Untuk berberita, kau hanya cukup mengabarkan sesuatu. Sedang untuk bercerita, kau harus mengalaminya terlebih dahulu.
Mata saya sudah mendrip-mendrip ketika mendengar Anin dan Wisnu ngobrol ngalor-ngidul tentang sejumlah film yang beberapa saat silam, selesai mereka tonton. Dan entah kenapa, rasa kantuk saya tiba-tiba hilang begitu saja.
Meski beberapa malam sebelumnya saya kurang tidur, mata dan telinga saya kembali menemukan kepekaan kala mendengar dan menyaksikan mereka berdua bercerita. Bahkan, sesekali menanggapinya. Saya, entah kenapa, suka sekali mendengar orang bercerita.
Wisnu bercerita jika dia menangis saat nonton film Korea berjudul Hello Ghost. Katanya, itu film yang awalnya terasa biasa saja. Tapi, di akhir cerita, ada plot yang mampu menguras air matanya. Air mata di sini, sudah bukan lagi benda. Ia nyawa yang bercerita.
“Saya nangis saat nonton film Hello Ghost,” katanya pada Anin sambil tertawa terbahak-bahak.
Jika Wisnu nangis saat nonton Hello Ghost, Anin mengalami kisah berbeda. Dia, justru menangis saat nonton film Jepang berjudul Wedding Dress. Meski film itu sudah bertahun-tahun dia tonton, dia mengaku, kesedihannya selalu bisa diperbaharui.
“Kalau nggak nangis nonton film itu, kamu bukan manusia,” kata Anin pada Wisnu, tentu sambil tertawa.
Saya tak bisa membayangkan, betapa sebuah cerita yang menyedihkan dan menguras air mata, mampu mereka berdua ceritakan dengan bahak tertawa hingga menggetarkan kedai tempat kami bersua malam kemarin. Saya yang menyaksikan perbincangan mereka berdua, ikut sedih sekaligus tertawa.
Di situlah, barangkali keunikan sebuah cerita. Saat mengalaminya secara langsung, boleh jadi kita bisa menangis sejadi-jadinya. Tapi saat kembali menceritakannya — selang waktu tertentu — kadang kita mampu membawanya sambil tertawa.
Bagi saya, mendengar cerita tak sama dengan mendengar berita. Tak banyak respon saat saya mendengar berita. Tapi, saat mendengar cerita, respon saya bisa beragam. Bahkan hingga tak menemui istilah untuk menggambarkannya.
Berita dan cerita memang punya substansi yang sama: menyampaikan pesan. Namun, keduanya memiliki beda yang tak sederhana. Untuk berberita, kau hanya cukup mengabarkan sesuatu. Sedang untuk bercerita, kau harus mengalaminya terlebih dahulu.
Saya bisa membuang waktu dan membuka telinga selebar-lebarnya hanya untuk mendengar cerita orang lain, asal cerita itu mengasyikkan. Jika ceritanya tidak asyik, tapi cara menceritakannya asyik, sudah cukup menyenangkan bagi saya.
Saat mereka berdua membahas film Memoirs of Murder, Train to Busan dan Confessions, misalnya, mereka mampu mengoplos rasa tegang dan lucu secara bersamaan. Padahal, andai kembali pada momen saat menotonnya, saya kira itu mustahil untuk dilakukan.
Kesedihan sebuah cerita, bisa jadi, benar-benar kita rasakan saat sedang mengalaminya. Tapi percayalah, kelak, entah kapan, kita pasti mampu membawakan cerita itu dengan penuh kelucuan.