Jurnaba tak sekadar website atau media atau akun yang bisa hilang kapan saja. Ia menyublim dan menghablur sebagai metodologi paradigma hidup.
“Tak ada karomah tanpa istiqomah dan tak ada keramat tanpa tirakat.” Dua kalimat itu, sependek ingatan saya, pernah saya tulis di dinding kamar saat mahasiswa. Sering saya baca. Dan sialnya, sering –secara tak sadar– terabaikan juga.
Karomah dan istiqomah. Karomah. Atau kemuliaan. Atau dalam bahasa awam; keistimewaan, memang lekat dengan sikap istiqomah. Identik dengan keberlanjutan. Kebiasaan yang berlanjut dan diulang-ulang.
Seorang pedagang kopi yang telah 50 tahun berdagang, bisa menyajikan kopi bahkan dengan menutup mata. Tapi takarannya pas. Rasanya tak berubah. Kemampuan itu, dalam pemahaman saya, adalah karomah.
Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo atau Mohamed Salah, yang bisa menendang bola dan selalu tepat masuk ke arah gawang— meski matanya ditutup dan dalam posisi yang amat mustahil — adalah sebuah karomah.
Kamu, mampu mengetik di atas tuts keypad ponsel android tanpa melihat layar dengan mata kepala, tapi tulisanmu tetap runtut dan logis saat dibaca. Kemampuan itu, dalam pemahaman saya, adalah karomah.
Karomah, dalam hal ini, tentu sebuah keahlian. Semacam kemampuan istimewa yang dimiliki seseorang akibat stimulus berupa konsistensi yang selalu diulang-ulang. Sesuatu yang tak bosan untuk terus dilakukan.
Tak ada karomah tanpa istiqomah. Tak ada keahlian dan keistimewaan — dalam hal apapun —- jika ia tak diulang-ulang: tak ada keahlian jika ia tak dilakukan dengan terus menerus dan tanpa bosan.
Dalam konsep ilahiah, karomah bisa diartikan kemampuan khusus yang biasanya dimiliki seorang waliyullah. Misal; bisa berjalan di atas air, bisa memadamkan api dengan cukup memandangnya, atau mampu berpindah tempat secepat kilat.
Dalam kemampuan-kemampuan khusus dan hebat itu pun, karomah masih tetap kalah jika dibanding dengan sikap istiqomah. Ini wajar, karena karomah atau keistimewaan, lahir dan hadir dari sikap istiqomah itu sendiri.
Sikap istiqomah jauh lebih baik dari seribu karomah. Waliyullah yang memiliki kemampuan hebat-hebat, memiliki laku istiqomah dalam beribadah di atas rata-rata orang awam pada umumnya.
Keramat dan tirakat. Tak ada keramat tanpa tirakat. Keramat. Atau kesaktian. Atau bertuah. Atau dalam pandangan khusus; senjata istimewa, dibangun dari tirakat. Dibangun dari kemampuan menahan hawa nafsu. Kemampuan menahan. Kemampuan berpuasa.
Dalam gambaran yang lebih filmis, kita tahu bahwa keramat atau kesaktian, hanya bisa didapat dengan cara tirakat atau menahan sesuatu. Semacam daya tahan melawan keinginan. Ada unsur puasanya. Ada unsur berlatih melawan kesengsaraannya.
Tak kaget jika di tiap film-film masa kecil, pendekar atau superhero atau seorang pahlawan penyelamat, selalu mendapat kesaktian melalui sesuatu yang awalnya ditahan. Melalui sesuatu yang awalnya dirasa amat menyengsarakan.
** **
Semasa SMA, saat kepergok ngopi di perempatan dan tak berangkat ke sekolah, Bapak tak memarahi saya secara langsung. Sesampai saya di rumah, beliau justru memberi sebuah pertanyaan yang rasanya aneh sekali. Beliau bertanya:
“Kau tahu, apa bedanya macan atau ular dan kambing atau sapi?”
Saya sempat hampir mau menjawab: “tentu yang pertama hewan buas dan pemakan daging yang berbahaya, sedang yang kedua hewan ternak yang tak berbahaya sama sekali.” Tapi saya urungkan karena saya sadar, saya bukan lagi anak Sekolah Dasar.
Bapak lalu bergegas menjawab sendiri pertanyaannya, “Yang membedakan dua kelompok hewan itu adalah wibawanya. Kharismanya. Keramatnya. Wibawa, kharisma dan keramat itu hadir karena macan dan ular adalah hewan yang suka tirakat”.
“Maksudnya?” Tanya saya.
Bapak lalu menjelaskan, macan dan ular tak seperti kambing dan sapi. Yang pertama punya kemampuan tirakat dalam hal makan. Punya momen saat makan. Tak sembarang waktu mau makan. Sedang ayam, kambing dan sapi, selalu tampak suka makan. Dan geleman saat dikasih makan.
Artinya, lanjut Bapak; macan, dan ular punya kemampuan berpuasa. Punya daya tahan terhadap keinginan. Punya daya hidup di dalam kesengsaraan. Itu yang membuat mereka (macan dan ular) punya keramat, berwibawa, dan berkharisma. Tak seperti ayam atau kambing atau sapi.
“Masak kamu tak tahan bersekolah yang hanya tinggal sebentar?” Tanya Bapak mengagetkan.
Waktu itu saya duduk di kelas 3 semester satu. Sejak awal tahun ajaran baru, tampaknya sudah ada gelagat saya akan mrotol di tengah jalan. Karena itu saya sering bolos. Pada Bapak, saya bahkan sempat mengatakan mau pindah sekolah (lagi). Tapi untuk kali itu, Bapak tak menyetujui.
“Orang yang tak bisa menahan ketidaknyamanan (tirakat), sulit punya keistimewaan dan kharisma, sulit punya wibawa. Karena dia seperti kambing dan sapi. Sebaliknya, yang kuat menahan ketidaknyamanan (tirakat), mudah punya keistimewaan, berkarisma dan punya keramat.” Imbuhnya.
Bapak lalu memberitahu saya nama-nama dan tokoh-tokoh ahli tirakat dan ahli istiqomah. Tokoh-tokoh yang pada akhirnya saya kagumi, saya pelajari, dan saya berguru pada mereka. Berguru pada sikap dan pandangan mereka terhadap hidup — sebagai ganti saya yang pernah tidak serius bersekolah.
Sejak saat itu, saya menjadi siswa yang lumayan rajin berangkat ke sekolah: selama satu semester — sebab setelah itu saya lulus beneran. Bukan benar-benar rajin sesungguhnya. Tapi semacam ingin membuktikan bahwa saya kuat menahan ketidaknyamanan bersekolah. Bersekolah, waktu itu, sejenis laku tirakat menahan ketidaknyamanan.
** **
Dalam pandangan yang agak mendalam, Jurnaba dibangun dengan laku istiqomah dan tirakat. Setidaknya begitu yang kami bersama tim yakini. Jurnaba berupaya istiqomah memandang segala hal yang tidak nyaman, dengan kacamata yang mereduksi pahitnya ketidaknyamanan tersebut.
Jurnaba berupaya tirakat dengan menahan, mempuasai, dan menirakati diri dari potensi-potensi culas nan agresif dalam mendapat dan meraih sesuatu. Meski barangkali, hal itu kerap sekali dilakukan pihak-pihak tertentu kepada Jurnaba. Berkali-kali.
Di zaman akhir, ada fenomena “ajakan berbuat baik” akan dipandang remeh dan receh dan biasa saja. Dan Jurnaba amat sangat tahu itu. Karena itu, Jurnaba merespon fenomena itu melalui cara nan santuy dan elegan. Cara yang amat sederhana. Sehingga mereduksi potensi rasa kecewa.
Jurnaba adalah metode atau cara memandang hidup. Sekaligus moda transportasi dari satu titik energi menuju titik energi yang lain. Sebuah titik yang selalu disemogakan berakhir pada kebahagiaan — jika tidak di dunia yang saat ini, di dunia setelah dunia yang saat ini berakhir.
Metode Jurnaba berpihak pada kesederhanaan. Selalu mengglorifikasi sikap sederhana dan tak berlebihan. Membangun rasa percaya diri dalam kesederhanaan. Dan membangkitkan rasa cinta terhadap apa yang dimiliki secara santuy dan sederhana.
Jurnaba adalah teknik merespon segala sesuatu secara seimbang. Sesuai apa yang ditegaskan Syaikhina Abdurrahman Wahid sebagai: cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang “positif konstruktif” (Tuhan Tidak Perlu Dibela — terletak di paragraf kedua dari belakang).
Metode Jurnaba adalah cara pandang yang tak larut dalam euforia kesedihan. Tak hilang dalam pusaran letup bahagia yang berlebihan. Tapi berupaya menyederhanakan rasa sedih.
Sesuai apa yang dikatakan Syaikhina Bahauddin Nursalim sebagai: memaksa diri bahagia adalah cara mengimani Qadha dan Qadar. Jangan sampai karena terlalu sering ngeluh menyebabkan kita nggak percaya takdir.
Yang dalam analogi umum, bisa diilustrasikan seperti seorang bapak yang dengan sikap dewasa selalu mecilukba anaknya dengan wajah ceria. Meski di saat yang sama, bapak itu sedang menahan rasa sakit akibat kakinya terlindas mainan yang dimainkan anak-anaknya.
Jurnaba juga moda transportasi yang mengantar energi dari satu titik ke titik lain. Dari satu tempat ke tempat lain. Serupa kabel yang menghubungkan satu tiang energi listrik menuju tiang yang lain, demi menerangi seisi kampung — tentu secara sederhana dan santuy.
Terlebih, sejak awal Jurnaba punya orientasi protagonis yang tak sebentar. Tapi jangka panjang. Sejenis orientasi yang secara ilahiah, melintasi kosmos alam fana, sebagai sebuah alasan agar kelak para punggawanya terselamatkan.
Tak heran jika diam-diam, dan berada jauh di palung kesunyian masing-masing, Jurnaba berpegang pada Nahnu Naqush-shu ‘alaika Nabaahum bil haqqi. Selalu berharap tergolong sebagai Innahum Fityatun Aamanuu Birabbihim Wazidnaahum Hudan. Dan tentu saja, dengan keyakinan penuh, selalu cekelan rapet pada Anin Naba-il ‘Adziim sebagai tongkatnya.
Karena itu, Jurnaba tak sekadar website atau media atau akun yang bisa hilang kapan saja, tapi ia mengabadi sebagai metodologi, paradigma hidup, atau ideologi kecil yang berada di dalam kosmos ideologi besar, sebagai suplemen energi yang menguatkan.