Nasi manusia membuat banyak kucing suka malu-malu manusia saat menginginkan sesuatu. Vice Versa!
Kau pertamakali akrab dengan nasi kucing saat tinggal di kawasan Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang, circa 2007. Di sana, penjual makanan dengan bungkusan kecil itu amat mudah ditemui.
Kau dan keponakanmu, yang kebetulan kuliah di Unissula, sering bepergian ke tempat tersebut. Tak jarang, setelah bermain futsal atau berdiskusi, warung nasi kucing menjadi jujugan kalian untuk menghabiskan waktu.
Di Genuk, tempatmu tinggal di Semarang kala itu, hampir setiap hari nasi kucing menjadi makananmu. Hingga kau rindu rumah hanya karena kangen sama nasi pecel Padangan — pecel paling enak yang tak pernah kau temui di tempat lain.
Di tahun yang sama, saat kau menghabiskan waktu hidup di Surabaya, Jalan Jojoran dan warung depan SMK 45 Surabaya menjadi saksi cerewet kedekatanmu dengan nasi kucing. Di sana, nasi dengan bungkusan kecil itu tak pernah lepas dari makan malammu.
Bersama kawan-kawanmu, kau bahkan menjuluki nasi bungkus minimalis itu dengan istilah nasi garangan atau nasi luwak atau nasi koala. Asal tidak nasi kucing, biar nggak sama dengan istilah di Kota Semarang.
Pada 2009, saat kau masih aktif menjadi pemain futsal semi profesional, hampir tiap selesai main di Bojonegoro Sport Center (BSC), kau selalu menyempatkan diri makan nasi kucing di warung Sukidjan atau warung lain di pelataran Jalan Gajah Mada.
Selain di dua tempat itu, kau juga sering mengunjungi sejumlah warung nasi kucing yang terletak di jalan Lettu Suwolo Bojonegoro. Kau sampai hafal tempat-tempat itu sebagai lokasi makan murah yang kerap kau kunjungi.
Saking seringnya kau mengunjungi warung nasi kucing, kawan-kawanmu pernah mem-bullymu karena perkara sepele: suatu hari, kau kepergok sedang makan bersama seorang perempuan di sebuah warung nasi kucing.
“Lha ngene, pacaran wae ning warung sego kucing, ngene gak oleh cepet munggah kaji.” Kata mereka berupaya mengejekmu.
Tentu kau membantah. Kau tak pernah mengajak seorang perempuan makan, apalagi pacaran di warung nasi kucing — bukan karena sok-sokan borjuis, tapi karena memang saat itu, kau sedang tak punya gebetan yang bisa diajak maem bareng.
Yang sesungguhnya terjadi: seorang kawan perempuan meminta bantuanmu menerjemah dan membikin cerita dari tafsiran pendek pada lagu karya Joan Baez berjudul Donna Donna. Kau mengiyakan tapi tidak saat itu juga. Tapi dia tak sabar. Dia menelpon dan menanyakan keberadaanmu.
Lalu kau jawab jika kau sedang makan nasi kucing di tempat biasa kau makan. Beberapa saat kemudian, dia menyusul dan duduk di dekatmu. Sial, seorang teman memergoki keberadaan kalian berdua, lalu berasumsi jika kau sedang berpacaran di sana.
Tapi bukankah hidup memang sekumpulan asumsi dan persepsi yang kadang tak butuh pembenaran? Sengotot apapun kita berupaya memberi informasi tentang sebuah kebenaran, toh asumsi personal jauh lebih penting dari kebenaran itu sendiri.
** **
Kau pernah bertanya-tanya — dan sedikit tak terima — kenapa harus dinamai nasi kucing? Sebab itu pula, bersama kawan-kawanmu di Surabaya, kau sempat menggantinya dengan istilah nasi garangan atau nasi luwak atau nasi singo.
Suatu hari, kau menyadari satu fakta penting. Nasi kucing yang dimakan manusia akan memicu manusia punya kecenderungan sifat kucing: pemalas dan malu-malu, tapi punya cakar yang berbahaya dan suka mencuri. Tapi tak semua pemakan nasi kucing memiliki keindahan dan kelembutan serupa indah dan lembutnya kucing.
Kau semacam tak tega dengan penemuan makna itu. Kau pun mencari referensi lain: Wikipedia. Frasa “nasi kucing”, sesuai keterangan Wikipedia, berarti “nasi untuk kucing”. Karena porsinya yang kecil. Istilah tersebut berasal dari kebiasaan masyarakat Jawa yang memelihara kucing dan memberi makanan untuk peliharaannya dengan porsi kecil.
Meski mencatut nama kucing, sepertinya kucing tak pernah mendapat royalti dari apa yang diklaim manusia atas namanya tersebut. Jika begitu, sudah sepatutnya pemilik warung nasi kucing njatah kucing yang main ke warungnya untuk makan.
Nabs, nasi kucing konon menjadi entitas kuliner anak semua bangsa. Hampir di tiap kota, terutama provinsi Jawa Tengah, pasti terdapat titik-titik penyedia nasi kucing yang bisa dikunjungi dengan mudah.
Nasi kucing juga simbol makanan kaum proletar. Sehingga mereka yang sedang mengaku aktivis, pasti menyukai makanan tersebut. Meski pada kenyataannya, ada juga pengusaha nasi kucing yang justru menjadi borjuis gara-gara makin banyaknya aktivis yang membeli makanan di tempatnya.
Nasi kucing dan kucing nasi. Atau nasi manusia dan manusia nasi. Manusia memang kucing dalam konteks tertentu. Karena itu, nasi manusia membuat banyak kucing suka malu-malu manusia saat menginginkan sesuatu. Vice Versa!