Idul Fitri, bukan hanya sekadar kembali suci. Namun lebih dari pada itu, sebagai refleksi bersama kepada penghuni langit dan bumi.
Idul Fitri pada tahun 1441 H wujud perayaan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun pada dasarnya sama, tergantung bagaimana saban individu memaknainya.
Ada yang berpikiran Idul Fitri harus baju baru, memiliki gawai maupun perkakas teknologi lain yang baru, bagi yang jomblo memiliki calon pendamping baru atau hasil pola percintaan recycle alias cinta lama bersemi kembali, kendaraan keluaran terbaru, anak perusahaan baru, dan beragam makna lain.
Apapun maknanya itu hak setiap individu masing-masing. Namun pernahkah Nabsky mencoba meneropong di berbagai belahan bumi lain? Seperti kawan-kawan kita yang sedang berada di daerah konflik, bisa berlindung di sebuah tempat yang aman merupakan sebuah kenikmatan yang luar biasa.
Orang-orang yang beberapa hari belum makan, sesuap nasi yang masuk dalam mulut kemudian terjadi proses pencernaan juga merupakan sebuah syukur tiada tara.
Tenaga medis yang berjihad di tengah pandemi, petani yang senantiasa memakmurkan negeri, buruh yang harus berjuang memenuhi nafkah, dan lain-lain. Bangun tidur bisa menggerakkan jari-jari, membuka mata untuk menikmati maha karya Ilahi, bernafas, dan sebagainya. Sudahkah bersyukur untuk hari ini?
Sebelum Idul Fitri
Sebelum hari raya Idul Fitri tiba, satu bulan menunaikan ibadah Puasa Ramadhan. Sebelum pandemi datang, momen keramaian menjadi pengindah mata seperti colok-colok malem songo, ngabuburit, oklik/tongklek, zakat, sidang isbat, dan gema takbir keliling.
Di beberapa desa wabil khusus Bojonegoro, ada yang melaksanakan takbir keliling desa kemudian menggunakan obor sebagai media penerangan. Sanak saudara yang merantau pulang ke kampung halaman. Berkumpul dengan keluarga besar dan silaturahim secara lahir dan batin.
Ketika Idul Fitri pandemi tiba, ada beberapa perbedaan. Misalnya mengenai anjuran shalat. Ada yang tidak menyelenggarakan shalat Idul Fitri di masjid, mengharuskan shalat id di rumah, dan lain-lain.
Mari maknai perbedaan tersebut sebagai sebuah kewajaran dan sikapilah dengan arif plus bijak. Ingat semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Walau tidak bisa melakukan takbir keliling, mudik, dan silaturahim ke beberapa rumah kawan seperti tahun-tahun sebelumnya, hal tersebut merangsang kreativitas saban orang dan tentu memaksa untuk berpikir.
Bisa menggunakan gawai untuk mempererat tali slitaurahim, mengabadikan situasi dan kondisi Idul Fitri pandemi dengan menulis, dan beragam aktivitas lain.
Apabila hasrat untuk berkunjung ke rumah kawan sudah tak terbendung, sila berkunjung namun tetap mengindahkan aturan-aturan yang telah disepakati misalnya menggunakan masker dan hand sanitizer.
Mengutip tulisan Adrian Perkasa di Alif.Id yang berjudul Oase di Tengah Pandemi: Wabah Corona dan Umat Islam di Belanda. Foto yang penulis gunakan merupakan salah satu halte bus yang berada di daerah Amersfoot yang merupakan kutipan dari ayat Al-Qur’an yakni Al-Maidah ayat 32 dalam bahasa Belanda, “Als Iemand Een Leven Redt, Is Het Alsof Diegende De Gehele Mensheid Heeft Gered”.
Terjemahan bebasnya, “Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan seluruh umat manusia”. Ayat tersebut relevan dengan kondisi sekarang dimana beberapa negara di berbagai penjuru bumi mengalami pandemi.
Idul Fitri Bersama Isi Langit dan Bumi
Ketika gema takbir Idul Fitri berkumandang di berbagai penjuru bumi, tidak hanya dimaknai momentum kembali suci/terlahir kembali. Namun lebih dari pada itu, sebagai refleksi bersama kepada penghuni langit dan bumi. Mengingat, manusia sebagai khalifah di muka bumi, kondisi alam raya sekarang tidak bisa lepas dari manusia.
Mengutip dari sebuah catatan kritis yang dikeluarkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang dikeluarkan ketika menjelang pilpres 2019 menyebutkan bahwa 81.313.772 Hektare luas konsesnsi blok migas dan 42.005.119,04 Hektare luas konsensi mineral dan batu bara, jadi 44% daratan Indonesia telah dialihkan menjadi wilayah konsensi mineral dan batu bara.
Tak jarang eksploitasi sumber daya alam tidak mengindahkan etika lingkungan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) digunakan untuk memperlancar pendirian perusahaan, tak jarang kecurangan juga bisa ditemui dalam pembuatan AMDAL.
Perubahan iklim atau climate change di berbagai penjuru bumi, kemudian pandemi, tidak bisa lepas dari ulah tangan manusia. Ketika Idul Fitri tiba, banyak cara yang bisa dilakukan sebagai refleksi bersama kepada penghuni langit dan bumi. Salah satu dari beribu cara yang tersedia, bisa ditempuh melalui jalan karya sastra.
Sebuah puisi berjudul Selamat Idul Fitri karya K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau akrab dipanggil Gus Mus merupakan refleksi bersama kepada segala sesuatu yang ada di alam raya.
Melansir dari gusmus.net, berikut puisinya:
selamat idul fitri, bumi
maafkan kami
selama ini
tidak semena-mena memerkosamu
selamat idul fitri, langit
maafkan kami
selama ini
tidak henti-hentinya
kami mengelabukanmu
selamat idul fitri, mentari
maafkan kami
selama ini
tidak bosan-bosan
kami mengaburkanmu
Selamat idul fitri, laut
maafkan kami
selama ini
tidak segan-segan
kami mengeruhkanmu
selamat idul fitri, burung-burung
maafkan kami
selama ini
tidak putus-putus
kami membrangusmu
selamat idul fitri, tetumbuhan
maafkan kami
selama ini
tidak puas-puas
kami menebasmu
selamat idul fitri, para pemimpin
maafkan kami
selama ini
tidak habis-habis
kami membiarkanmu
selamat idul fitri, rakyat
maafkan kami
selama ini
tidak sudah-sudah
kami mempergunakanmu.
Pasca Idul Fitri
Setelah hari raya Idul Fitri, seyogianya sebagai umat manusia membuat lembaran-lembaran baru yang lebih bermakna dan berwarna.
Menjaga hubungan dengan tuhan, manusia, dan alam. Serta tak lupa, kapanpun dan dimanapun sempatkan membaca tulisan-tulisan yang mengandung degup kebahagiaan. Dimana lagi kalau bukan di Jurnaba.co.
Manusia hanya bisa merencanakan dan berharap tentang segera berakhirnya pandemi, namun tangan Tuhan lebih berkuasa. Tidak juga pasrah sepenuhnya, manusia juga bisa meminimalisir dampak penyebaran pendemi.
Akhir kata, “Seandainya corona tak berakhir, kita tatap bisa berbahagia”- Wahyu Rizkiawan.