfadangi dikenal dengan nama Mbah Abdurrohman Klotok, sosok ulama waliyullah yang sangat dikeramatkan. Saking keramatnya, sampai jarang ada yang tahu bahwa Mbah Durrohman adalah penulis yang punya banyak karangan kitab.
Dari pembacaan kitab beliau, banyak fakta ilmiah yang kami dapatkan. Baik tentang Mbah Durrohman atau tentang Padangan. Di antara fakta menarik itu, adalah banyaknya kitab karya Mbah Abdurrohman. Ini bukti betapa beliau sosok ilmiah dengan kematangan intelektual yang tinggi.
Mengingat, selama ini, Mbah Durrohman dikenal dari sisi keramatnya saja. Di antara banyak makam wali di Padangan, makam Mbah Durrohman masyhur keramat. Sampai tak banyak yang tahu tentang sosok beliau sesungguhnya. Mendapati beliau punya banyak karangan kitab, adalah kebahagiaan bagi kami.
Kisah tentang keramat Mbah Durrohman sangat banyak dan masyhur sekali. Tak hanya namanya, bahkan hal-hal terkait beliau dikeramatkan. Terutama riwayat santri-santri beliau yang tak hanya dari kalangan manusia, tapi juga jin.
Sementara kisah intelektualitas dan kealiman beliau, jarang bahkan tak pernah dikisahkan. Padahal, Mbah Durrohman tak hanya ulama keramat, tapi juga mualif (pengarang) intelektual yang disiplin dalam menulis.
Ada belasan kitab karya beliau, dengan tebal beragam. Dari yang 100 halaman hingga 300 halaman, dengan banyak tema pembahasan.
Banyak hal yang dibahas. Mulai nahwu-shorof, fiqih, tauhid, tasawuf, ilmu faroid, hingga ushul fiqh. Tulisan-tulisan tangan menggunakan konsep pegon Al Jawiyyah Al Merikiyyah tersebut, ada yang dijilid menjadi satu kitab. Ada juga yang satu kitab berisi bermacam pembahasan.
Kitab-kitab itu ditulis pada rentang waktu 1806 – 1875 masehi. Artinya, sejak remaja hingga menjelang wafat, Mbah Durrohman tetap menulis.
Syekh Al Hajj Abdurrohman Jifang Alfadangi dan Syekh Al Hajj Abdurrohman Fiidarinnur adalah nama intelektualnya. Nama dan lakob itu, sering beliau pakai di tiap karya tulis yang ia bukukan.
Meski sering ke Makkah, Madinah, hingga Kalkuta India, ia tetap mencantumkan lakob Fiidarinnur sebagai tempat asalnya. Begitu bangganya Mbah Durrohman pernah lahir dan tumbuh di Kuncen Padangan.
Mbah Durrohman punya andil besar dalam mempopulerkan Fiidarinnur sebagai nama internasional Padangan. Mbah Durrohman bagian dari jejaring ulama nusantara yang berada di Tanah Haramain (Makkah-Madinah).
Mbah Durrohman adalah murid langsung dari sufi besar India, Syekh Abdullah Adahlawi (1743-1824) dan berkoneksi di Tanah Haramain. Ini tercatat secara jelas dalam manuskrip catatan pribadinya.
Padangan Fiidarinnur
Mbah Durrohman sosok yang mempopulerkan Padangan sebagai Fiidarinnur. Di tiap karya tulisnya, beliau menyemat Syekh Al Hajj Abdurrohman Fiidarinnur sebagai namanya. Di kitab lainnya, ia juga menyemat nama Syekh Al Hajj Abdurrohman Jifang Alfadangi.
Fiidarinnur, adalah kata bahasa arab yang secara harfiah, berarti ing ndalem kuto cahaya atau di dalam kota cahaya. Tentu, artinya sama dengan Padangan Kota Cahaya. Tanah berselimut cahaya. Cahaya di sini, bukan berarti cahaya lampu. Tapi secara maknawiah, cahaya ilmu agama.
Penyematan Fiidarinnur tentu bukan tanpa alasan. Padangan, khususnya Kuncen Padangan, sejak periode 1600 m dikenal sebagai kawah para penuntut ilmu. Banyak nama-nama ulama penyebar agama islam berada di sana. Mbah Durrohman adalah bagian dari estafet ulama penyebar islam di Padangan.
Fiidarinnur mulai digunakan menjadi nisbat pena Mbah Durrohman sekitar 1806. Sementara saya menulis Padangan Kota Cahaya pada 2021. Artinya, sebelum saya tulis, 215 tahun lalu, kakek buyut telah menulis dengan kata yang jauh lebih puitis: Fiidarinnur.
Mungkin ini isyarah agar kami tak berhenti belajar dan terus membaca.