Di era pemuja kebenaran, semua orang dengan bangga menyatakan diri sebagai ‘anti hoax’, lalu pulang ke rumah dan melarang anak-anak mereka bermain di luar kala malam hari dan menakuti bocah dengan setan bernama wewe gombel.
Sesungguhnya, aku tidak mengerti hoax dan penolakan yang sedang mereka bicarakan. Bukankah dunia ini juga dibangun dengan hoax? Fiksi-fiksi yang ditanamkan orangtua pada anak-anak mereka sedari kecil. Entahlah.
Seorang teman satu kantor baru saja mengundurkan diri dari pekerjaannya. Aku lupa namanya, tapi ia duduk di seberang mejaku. Belakangan ia dijauhi oleh rekan-rekan satu kantor lainnya karena kebohongan-kebohongan yang ia katakan.
Padahal, sebelumnya ia adalah gadis paling terkenal, hampir setiap orang di kantor menyapanya ketika pagi, masuk kerja ataupun sore, pulang kerja.
Minggu lalu, aku melihat teman yang duduk di sebelahku itu menaruh sampah makanan di mejanya. Teman lainnya mendukung tindakan itu dengan turut melakukan hal yang sama.
Aku sendiri hanya duduk di mejaku, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak mengambil posisi apapun, yang berarti telah melakukan pembiaran atas apa yang terjadi.
Gadis itu mengemas barang-barang di mejanya. Tidak ada satu pun ucapan perpisahan atau hadiah kenang-kenangan dari teman-teman di ruangan. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Beberapa yang merasa telah dibohongi berbicara lirih di pojok ruangan, sindiran-sindiran dan ungkapan sinis. “Orang kaya kok beres-beres sendiri. Mana pulang-berangkat pakai ojol lagi.”
“Bener tuh, mana Lamborghininya? Masa dikurung aja di rumah?”
Gelak tawa penuh kemenangan nyaring terdengar. Gadis yang aku lupa namanya itu tidak memberikan reaksi apapun. Ia terus saja mengemas barang-barangnya sembari menundukkan kepala.
Tiba-tiba dia melihatku, lalu berjalan ke arahku. “Ini punyamu, bukan?” ucapnya menyodorkan CD album Be Here Now milik band ternama asal Inggris, Oasis.
Itu album Oasis satu-satunya yang kubeli sebelum band itu bubar. Kubeli ketika pertukaran pelajar di Inggris sebagai kenang-kenangan. “Ambil saja buatmu. Aku nggak terlalu butuh.” Jawabku singkat.
Gadis itu menunduk seketika. Aku seperti telah mengecewakannya. Mungkin dia mengira aku juga membencinya. “Itu kenang-kenangan dariku. Jika kamu berkenan menerima.” Segera kujelaskan maksudku.
Orang seringkali salah memahami perkataanku, bahwa aku memang benar-benar tidak menyimpan apapun di balik kata-kata yang kukeluarkan. Aku memaksudkan ucapanku sebagaimana itu didengar.
“Serius?” dia tersenyum manis.
Kalian harus tahu bahwa sebelum jadi bahan pergunjingan dan objek bully, gadis itu terkenal karena salah satu yang paling cantik di kantor. Ia jadi obrolan toilet banyak laki-laki. Aku sering mendengarnya disebut saat sedang kencing atau buang air besar.
Aku mengangguk. Gadis itu, aku masih berusaha mengingat namanya, dia tersenyum lebih lebar. Lesung pipit di kedua sisi pipinya membuat senyum itu lebih manis. Ia lantas mencopot gelang dari simpul tali dan batu-batuan di tangannya.
“Kalau gitu, ini buatmu.” Ia menyodorkan gelang itu padaku.
Kuambil gelang itu, “terima kasih.”
Dia berpamitan pada seisi ruangan. Aku baru sadar jika kejadian tadi menarik perhatian banyak orang di ruangan, tapi seperti biasa-biasa. Aku tidak peduli dengan mereka, bahkan dengan apapun. Aku kembali bekerja seperti biasa.
Aku, entah bagaimana tumbuh menjadi sedemikian acuh tak acuh. Tidak melekatkan nilai pada apapun. Tidak memberi emosi pada apapun. Bahkan ketika berada satu lift dengan gadis yang belum juga kuingat namanya dan mendapatinya sedang menangis, aku tidak melakukan apapun selain menyodorkan tissue dan berlalu.
Atau saat mendapati orang-orang di sekitar melakukan hal-hal buruk padanya, aku tidak berusaha melarang atau apapun. Mungkin ini juga kenapa banyak teman kantor memanggilku hanya dengan Rob, tanpa y atau ejaan i. Namaku bukan lagi Roby, melainkan robot.
Ketika hari mulai sore dan orang-orang mulai berkemas untuk pulang, aku tidak berniat menceburkan diriku dalam kemacetan. Setelah melakukan check lock untuk pulang, aku kembali ke ruangan. Membuat kopi dari dispenser di pojok ruangan.
Aku kembali duduk di kursiku, memandangi dunia di luar kaca yang riuh. Mataku tiba-tiba tertuju pada benda asing di atas mejaku. Lipatan kertas berwarna biru muda yang sebelumnya tak ada di situ. Kubuka kertas itu. Sebuah pesan, tepatnya ucapan terima kasih.
“Hai, Rob. Aku Cuma ingin bilang terima kasih banyak karena masih mau bicara padaku, dan juga atas semua bantuanmu padaku selama ini. Album CD-mu akan kusimpan. Dan jika kamu berkenan mendengarkan, nomor 4 dalam daftar. Aku paling suka lagu itu dari semuanya.
Salam
Kanaya”
Namanya Kanaya. Ah ya, aku baru ingat. Orang-orang sering memanggilnya Yaya, atau beberapa laki-laki memelesetkannya dengan ‘Kasayang’. Kulipat lagi kertas itu, kuletakkan di atas meja bersama kertas-kertas nota.
Aku tidak tahu apa aku pantas menerima ucapan terima kasih. Aku tidak menolongnya ketika sedang dibully di ruangan, tidak juga membelanya ketika sedang dipojokkan, tapi juga tak turut menyakitinya.
Singkatnya, aku mengambil jarak dari segala hal di ruangan. Tidak terafiliasi dengan apapun. Tapi jika memang begitu ia melihatku, maka itu terserah padanya saja.
Jika membiarkan adalah kejahatan, mungkin aku perlu meminta maaf padanya. Tapi jika tak turut menyakitinya adakah kebaikan, mungkin saja aku pantas menerima surat itu.
Lagi pula aku tak memaksudkan keduanya. Toh seperti yang dikatakan Camus, kejatahan dan kebaikan hanyalah persoalan nasib dan kesempatan.
Kulihat kembali gelang di dalam sakuku. Simpul tali hitam dan batu-batuan berwarna biru langit. Aku hanya menerima tanpa tahu akan kuapakan gelang itu. Karena selain jam, pergelangan tanganku bebas dari gelang maupun tatto-tatto.
Kumasukkan kembali gelang itu di sakuku. Kuputar sebuah lagu nomor 4 dari daftar yang dimaksud.
Stand by me, nobody knows the way it’s gonna be
Stand by me, nobody knows the way it’s gonna be
Stand by me, nobody knows the way it’s gonna be
Stand by me, nobody knows
Yeah, God only knows, the way it’s gonna be