Realitas hari ini memang sangat jauh dari harapan kemerdekaan bangsa, benarkah?
Suatu pagi di sebuah kota kecil yang riuh dengan kebisingan material serta ditemani produktifitas pembangunan dan penggusuran bangunan proyek.
Saya melanjutkan aktivitas sebagai mahasiswa dengan segala program kerja dalam sebuah ormawa.
Waktu itu, pandemi mewabah hingga pembatasan seakan terlihat sangat ketat, Nabs.
Seorang kawan datang kepada saya untuk meminta bantuan menemani mendata bendera merah-putih yang tidak layak.
“Bro, bantu aku mendatangi rumah-rumah yang benderanya sudah tidak layak”.
“Oalah, tugas KKN mandiri itu to?”. Jawab saya dengan menanya balik. “Iya bro, ini aku juga butuh penilaianmu tentang bendera yang tidak layak itu yang bagaimana”.
“Gampanglah, ngopi-ngopi santai dulu saja, ini juga masih siang. Mungkin orang-orang juga masih beristirahat. Gak enak takut ganggu nantinya”.
Di sore yang sedang cantik-cantiknya, saya melanjutkan perjalanan bersama teman saya.
Tibalah di suatu Kelurahan yang berada di tengah kota. Kami masuk ke sebuah gang kecil yang disana terdapat banyak rumah-rumah warga.
Melihat ke atas dan banyak bendera-bendera berkibar karena bertepatan dengan menyambut hari perayaan kemerdekaan.
Nabs, kami berjalan kaki menyusuri gang kecil tersebut dan masuk dari satu rumah ke rumah lain.
Lalu, kami tiba di suatu rumah yang sederhana namun banyak sekali keunikan dari rumah tersebut.
Saya melihat bendera yang sudah lusuh serta terdapat lubang dan robekan. “Bro, itu benderanya udah terlalu parah. Masuk ayo”. Ajakku sambil menghisap sebatang rokok.
Kami memasuki sebuah rumah yang sangat unik, dengan beberapa karya seni yang sangat menarik di dalamnya.
Dengan salam kami di sambut dengan hangat oleh pemilik rumah tersebut. Kami menjelaskan maksud dan tujuan datang ke rumah itu. Beliau memperkenalkan diri. “Saya pak Imam”.
Di sela teman saya berbincang, saya mencoba tengok kanan kiri melihat karya seni yang beliau hasilkan serta mendengarkan alunan lagu dari Gombloh dan Iwan Fals. “Jadi gini mas, mohon maaf sebelumnya. Bukannya saya tidak mau di data atau di ganti dengan bendera yang baru, saya punya uang untuk beli. Tapi, saya tidak sembarangan soal ini”.
Beliau menjelaskan dengan ramah. Terkejut saya lalu berkata. “Memangnya kenapa kok begitu? Apakah bendera tersebut ada cerita atau kisah menariknya pak?”.
“Begini mas, saya tidak pernah menurunkan bendera merah-putih ini. Saya memasang bendera ini tidak untuk perayaan hari kemerdekaan saja. Bagi saya, kemerdekaan bangsa ini tidak kita dapat setelah 17 Agustus 1945 saja. Kita sudah berdaulat merdeka hingga saat ini dan sudah seharusnya saya tetap mengibarkan bendera ini.
Biarpun hujan, panas, dan apapun. Saya tidak akan menurunkan bendera ini”.
Semakun terkejut saya mendengar pernyataan beliau. Dan kami mengobrol sambil di temani lagu Gombloh yang berjudul Selamat Pagi Kotaku yang di play oleh beliau dengan sound.
“Sekarang itu orang-orang memaknai kemerdekaan hanya sebatas bulan agustus saja mas. Padahal kalau sampean tau, bendera merah putih itu dulu di kibarkan dengan penuh perjuangan yang berdarah-darah.
Sampean sebagai generasi muda seharusnya melanjutkan perjuangan tersebut. Bangsa kita haruslah menjadi diri sendiri”.
Semakin tercengang saya mendengar penuturan beliau.
Setelah berbicara panjang lebar, kami memutuskan untuk akan kembali.
Terdengar lagu Iwan Fals yang berjudul Sumbang mengiringi kepergian kami. “Pak, terima kasih atas pelajarannya hari ini. Kami mohon maaf sebelumnya kalau menggangu”. “Tidak apa-apa mas, saya juga mohon maaf tidak bisa bantu sampean. Saya juga gabisa ngasih apa-apa sampean mertamu disini”. “Wah, saya yang terima kasih pak sudah di berikan nasehat yang menggugah hati kami dalam menyongsong kedepan”.
Realitas hari ini memang sangat jauh dari harapan kemerdekaan bangsa ini.
Kesenjangan sosial semakin terlihat dari kebijakan-kebijakan penguasa.
Sistem yang dibuat oleh penguasa seakan menguntungkan elite di dalamnya.
Perampasan lahan rakyat semakin masif dengan dalih Proyek Strategis Nasional.
Hak-hak perempuan di muka umum belum juga terlihat.
Budaya konservatif dan feodalisme semakin memperpanjang patriarki.
Budaya korupsi yang setiap tahun mewarnai media dan layar televisi dengan hingar bingar.
Kemerdekaan bukan hari ini saja. Merdeka sepanjang hari adalah kemerdekaan yang sejati jauh dari belenggu apapun. Akhir kata, selamat ulang tahun Indonesia.