Saban tempat memiliki nuansa yang berbeda. Begitupun dengan Hari Raya Idul Adha. Upaya meramaikannya berbeda-berbeda, namun esensinya sama. Salah satu di antaranya nuansa Idul Adha di Ibu Kota Republik Indonesia tahun lalu.
Idul Adha tahun lalu ndilalah saya berada di Jakarta dan sekitarnya. Tujuan saya berkelana ke Jakarta, selain dalam rangka jalan-jalan juga untuk ngansu kaweruh plus silaturahim.
Sebagai pengembara yang biasa-biasa saja, tidur di terminal merupakan suatu hal yang biasa. Menikmati dinginnya malam di terminal, sembari menanti hari esok yang penuh misteri.
Namun tidak selalu tidur di terminal, dengan kekuatan jaringan pertemanan, ketika saya berada di Jakarta bertepatan pula dengan Idul Adha, saya bisa bertemu kawan dan mengistirahatkan badan di sebuah kamar.
Momen itu terjadi ketika dari Kota Hujan untuk istirahat sejenak di Ibu Kota. Mengingat kondisi finansial yang kurang bersahabat, dari pada harus pulang alangkah baiknya menemui kawan yang berada di Jakarta.
Dari staisun Kota Hujan, langkah kaki memasuki kereta komuter. Kereta berjalan, tak lupa mata saya sesekali memandangi pemandangan alam dan buatan dari balik kaca kereta. Posisi duduk di kereta komuter berhadap-hadapan.
Namun apabila tempat duduk sudah penuh, bisa memilih tempat lain dengan memegang ring yang ada di bagian atas.
Kawan-kawan saya turun di Staisun Pasar Senen. Sedangkan saya turun di Stasiun Rawa Buaya yang berada di Jakarta Barat. Turun dari kereta, langkah kaki menuju penjual nasi goreng yang berada di sekitar stasiun.
Sembari menunggu jemputan dari Galih, saya sempatkan makan. Lepas itu, menuju di sebuah kedai kopi yang berada di tepi jalan.
Sembari menunggu kedatangan Galih, saya menikmati malam dengan duduk di sebuah kursi yang disediakan oleh kedai. Kursi tepat berada di tepi jalan. Menikmati lalu-lalang kendaraan, sinar rembulan, dan bangunan-bangunan yang berdiri di tanah Rawa Buaya.
Setelah itu, Galih datang. Dialog tentang kabar, kesibukan, dan lain sebagainya mewarnai malam itu. Setelah agak lama berdialog, kemudian saya dan Galih menuju rumahnya. Sekitar staisun agak gelap, namun setelah itu akan disapa gemerlap lampu jalanan maupun gedung-gedung pencakar langit.
Menyurusi jalanan Ibu Kota, melewati gang-gang kecil. Banyak rumah yang berdiri dengan posisi berdempetan dengan rumah yang lain. Namun ada juga yang memiliki sedikit jarak pemisah antar satu rumah dengan rumah yang lainnya.
Setelah beberapa menit menghitamkan aspal jalanan, akhirnya sampai di rumah Galih dengan melewati gang-gang kecil.
Masuk ke rumah, menuju lantai atas. Lantai atas biasanya digunakan Galih untuk menerima kawan-kawannya yang berkunjung ke rumahnya.
Selain itu, biasanya juga digunakan untuk yasinan. Walau tak besar, namun saya menemukan kenyamanan di sana.
Dekat dengan tempat tidur terdapat sebuah jendela. Dari balik kaca jendela terhampar pemandangan Ibu Kota. Kamar yang kita gunakan, juga ruang kerja Galih.
Selain menjadi mahasiswa, Galih juga bergerak di dunia bisnis. Ia sering menerima pesanan desain dari konsumen. Selain itu ia juga menerima sablon kaos satuan.
Ketika bersama Galih, saya juga diajak main bersama kawan-kawannya di kampus reformasi. Selain itu mengikuti sebuah talk show di gedung KPK dan juga berkunjung di sebuah pondok pesantren yang berada di Jakarta Barat.
Di pesantren tersebut, saya juga bertemu dengan kawan-kawan dari Lamongan dan Bojonegoro. Ingat, Nabs. Biasanya dimanapun engkau berpijak, pasti terdapat orang dengan domain yang sama, hehehe.
Ketika berada di Jakarta Barat, sebelumnya saya izin terlebih dahulu kepada Galih untuk menemui Fadli, kawan saya yang berada di daerah Jakarta Pusat.
Sebelum silaturahim dengan Fadli, ketika berada di Ibu Kota saya sempatkan untuk jalan-jalan di kampus UI yang berada di Depok plus ziarah ke makam KH. Hasyim Muzadi yang berada di area Pesantren Mahasiswa Al-Hikam.
Dari stasiun Rawa Buaya siang hari, kemudian naik kereta komuter dan turun di Staisun Universitas Indonesia. Siang menjelang sore di Universitas Indonesia (UI). Sebelum berkeliling, langkah kaki menuju Pesantren Mahasiswa Al-Hikam.
Dari sana, kemudian berkeliling UI secara cuma-cuma dengan menggunakan bus kuning (bikun).
Melewati beberapa fakultas, stadion UI, dan lain-lain. Menyaksikan tanah merah yang terhampar di UI, lalu-lalang mahasiswa, dan bangunan-bangunan yang unik plus artistik seperti perpustakaan.
Setalah puas berkeliling UI dengan bikun, langkah kaki menuju beberapa objek. Seperti Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang dulunya bernama Fakultas Sastra. Sebelum ke tempat tersebut, tak lupa saya mengarahkan langkah kaki ke sebuah jembatan yang berwarna merah yang membentang di atas aliran air.
Jembatan itu akrab disebut Jembatan Teksas, akrnonim dari Teksas yakni teknik, ekonomi, dan sastra (teksas).
Betapa sepinya waktu itu, amat cocok digunakan untuk merenung. Situasi dan kondisi pun mendukung. Semilir angin yang membuat daun-daun bergerak, pepohonan besar yang membuat rindang cum sejuk suasana, dan aliran air yang tenang.
Terkadang membuat bulu kuduk merinding, karena pernah mendengar cerita mistis yang berkembang tentang Jembatan Teksas. Ketika berada di Jembatan Teksas, tidak terlalu lama.
Saya langsung menyusuri beberapa fakultas, ketika berkunjung ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB) ingatanku tertuju pada sosok Soe Hok Gie. Dimana ia merupakan alumnus Fakultas Sastra dari jurusan sejarah. Selain itu juga mengingatkanku pada sosok Di Balik Hujan Bulan Juni, Pak Sapardi Djoko Damono.
Saya ingat betul, ketika berada di UI waktu itu tanggal 9 Dzulhijjah 1440 H. Ketika mengingat-ingat momen itu, saya membuka kembali buku catatan harian berwarna merah. Setiap lembarnya tersimpan kisah.
Dalam catatan harian berwarna merah itu memiliki kertas berwarna cokelat, terkesan seperti buku jadul. Terkadang tiap lembarnya terdapat bekas cangkir kopi, wqwqwq. Semacam stempel alami, beruntung kertas itu mampu menyerap air mataku dikala menuliskan sebuah puisi di sekitar Danau Kenanga.
Setelah lelah berkeliling, saya menuju sekitar Danau Kenanga. Menikmati pemandangan alam dan buatan di sekitar danau. Ketika sore, masih bisa kita temui mahasiswa, keluarga, maupun orang lain yang berada di Danau Kenanga.
Ketika menjelang azan maghrib berkumandang, langit gelap dan ada beberapa daun berguguran terhempas oleh angin. Lampu-lampu yang berada di sekitar Danau Kenangan memancarkan sinarnya. Saya duduk di sebuah kursi dekat dengan danau, dan ketika asik mengabadikan kisah di buku catatan harian tak bertepi, terdengar suara azan maghrib.
Setelah azan maghrib berkumandang, terdengar gema takbir di berbagai penjuru. Gema tersebut, membuat tubuhku wabilkhusus sanubari bergetar dengan sendirinya plus air mata terjun berbas di kertas. Benar-benar berbeda rasanya, ketika gema takbir berkumandang kita tidak dekat dengan keluarga.
Ketika membuka catatan harian kembali, saya larut dalam nuansa momen itu. Terlahir beberapa puisi dengan judul; Senja di Margonda Raya dan Menuju Tanah Abang. Langkah kaki bergegas menuju masjid kampus (maskam) UI untuk menunaikan shalat maghrib berjamaah. Setelah shalat, gema takbir di maskam UI berkumandang. Hal itu membangkitkan memorabilia ketika berada di kampung halaman.
Setelah dari maskam, kemudian menuju Stasiun Universitas Indonesia dan menuju Stasiun Tanah Abang. Laju kereta dibalut dengan gema takbir Ibu Kota. Ketika melihat gawai, banyak kawan-kawan yang membuat status WA tentang “Selamat Hari Raya Idul Adha”. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba kawan saya dari India mengirim video (animasi) untuk memeriahkan Idul Adha lewat FB messenger. Saya hanya tertawa kecil, kemudian mengucapkan terima kasih padanya.
Ketika berada di kereta komuter, terkadang mata menuju pemandangan yang tersaji dari balik kaca jendela. Menyaksikan pemukiman Jakarta dari balik kaca kereta. Tak lupa saya menghubungi Fadli terlebih dahulu untuk bertemu di sekitar Stasiun Tanah Abang.
Ketika sampai di Staisun Tanah Abang, gema takbir terus berkumandang. Mewarnai langit Ibu Kota. Lalu-lalang orang, dan kendaraan menjadi penghias Ibu Kota.
Kemudian saya keluar staisun, dan duduk di area trotoar yang luas untuk menunggu Fadli. Sembari menunggu, saya membeli kopi dan makanan ringan. Kopi dengan wadah plastik dan makanan ringan menjadi teman malam itu.
Ketika menunggu Fadli, entah apa yang merasuki diriku. Lantunan musikalisasi puisi Ari dan Reda berjudul Gadis Peminta-Peminta karya Toto Sudarto Bachtiar sering kali terngiang dalam ingatan.
Lampu jalan, keramaian ibu kota, dan malam menjelang idul adha menjadi saksi pertemuanku dengan Fadli. Ketika berada di ibu kota, saya sering merepotkannya.
Fadli datang, terjadi dialog seperti biasa. Menanyakan kabar, kesibukan, dan sebagainya. Kemudian saya langsung naik motornya. Dalam perjalanan menuju rumah Fadli, obrloan menjadi pengisi.
Keramaian semakin nampak, gema takbir berkumandang dimana-mana. Dari masjid, takbir keliling di jalanan, dan lain-lain. Spanduk ucapan selamat hari raya idul adha bertebaran dimana-mana.
Apalagi ketika masuk komplek. Riuh ramai warga sekitar menyiapkan keperluan untuk tanggal 10 Dzulhijjah menjadi penghias cum menghidupkan lorong-lorong Jakarta yang biasanya sepi.
Malam itu warga bergotong royong menyiapkan keperluan untuk esok seperti shalat id dan menyembelih hewan qurban. Pemandangan sapi dan kambing di tepi jalan juga menambah keramaian malam itu. Sesekali bunyi petasan juga terdengar. Ada bunyi petasan cabai dan ada juga petasan yang mewarnai langit Jakarta.
Unsur biotik dan abiotik pada malam itu, seakan-akan bekerjasama dan berjanjian dalam rangka menghidupkan malam. Dalam perjalanan menuju rumah Fadli, juga melewati lorong-lorong kecil Ibu Kota. Dari lorong ke lorong dan akhirnya sampai di rumah Fadli.
Tercatat sudah dua kali saya silaturahmi ke rumah Fadli. Walau sudah dua kali, namun saya biasanya lupa lokasi rumahnya.
Yang kedua kalinya, betepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Setelah sampai di rumahnya, mengingatkan saya pada gambar sebuah perkampungan di Brazil, bagian cakrawala dihiasi oleh kabel-kabel yang tidak beraturan.
Sampai di rumah Fadli, ia memberikan hidangan khas betawi. Saya menikmati hidangan yang diberikan. Tak terasa malam semakin larut, namun gema takbir masih saja terdengar di berbagai penjuru. Kemudian saya menuju ke kamar yang berada di lantai dua.
Sebelum menuju ke sana menaiki tangga kayu. Setelah itu saya bersiap untuk merbahkan badan. Dan Fadli ada kegiatan bersama kawan-kawan remaja masjid untuk perisapan besok.
Sebelum memejamkan mata, saya menggambarkan kondisi lingkungan sekitar dengan tulisan. Sebuah puisi yang belum selesai, kemudian pada keesokan harinya sala lanjutkan untuk melengkapi dan menyelesaikan bait-bait puisi. Lahir sebuah puisi dengan judul Gema Takbir Petamburan tertanggal 11 Agustus 2019 M bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah 1440 H.
Ketika mata terbuka, bangun dari tidur. Gema takbir semakin berkumandang. Kemudian menunaikan shalat subuh, membersihkan badan, dan bersiap untuk menunaikan shalat id. Saya berangkat bersama Fadli dan kawan-kawannya.
Menyurusi lorong-lorong kecil, bangunan-bangunan pencakar langit yang terlihat dari kejauhan, rel kereta yang memisahkan pemukiman, jalanan yang begitu sepi jika dibanding dengan hari-hari biasa, dan lain sebagainya.
Langkah kaki menuju sebuah kantor kementerian. Kita menunaikan shalat di lapangan kantor. Setelah shalat usai, kemudian kembali menuju rumah Fadli. Sapi dan kambing yang berada di pinggir jalan, siap untuk dikorbankan. Tak jarang, sapi dan kambing mengeluarkan air mata. Namun sebenarnya mereka senang apabila disembelih pada Hari Raya Idul Adha.
Ditambah daging hewan qurban, kemudian kita makan dan menyatu dalam metabolisme tubuh. Tubuh yang ada ruhnya digunakan untuk beribadah kepada Allah swt, kambing dan sapi pun akan tersenyum secara tersirat.
Saya menyaksikan penyembelihan beberapa ekor sapi dan kambing di sebuah mushola yang berada di di Kelurahan Petamburan, Tanah Abang. Setelah menyaksikan penyembelihan hewan qurban, saya pamit kepada Fadli untuk segera menuju Rawa Buaya. Dan tak lupa saya mengucapkan terima kasih banyak kepadanya. Kemudian saya menuju staisun terdekat dan menuju ke Rawa Buaya untuk menuju rumahnya Galih.
Sepanjang perjalanan menuju Rawa Buaya. Sesekali kepulan asap dengan aroma satai kambing tercium dengan sendirinya. Jalanan di Ibu Kota waktu itu, juga sepi apabila dibanding hari-hari biasa.
Itulah, Nabs. Nuansa Idul Adha di Ibu Kota. Dimanapun tempatnya, esensinya sama. Sesekali harus mencoba merasakan Hari Raya Idul Adha di tempat berbeda. Ingat, Nabs. Kalimat yang sering muncul di buku tulis dengan logo bola dunia experience is the best teacher.