Knowing nothing is better than knowing at all — The Used
Dito mengucap lirik itu sebanyak dua kali. Menurutnya, itu lirik yang, dalam kondisi tertentu, sangat bagus. Kedua tangan Dito sempat mengusap rambut ke belakang saat mengucapkannya— sebuah momen yang mengingatkan saya pada Bert McCracken, vokalis The Used.
Momen ketika kedua tangan Dito mengusap rambut ke belakang dan mengucap kata-kata itu, mirip Bert McCracken saat membuka lagunya sembari mengucap: Everyone just close your eyes and take a breath, this song is called On My Own— dalam sebuah konser yang ditayangkan pada 2010 silam.
Semalam (27/8), Dito dan saya bersua. Berulangkali kami menguap dan berulangkali pula kami berupaya melawan rasa kantuk. Hingga dini hari menghampiri, kami berdua terdampar dalam sebuah diskusi iseng yang sesungguhnya tak iseng-iseng amat.
Sebuah diskusi yang dipicu dan dipertebal oleh salah satu lagu The Used. Sebuah diskusi yang melibatkan kekecewaan, keputusasaan sekaligus harapan.
Bagaimana keputusasaan merekonstruksi harapan dan bagaimana harapan memicu lahirnya keputusasaan, menjadi perbincangan yang benar-benar membuat tubuh terasa memar gemetar sekaligus tawa penuh nanar.
Kami sempat bersepakat jika yang paling menyakitkan dan menyiksa adalah saat kita mengetahui sesuatu yang tidak pas dan kita tak punya kemampuan untuk berbuat apa-apa. Semua, tentu saja, berawal dan disebabkan oleh pengetahuan. Berasal dari apa yang kita ketahui.
Kita merasa kecewa karena mengetahui sesuatu yang tak sesuai keinginan kita. Mengenal gagal karena berjumpa hasil yang tak sesuai ekspektasi. Menelan putus asa hanya karena tak mampu berbuat apa-apa, atas kesalahan yang ada di depan mata.
Kepedihan dan keresahan terlahir justru bukan dari dalam diri kita sendiri. Namun semacam respon atas apa yang kita kenal sebagai empati. Seandainya kita tak pernah mengetahui apa-apa, akankah kepedihan tak pernah terlahir di dunia?
Di saat segalanya mudah sampai di dekat telinga dan kedipan mata, semuanya dengan mudah memicu rasa kecewa. Kita yang awalnya tak kenapa-napa, menjadi marah dan kecewa hanya karena membaca story orang lain, misalnya.
Di saat semua mudah sampai di mata dan telinga, segalanya dengan mudah melahirkan rasa kecewa. Kita yang awalnya tak mengenal produk-produk terbaru, menjadi punya keinginan untuk memiliki hanya karena melihatnya di timeline medsos, lalu berbuah kecewa karena tak memilikinya.
Di saat semua amat mudah dijumpai, kita yang awalnya damai-sentosa, bisa menjadi rapuh dan penuh luka hanya karena mengetahui keburukan yang bahkan tak berhubungan dengan diri kita.
Lalu, apakah pengetahuan dan “proses mengetahui sesuatu” menjadi penyebab kepedihan? Dan empati adalah senjata makan tuan?
Knowing nothing is better than knowing at all memang kalimat putus asa yang teramat seksi dan eksotis. Tentu dalam kondisi tertentu. Seperti saat kita sedang terjatuh dan mendengar lagu The Used berjudul On My Own itu.
Tapi, barangkali, keseksian dan eksotisme keputusasaan tak akan bertahan lama. Ia bisa berubah dari kondisi seksi menjadi siksa, hanya karena kita tak mampu menyikapinya dengan tepat.
Kami tentu paham bahwa pu(tus) asa adalah puasa. Istirahat sejenak dari bahagia. Serupa istirahat, ia hanya bersifat sejenak dan sementara. Tak berlama-lama. Putus asa menjadi momen niscaya bagi tubuh yang masih bernyawa.
Tak ada keputusasaan yang sempurna, seperti dikatakan Haruki Murakami. Atau optimisme lahir dari keputusasaan, serupa yang dikata Dea Anugrah. Putus asa hadir sejenak. Dan tak berlama-lama. Ia proses pergantian rasa.
Lalu, apakah pengetahuan dan “proses mengetahui sesuatu” menjadi penyebab kepedihan? Dan empati adalah senjata makan tuan?
Kita tentu tak perlu mengutuk pengetahuan hanya karena ia dituduh sebagai penyebab gagal dan keputusasaan. Kita juga tak perlu membenci empati hanya karena ia kerap mencipta rasa sedih bagi diri sendiri.
Pengetahuan, saya kira, harus tetap dicintai. Meski darinya kita sering menerima gagal dan kecewa, darinya pula kita bisa membilas kekecewaan menjadi sesuatu yang melegakan. Menjadi sesuatu yang kerap kita istilahkan sebagai harapan.
Saat kita terjerumus dalam sebuah ruang gagal dan keputusasaan, tentu satu-satunya jalan adalah keluar dan menemukan pintu yang lain. Dan untuk keluar dan menemukan pintu yang lain, sialnya, kita tetap membutuhkan pengetahuan.
Jika memang empati adalah senjata makan tuan, yang darinya kerap muncul kesedihan, bukankah itu konsekuensi hidup sebagai manusia. Sebab yang membedakan manusia dan makhluk lainnya adalah kepemilikan empati.
Empati tetap menjadi senjata yang mempertebal posisi kemanusiaan. Yang disadari atau tidak, akan selalu dihampiri rasa sedih. Sebab rasa sedih menjadi bekal hidup sebagai seorang manusia.
Gagal dan putus asa adalah ornamen bangunan hidup bernama manusia. Selama masih hidup, kegagalan tentu wajar dirasakan. Hanya, kegagalan tak akan pernah berdiri sendiri. Serupa sepasang kaki, untuk melangkah, ia selalu hadir bersama harapan.