Haruki Murakami, penulis Jepang yang lahir pada 12 Januari ini, selalu mengingatkan kita pada novel berbau musik, film, beserta kesepian dan keterasingan anak-anak muda kelas menengah yang mengaku, ehm, idealis.
“Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.” siapa yang tidak merinding membaca kalimat pembuka dari novel berjudul Dengarlah Nyanyian Angin ini?
Novel ini, sebenarnya teramat datar dan hampir tak ada klimaks. Tapi, di sinilah letak kehebatan Murakami, di tiap kisah yang dia tulis, selalu menggambarkan keunikan atau keanehan atau keganjilan tokohnya. Tak pandang tokoh utama ataupun cameo, semua diganjar dengan keganjilan yang sama.
Di tiap karyanya, Murakami kerap mengikutsertakan unsur jazz, bar, alkohol, binatang-binatang sebagai piaraan atau pembicaraan, hingga kegiatan seksual secara elegan. Tidak lupa; referensi musik, film, dan karya-karya sastra seolah selalu ada.
Mungkin itu yang membikin para Harukis mentahbiskan pria kelahiran 1949 ini sebagai junjungan sekaligus panutan bagi mereka yang mengaku hipster dan berpemikiran kelas menengah. Nabs, ingat! kelas tidak ditentukan seberapa banyak pendapatan. Tapi seberapa ‘apa’ yang dipikirkan. Hmm
Di Norwegian Woods, Murakami berkisah tentang Watanabe yang galau akibat ditinggal teman perempuannya, Naoko. Ia melampiaskan kekosongan yang ia rasakan dengan meniduri banyak perempuan. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Midori, seorang perempuan easy going yang agak nyentrik.
Naoko dan Midori bagai dua hal saling bertolak belakang. Jika Naoko tenang dan penuh rahasia, Midori justru senang membicarakan semua hal, bahkan imajinasi sexnya pun dibicarakan bersama Watanabe. Watanabe pun terjebak antara Midori yang hidup dan Naoko yang terus dinantinya.
Haruki Murakami tampaknya ingin memberi gambaran kepada pembaca tentang seperti apa rasanya kesepian, keputusasaan, bagaimana rasanya ketika tumpuan mimpi dan harapan yang sudah melambung tinggi dihempaskan kembali ke bumi. Apa yang terjadi pada orang-orang yang mengalaminya?
Norwegian Woods memang novel realis. Dilansir dari wawancara The Paris Review, Murakami mengaku tidak suka menulis dengan gaya realis. Dia lebih suka yang surealis. Tapi khusus Norwegian Wood, dia memutuskan menulis novel realistis seratus persen. Sebab dia membutuhkan pengalaman itu.
Nabs, di karya Murakami, kamu akan mendapati tokoh cerdas dan hebat, tapi berjarak dengan lingkungan sekitar. Punya selera musik dan sastra yang elegan, tapi terasing dan terbuang pada kesepiannya sendiri.
Keputusasaan, keterasingan, masa lalu, mimpi-mimpi dan berbagai macam kecanggungan khas anak muda kelas menengah, selalu tampak di tiap karya Murakami.
Murakami mulai menulis di usia 29 tahun. Ha? Iya. Sebelum itu, dia tak pernah menulis apapun. Seperti kita semua, Murakami hanya orang biasa. Sebelumnya dia hanya menjalankan kelompok jazz dan tidak menciptakan karya apapun.
Novel debutnya, Dengarlah Nyanyian Angin (1979), tercetus ketika dia menonton pertandingan baseball. Saat nonton pertandingan itu, dia merasakan sensasi hangat dalam hatinya. Dia pulang ke rumah lalu memutuskan mulai menulis.
Dengarlah Nyanyian Angin dia kerjakan selama 10 bulan. Dia menulis tiap malam sepulang bekerja. Naskah itu dia ikutkan lomba dan, tidak nyana, dia memenangkan juara pertama. Sejak saat itu, dia baru sadar jika dia bisa menulis novel.
Satu hal lagi yang unik dari Murakami adalah, dia atlet pelari dan rajin olahraga. Penulis dan atlet? Wow! Sangat jarang kan? Benar, Nabs. Itu dia buktikan dengan sebuah buku berjudul What I Talk About When I Talk About Running.
Menurut Murakami, otot manusia seperti binatang pekerja yang cepat belajar. Jika kamu meningkatkan jumlah lari selangkah demi selangkah, otot-otot itu akan belajar menerimanya. Hmm
Nabs, buat kamu yang saat ini merasa nggak berbakat menulis, ubah! Tidak ada bakat di dunia ini. Semua hanya butuh kebiasaan. Tidak ada manusia yang berbakat sendirian. Tapi karena kamu jomblo, toh masih bisa hidup kan?
Murakami mengajarkan pada kita bahwa menulis bisa dimulai di usia berapapun. Bahkan, menulis bisa dilakukan siapa saja. Profesi yang seolah jauh dari tulis-menulis pun (atlet), tetap bisa menulis. Murakami buktinya.