Kenangan tentang Pak Pratikno, Bojonegoro, Lapangan San Siro, hingga perjalanan naik bus dari Bojonegoro menuju Jogjakarta.
Sekitar tahun 2006, seorang teman sekolah MTs-ku dulu memberi informasi tentang organisasi bernama Ikatan Mahasiswa Bojonegoro (IMAGO) di Yogyakarta.
Di akhir obrolan, temanku ini mengenalkanku dengan salah satu pengurus IMAGO, lalu memberi nomor kontaknya. Sayangnya aku lupa nama pengurus IMAGO tersebut. Payah sekali ingatanku ini.
Beberapa waktu kemudian aku menghadiri undangan dari pengurus IMAGO untuk membahas tentang rencana-rencana kegiatan IMAGO. Itu adalah kali pertama aku menghadiri kegiatan IMAGO.
Di momen itu, aku hadir saja sebagai salah satu peserta, dan menjadi pendengar setia dari aneka ide dan gagasan dari peserta lainnya. Banjir besar yang melanda Kabupaten Bojonegoro tahun 2007 menjadi momen berikutnya kegiatan IMAGO yang aku sekadar ikut terlibat untuk menggalang donasi.
Dari kegiatan dengan IMAGO inilah, aku pertama kali mendengar nama Pak Pratikno. Putra asli Bojonegoro yang menjadi dosen di Fisipol UGM. Seingatku, saat itu Pak Pratikno menjadi wakil dekan.
Setelah pertemuan itu, lama tidak ada kabar dari IMAGO. Kayaknya sih aku yang jarang ikut terlibat dan aktif untuk terlibat. Maaafkan. Sejak MTs dan kemudian SMA, aku tidak bersekolah di Bojonegoro. Akibatnya lingkar pertemananku sedikit yang berasal dari Bojonegoro.
Kendala itulah yang menjadikanku tidak banyak terlibat dengan kegiatan-kegiatan dengan teman-teman dari Bojonegoro di IMAGO. Secara resmi keorganisasian, aku tidak pernah menjadi pengurus.
Aku sendiri beberapa kali datang ke Fisipol UGM untuk diskusi dan melaksanakan kegiatan. Salah satu kegiatanku dengan teman-teman organisasiku adalah pelatihan penulisan dengan pembicaranya Pemred Koran Kedaulatan Rakyat (KR). Acara ini kami adakan di Aula Fisipol.
Berkat teman di Fisipol pula, aku berhasil mendapatkan lampiran tulisan Kiai Ahmad Dahlan berjudul Tali Pengikat Hidup dari buku yang ada di perpustakaan Fisipol. Tali Pengikat Hidup adalah warisan langka Kiai Dahlan dalam bentuk tulisan yang dibuat beberapa saat sebelum beliau meninggal.
Jamak diketahui bahwa Kiai Dahlan, meminjam istilah Nurcholis Madjid (Cak Nur), adalah sosok man of action. Warisan Kiai Dahlan adalah amal usahanya, tidak dalam bentuk tulisan.
Beberapa kali berkegiatan di Fisipol itulah aku mengetahui perihal San Siro. San Siro adalah lahan kosong di tengah-tengah Fakultas Sospol yang digunakan mahasiswa untuk bal-balan. Lapangan San Siro ini berupa tanah lapang yang belum tertutup semen dan beton. Sehingga tanah lapang ini dikenal dengan predikat tambahan: San Siro berdebu.
Aku sendiri belum pernah bal-balan di San Siro ini, hanya beberapa kali melihat mahasiswa-mahasiswa asik bal-balan. Aku sendiri biasanya bal-balan setiap Sabtu dan Ahad pagi di lapangan tanah berpasir di belakang Fakultas Teknologi Pertanian dan depan Fakultas Kehutanan. Kami biasa bal-balan dengan tanpa alas kaki alias nyeker. Menyenangkan.
** **
Kakek dan nenek dari garis keturunan ibuku orang asli Yogyakarta. Oleh sebab itu semenjak usia madrasah ibtidaiyah, aku telah beberapa kali pergi ke Yogya. Setiap pergi ke Yogya, Cendana dan Gunung Mas adalah moda transportasi yang mengantarkan kami dari Bojonegoro menuju Ngawi untuk kemudian berpindah bus Ngawi–Yogyakarta.
Rutinitas itu bertambah seiring waktu aku sekolah di Yogya semenjak SMA. Ada sebuah kredo yang kupegang saat naik bus Bojonegoro-Ngawi dan sebaliknya: Setelah bayar ongkos ke kernet bus, langsung tidur. Bangun-bangun setelah hampir tiba di terminal. Sebab utama kredo itu dijalankan adalah hal ini: Jalanan bergelombang dan kelok-kelok. Bojonegoro-Kalitidu-Padangan, berlanjut Ngraho-Margomulyo-Ngawi.
Aku tidak pernah belajar ekonomi, namun sependek dan sepemahamanku dari membaca artikel dan berita di Koran — dulu kami langganan Koran Kompas di kos-kosan — aku menjadi tahu bahwa persoalan ekonomi memiliki dua aspek: Pertumbuhan dan pemerataan.
Singkatnya, pertumbuhan ekonomi dengan angka-angka dan indikator makro ekonomi harus memberi efek bagi pemerataan kesejahteraan yang dirasakan orang banyak. Mohon maaf jika aku keliru.
Persoalan ekonomi tidak bisa dilepaskan dengan keterjangkauan, ketersediaan, dan kemudahan akses. Akses terhadap pendidikan, informasi, komunikasi, transportasi, berpengaruh terhadap taraf ekonomi dalam taraf individu dan masyarakat. Ketimpangan akses menyebabkan perbedaan tingkat ekonomi seseorang atau wilayah.
Dengan kata lain, pembangunan ekonomi beririsan erat dengan pembangunan kualitas dan kuantitas pendidikan, akses transportasi dan jalan, penyediaan infrastruktur telekomunikasi dan informasi.
Selain itu, kemarin aku sempat membaca artikel dari laman resmi WEF (World Economic Forum), bahwa kondisi ekonomi masa depan harus lebih memperhatikan kualitas kesehatan dan sosial manusia. Artinya, ada tanggung jawab bersama dalam mewujudkan kehidupan dunia yang lebih sehat bagi semua.
Tulisan Mas Rizki menitiktekankan tentang perlunya Bojonegoro Barat mendapat fokus pembangunan dan pemerataan akses membawaku akan kenangan bertahun-tahun itu. Dan aku sepenuhnya sepakat.