Di lesehan warung kopi teras terminal, aku mengacuhkan kopi. Cairan hitam pekat penunggang cangkir itu mendadak dingin. Sedingin gawai yang telah beberapa jam ini tak berbunyi. Menanti pesanmu benar-benar mujarab bikin kopi di hadapanku hambar.
Terminal Bojonegoro memang beralih fungsi menjadi warung kopi saat malam hari. Tak ada lagi calon penumpang. Juga transportasi umum yang berlalu-lalang. Hanya ada riuh-obrol para pengunjung warung kopi. Riuh itu beradu mesra dengan gemercik kecil suara air yang menabuh atap terminal.
Malam itu gerimis. Namun apalah arti gerimis di malam syahdu, jika ajakan ngopiku hanya bercentang biru. Setiap adegan telah kupersiapkan di kepalaku. Dan semua itu hanya akan menjadi fantasi jika malam ini tak bertemu denganmu.
Dua jam berlalu. Namun, tak ada tanda-tanda kedatanganmu. Kegelisahanku berhilir ke kedua kakiku yang mulai terasa kesemutan. Kedua kaki itu tak sanggup lagi merasakan aliran darah. Hampa, selayaknya isi kepala.
“Kesemutan, Mas?”
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari balik punggungku. Suara lembut khas seorang ibu yang begitu akrab di telingaku. Pemilik suara itu adalah budhe Sabri, sang pemilik warung. Nampaknya dari tadi, dia memperhatikan lakuku sambil mencuci gelas-cangkir kotor bekas kopi.
“Dulu, mas, zaman saya pacaran belum ada hape,” katanya sambil tetap isah-isah, “saya dan pacar saya saling berbalas surat untuk berkomunikasi.” Imbuhnya.
Mendengar perkataan yang datang tiba-tiba itu, hampir saja saya menyemburkan kopi yang baru saja terseruput. Saya menduga budhe Sabri mempunyai kepekaan seorang peramal.
Baca Juga: Fiksi Akhir Pekan Lainnya
Wanita yang rambutnya sudah separuh memutih itu, seperti dapat merasakan emosi seseorang. Tanpa bertanya, dia mampu menyuguhkan cerita-cerita yang dapat memicuku untuk curhat kepadanya.
Budhe Sabri, begitu para penjaja kopi teras terminal biasa memanggilnya. Wanita paruh baya itu begitu akrab dengan para pelanggannya. Dia senang bercerita tentang kehidupan pribadinya. Bahkan untuk orang yang baru pertama kali ngopi di warungnya, seperti saya.
Melihatku yang hampir keselek kopi, budhe Sabri terkekeh kecil. Kerut di sekitar matanya nampak jelas walaupun dalam temaram cahaya lampu dop. Kerutan-kerutan itu menggambarkan wajah seseorang yang selalu dapat tersenyum di situasi apapun.
Tentu saja, melihat itu membuatku merasa malu, betapa mudahnya aku terbebani oleh masalah-masalah sepele yang ada di otakku.
Selesai mencuci gelas-cangkir kotor, budhe Sabri sudah nampak lengang. Sembari beristirahat, dia pun melenjutkan ceritanya. Mulai dari masa pacaran hingga akhirnya menikah.
Dalam ceritanya, dia selau menyelipkan candaan yang membuatku tergelak hingga mbrabak. Candaan-candaan itulah yang membuatku tak bosan mendengarnya berkisah.
“Cinta itu buta. Tapi orang yang lagi jatuh cinta itu bisu-tuli, bukan buta.”
“Kok bisa, Budhe?”
“Lha wong kalau lagi mikirin pacar, nggak bisa diajak ngobrol.”
Selain jenaka, budhe juga seorang yang berwawasan luas. Aku dapat membacanya ketika dia, sesekali mengutip kalimat dari buku-buku, untuk melengkapi ceritanya.
Yang paling mencolok adalah kutipan dari buku Ahmad Tohari, yang kebetulan aku juga telah membacanya. Saat aku menanyakan kepadanya, dia mengungkapkan hobinya membaca buku.
“Perempuan itu bubu, yang bila sudah dipasang hanya bisa menunggu ikan masuk. Bubu nggak mengejar ikan atau memaksanya masuk ke dalam.”
Budhe Sabri sempat mengungkapkan kegelisahannya terhadap situasi saat ini. Dia menilai, anak muda zaman sekarang kurang tabah dalam membaca. Mereka, para pemuda itu, cenderung menyasar ke inti atau ide pokok suatu tulisan. Padahal membaca itu bukan hanya untuk mencari informasi, melainkan proses mengasah imajinasi.
Suasana terminal menjadi sepi ketika budhe Sabri memungkasi ceritanya. Riuh-obrol para pengunjung warung kopi sudah tak terdengar lagi. Begitu juga dengan gemercik suara gerimis yang nampaknya telah lelah berjatuhan. Saya pun memutuskan untuk pulang. Sebelum berpamitan, saya mengucapkan terima kasih kepadanya.
Di perjalanan pulang, motor kupacu pelan. Rasanya, itu adalah perjalanan terpanjangku dari terminal menuju rumah. Kuamati pepohonan dan lampu kota yang seolah membentuk sebuah lorong. Sebuah lorong yang memicu dimensi pikiranku untuk lebih bijaksana dalam menanggapi situasi.
Alternatif-alternatif situasi tiba bermunculan di dalam kepalaku. Mungkin kamu tengah sibuk atau tengah berada di tempat yang susah sinyal, sehingga tak membalas pesanku. Atau mungkin memang kamu sedang bosan bertemu, sebab memang telah beberapa minggu ini aku terus-terusan mengajakmu bertemu.