Mpu Nala Wiramandalika merupakan tokoh besar yang muncul pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk Majapahit (1334 – 1389 M). Nama Mpu Nala Mandalika tergurat abadi dalam Prasasti Sekar (1364 M), sebagai pejuang yang ditakuti musuh.
Analisa dan pembahasan mendalam tentang Prasasti Sekar (1366 M), dicatat epigraf dan arkeolog asal Belanda bernama Dr. N.J. Krom dalam artikel berjudul De Inscriptie van Nglawang (1911). Dalam prasasti bercerita batas-batas wilayah Jipang (Bojonegoro) abad 14 M itulah, nama Mpu Nala muncul sebagai figur pejuang besar.
Pu Nala (Mpu Nala) berstatus Rakryan Tumenggung. Mpu Nala disebut sebagai pelindung kebaikan dan penghancur kejahatan. Figur yang mengabdikan diri sebagai pelindung kebaikan dan penghancur kejahatan.
Mpu Nala seorang Brahmana yang masyhur akan kebesarannya. Prasasti Sekar (1365 M) menjuluki Mpu Nala sebagai Arya Wiramandalika: pemimpin pejuang; Rauangganabhima: kuat di medan perang; Pratipakşanāçanakaraņa: Penyebab kehancuran musuh.
Terkait julukan-julukan yang menempel pada nama Mpu Nala itu, Dr. N.J. Krom dalam analisisnya menyebut kedigdayaan Mpu Nala diibaratkan sebagai teror di medan perang, sekaligus penghancur musuh. Sehingga menjadikan nama Mpu Nala sangat berkharisma, dihormati kawan dan disegani lawan.
N.J. Krom menyebut Mpu Nala hidup sezaman dengan Hayam Wuruk, sang penguasa terbesar di era keemasan Majapahit. Bahkan, nama Mpu Nala cukup populer pada era itu. Nama Mpu Nala juga muncul dalam Nagarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca. Dalam Nagarakertagama, nama Mpu Nala dipuji dalam sebuah syair yang berbunyi:
sang arrya
wiramandalika nama pu Nala
sadhwasādhuhitanigrahawijña mañcanagara manama tumenggung
Syair dalam Negarakerragama yang menyebut nama Mpu Nala di atas, oleh Krom, dimaknai sebagai berikut: Yang mulia wiramandalika bernama Mpu Nala, sang penyelamat kebaikan dan penghancur kejahatan. Seorang mancanegara bergelar tumenggung.
Dalam analisa di atas, mengindikasikan secara kuat bahwa Jipang (Bojonegoro), pada abad 14 M, merupakan wilayah mancanegara yang kuat. Yang mana, kala itu, dipimpin Brahmana tangguh bernama Mpu Nala. Sang Rakryan bergelar Tumenggung.
Keberadaan Brahmana di wilayah Jipang (Bojonegoro), tentu wajar dan logis. Sebab, sekitar 110 tahun sebelum Prasasti Sekar (1365 M) dikeluarkan Raja Hayam Wuruk, Jipang sudah dikenal sebagai Tanah Brahmana. Ini tercatat pada Prasasti Maribong (1246 M) yang dikeluarkan Raja Wisnuwardhana Singasari.
Dikubur Dongeng abad 19 M
Nama Mpu Nala memang tak populer dan bahkan seperti tak pernah ada. Sebab, keberadaannya seperti dikubur dongeng yang diciptakan pada abad 19 M. Ada banyak tokoh berhubungan dengan Bojonegoro dikubur dongeng-dongeng abad 19 M.
Bojonegoro yang jelas-jelas tercatat sebagai Tanah Para Brahmana, seolah tak boleh mengenal dan memiliki figur Brahmana yang nyata. Karena itu, dibuatkan banyak legenda agar tak mengenali tokoh nyata yang merupakan Brahmana besar pada zamannya.
Selain Mpu Nala (tokoh abad 14 M) yang dicatat Prasasti Sekar (1365 M), Bojonegoro juga memiliki Arya Surung (tokoh besar abad 15 M) yang dicatat Prasasti Pamintihan (1473 M). Baik Mpu Nala maupun Arya Surung, nasibnya sama, terkubur dongeng abad 19 M.
Nama Mpu Nala (tokoh abad 14 M) dan Arya Surung (tokoh abad 15 M), mungkin sangat berbahaya bag pelestari penjajahan di Bojonegoro. Karena itu, diupayakan agar tidak dibahas. Dan, kalau bisa, dilupakan saja. Untuk menghilangkannya, mereka memproduksi sebanyak mungkin kisah legenda.