Mind place merupakan metode mengingat dan memetakan ide yang amat luar biasa. Sherlock Holmes adalah sosok yang memiliki kemampuan tersebut.
Siapa yang tak kenal Sherlock Holmes, tokoh rekaan karya Sir Arthur Conan Doyle ini tak henti-hentinya membius kacamata indrawi kita. Bahkan sejak pertama dipublikasi pada 1887, karya ini telah banyak ditayangkan ke berbagai bentuk media tentang seorang detektif ajaib yang cerdasnya bukan main.
Sherlock Holmes digambarkan sebagai makhluk yang sangat dingin dan sosiopat. Dia mengklaim dirinya sebagai satu-satunya detektif konsultan yang ada di muka bumi ini dengan nada sombongnya pada Inspektur Lestrade, “Tolong beri aku kasus yang sulit, sebagian besar kasusmu membosankan dan aku butuh kasus yang membuatku bergairah”
Tidak ada orang yang suka dengan nada sombong seperti itu, apalagi seorang inspektur polisi. Namun Lestrade harus selalu meminum jus pahit itu, karena hanya Sherlock Holmes yang mampu membuat reputasinya terbang hanya dengan duduk di sofa sembari bertopang dagu membentuk segitiga tanpa harus keluar dari kosnya di 221B Baker Street.
Karakter bertubuh jangkung ini dibekali kecerdasan dalam memetakan informasi yang dia sebut sebagai Mind Palace dan kemampuan ‘meramalnya’ yakni Science of Deduction (akan dibahas pada tulisan selanjutnya).
“Aku mengumpamakan otak manusia itu seperti loteng yang kosong, aku harus memilih dengan bijak agar barang yang masuk memang benar-benar berguna”, ungkap Holmes pada Watson dalam A Study in Scarlet. “Aku tidak akan membiarkan hal-hal yang tidak penting atau tidak relevan untuk dimasukkan ke mind palace-ku, meskipun itu tentang bumi mengelilingi matahari atau tidak”, lanjut dia.
Asal Mula Mind Palace
Metode mengingat ini ternyata sudah ditemukan sejak zaman Yunani Kuno. Berdasarkan sebuah cerita, Simonides dari Ceos menemukan metode ini setelah dia mendatangi sebuah jamuan makan malam yang berujung petaka.
Kala itu dia keluar sebentar untuk menemui dua orang pria. Namun naas, sesaat setelah dia keluar, bangunan di belakangnya roboh dan hancur berantakan. Semua rekan jamuannya meninggal dengan cara yang tragis dan sulit dikenali.
Beruntung Simonides dapat mengidentifikasi mayat-mayat tersebut berdasarkan di mana letak mereka duduk dalam ruangan itu. Metode mnemonic (strategi mengingat) dengan menggunakan visualisasi spasial itu dikenal dengan istilah Method of Loci.
Method of loci memiliki banyak nama lain, seperti memory theatre, the art of memory, the memory palace, atau mind palace seperti yang ada dalam kisah Sherlock Holmes.
Method of loci ternyata juga banyak digunakan dalam risalah retoris Yunani dan Romawi Kuno seperti dalam Rhetorica ad Herennium, Cicero‘s De Oratore, and Quintilian‘s Institutio Oratoria.
Masyarakat Yunani dan Romawi dulu menggunakan teknik mind palace dari bangunan arsitektur mereka untuk mengingat ilmu yang mereka pelajari dengan detail dan komprehensif, tutur Frances Yates dalam bukunya The Art of Memory (1966) yang juga diamini oleh seorang ahli neuro-psikologi asal Rusia Alexander Romanovich Luria (1969).
Sehingga di sini saya tidak heran jika tidak ada karya tulis dari gurunya Plato, yakni Socrates.
Yates menjelaskan dalam bukunya bahwa teknik mind palace (method of loci) memungkinkan subjek secara berkala menghafal tata letak formasi suatu bangunan atau tempat yang dapat diimajinasikan secara spasial dalam otak.
Setelah itu, subjek menyematkan informasi yang dia inginkan ke dalam bagian-bagian dari peta spasial tersebut. Sehingga ketika subjek ingin mengingat suatu informasi, subjek akan mengunjungi daerah tempat di mana dia mengarsipkan informasi itu lalu mengambilnya seperti halnya kita sedang mengambil buku di perpustakaan.
Membangun Mind Palace
Maria Konnikova (penulis buku Mastermind: How to Think Like Sherlock Holmes) mengatakan bahwa kunci dari mind palace Sherlock Holmes adalah kita hanya akan mengetahui suatu gagasan atau informasi ketika kita mampu mengakses cara menuju ke informasi itu.
Variasi mind palace tidak hanya terbatas pada bangunan nyata saja, namun juga dapat dibangun seluruhnya dari imajinasi.
Dekade yang lalu Jeremy Caplan memimpin tim riset dari University of Alberta, Canada untuk menguji 3 kelompok orang. Yang pertama menggunakan bangunan sungguhan, yang kedua dengan bangunan virtual, dan yang ketiga tidak menggunakan metode mind palace.
Hasilnya, kelompok pertama dan kedua sama-sama memiliki nilai yang sama bagusnya dalam menghafal urutan kata-kata yang tak berhubungan daripada kelompok ketiga.
Mind palace tidak harus menggunakan lokasi yang benar-benar baru. Mulai dari yang paling mudah, tempat tinggal kita misalnya. Tutup mata dan berjalan lah dalam imajinasi menyusuri tempat tinggal kalian.
Sekarang kalian menuju suatu tempat, misalnya meja komputer. Nah, sekarang sebutkan dan jelaskan apa yang terkait dengan komputer itu. Misalnya, apa merk dan spesifikasi komputer, beli di mana, kapan, kenapa beli, untuk apa, dan lain sebagainya.
Dari hanya mengunjungi meja komputer, kita sudah mendapatkan banyak informasi mengenai komputer itu. Bahkan mungkin sekarang ada yang ingat ada pekerjaan yang belum terselesaikan.
Jordan Peterson (pakar psikologi klinis Universitas Toronto, Canada) mengatakan bahwa dia merangkai memory castle dalam kurun waktu 40 tahun. Dalam prosesnya dia mengubah suatu informasi ke dalam suatu konsep utuh atau gagasan utama, lalu mengubahnya ke dalam bahasa imajinasi.
Bahasa tersebut ibarat rumah-rumah yang belum memiliki akses ke rumah dan bahkan fasilitas lain. Oleh sebab itu dia membuat bahasa imajinasi baru dengan bahan dari informasi baru agar dapat membangun rute sehingga setiap bangunan terhubung satu sama lain secara efisien.
Mind palace memungkinkan penggunanya dapat menemukan gagasan atau ide baru karena keunggulannya dalam mengaitkan antar satu konsep ke konsep lainnya dengan cara yang lebih mudah dan cepat.
Sehingga tidak heran jika orang seperti Newton bisa menemukan hukum gravitasi hanya karena kejatuhan apel ketika dia sedang belajar di rumah karena pandemi London tahun 1665.