Laksana gemercik air yang mengalir, begitulah kira-kira saya menggambarkan gagasan pemikiran Prof. Yudian Wahyudi.
Prof. Yudian Wahyudi merupakan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saat ini. Gemercik air, menurut hemat penulis, menjadi “identitas” pemikiran Prof. Yudian Wahyudi yang berorientasi pada tiga hal.
Yaitu: pertama, konsistensi pemikiran Islam yang berorientasi pada peneguhan maqashid asy syari’ah sebagai landasan dalam merekonstruksi pemahaman Islam.
Konsistensi pemikiran Prof. Yudian Wahyudi penulis ibaratkan sebagai gemercik air yang tetap konsisten untuk mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah.
Kedua, pemikiran yang kritis tapi tetap santun. Dalam hal ini, penulis melihat karakter pemikiran Prof. Yudian Wahyudi yang selalu mengkritisi pemikiran tokoh-tokoh terdahulu tanpa merendahkan dan menghujat pemikiran tokoh tersebut.
Karakter pemikiran Prof. Yudian Wahyudi seperti inilah yang penulis ibaratkan seperti gemercik air yaitu air yang deras mengalir namun tetap sejuk dan menyejukkan objek yang dilewatinya.
Ketiga, bersemangat global dan universal namun tetap membumi. Karakter pemikiran Prof. Yudian Wahyudi seperti ini dapat dilihat terutama bagaimana beliau menggagaskan Fakultas Syariah dan Hukum di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Beliau justru tidak mau terjebak dikotomi antara “Kiai (KH)” yang dipersepsikan sebagai Islam yang tradisionalis dengan “SH (Sarjana Hukum)” yang dianggap mencerminkan modernitas dan kemajuan zaman.
Prof. Yudian Wahyudi justru mengitegrasikan antara “Kiai (KH) dan SH (Sarjana Hukum)” sehingga menjadi semangat KH, kualitas SH yang kemudian termanifestasi dalam nama Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Menurut penulis, jika diibaratkan sebgai air maka dapat dikatakan pemikiran Prof. Yudian Wahyudi laksana air yang tetap membumi ke tempat yang rendah karena setinggi apapun air berasal, air akan tetap mengairi serta menyejukkan tempat yang lebih rendah.
Oleh karena itu, tampaknya tepat kesimpulan penulis untuk mengibaratkan pemikiran Prof. Yudian Wahyudi seperti: gemercik air.
Pemikiran yang konsisten, kritis dan santun, serta tetap membumi dengan semangat global dan universal.
Gagasan Prof. Yudian Wahyudi, salah satunya menekankan bahwa aspek terpenting dalam pembangunan Fikih Indonesia adalah pengoptimalan ijtihad untuk menghadapi perkembangan zaman.
Lebih lanjut, karakter Fikih ke-Indonesia-an juga harus ditopang oleh tiga aspek yaitu: Hay’at al-tasyri’iyyah (di Indonesia oleh Prof. Yudian Wahyudi dikaitkan dengan lembaga Majelis Ulama Indonesia), Ahl al-ikhtisas (di Indonesia oleh Prof. Yudian Wahyudi dikaitkan dengan lembaga Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), dan Hay’at al-Siyasah (di Indonesia oleh Prof. Yudian Wahyudi dikaitkan dengan lembaga MPR dan DPR).
Prof. Yudian Wahyudi juga melakukan konstruksi progresif atas Teori Receptie yang dikembangkan oleh para orientalis yang orientasinya adalah “pengkajian Islam untuk penjajahan” sehingga banyak hasil risetnya terutama mendiskreditkan Hukum Islam.
Prof. Hazairin berupaya mengoptimalkan Teori Receptie Exit sebagai “bantahan” terhadap Teori Receptie a la barat, maka Prof. Yudian Wahyudi justru mengemukakan gagasan lisanul kaum dan teori keseimbangan dan perubahan yang berfokus pada tiga aspek yaitu: continuity, change, dan transcendence.
Gagasan lain Prof. Yudian Wahyudi adalah terkait dengan modernisasi pendidikan Islam, khususnya modernisasi pesantren yang dapat diperbandingkan dengan gagasan dari Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Cak Nur lebih melihat bahwa perlu adanya “modernisasi” pesantren sehingga dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Dalam hal ini, Prof. Yudian Wahyudi justru menegaskan bahwa modernisasi pesantren itu perlu, tetapi pesantren harus tetap kuat pada identitas dan “akar” keilmuannya.
Oleh karena itu, Prof. Yudian Wahyudi menegaskan bahwa di dalam pesantren harus terdapat tiga aspek, yaitu: continuity, change, dan transcendence.
Bagi Prof. Yudian Wahyudi, pendidikan pesantren ke depan selain harus tetap menekankan identitas pada pendidikan akhlak, ngaji kitab kuning, nahwu, dan sebagainya juga harus mengintegrasikan dengan experimental science dan applied science seperti ilmu Matematika, IPA, Kimia, dan sebagainya sehingga Prof. Yudian Wahyudi mendirikan sekolah bernama “Sunan Averroes”.
Nama Sunan Averroes dipilih sebagai integrasi antara ilmu agama dan experimental science.
Dalam hal ini nama “Sunan” mewakili dimensi keagamaan sedangkan “Averroes” mewakili rasionalisme atau experimental science yang merupakan nama tokoh Islam bernama Ibnu Rusydi (Averroes) yang ahli di bidang filsafat ilmu pengetahuan.
Gagasan Prof. Yudian Wahyudi lainnya yang menarik dikaji adalah berkaitan dengan mengenai pemaknaan istilah khilafah yang dapat diperbandingkan dengan pemaknaan istilah khilafah menurut tafsir Al-Misbah dari Prof. Quraish Shihab.
Dari penafsiran Prof. Yudian Wahyudi, dapat disimpulkan bahwa khilafah adalah nilai yang orientasinya berupa maslahah bagi umat.
Dalam hal ini, khilafah adalah ijtihad masing-masing masyarakat (negara).
Berbagai tafsir dari Prof. Yudian Wahyudi juga sering disebut sebagai “tafsir Kanada” yang intinya bahwa jika umat Islam Indonesia ingin maju maka harus memfardhuainkan ilmu fardhu kifayah seperti Matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan sebagainya sehingga menjadi kurikulum inti pesantren.
Dari gagasan Prof. Yudian Wahyudi mengenai tafsir Al Qur’an, Prof. Yudian Wahyudi juga mengkritisi hermeneutika barat dan menegaskan bahwa dalam Ushul Fiqh perlu metode maqashid syariah untuk menegaskan Fikih Indonesia yang mengintegrasikan ‘urf, ijma’, serta maqashid syariah.
Dari berbagai gagasan di atas, pandangan dan pemikiran Prof. Yudian Wahyudi harus dipahami sebagai konstruksi atas pemikiran para ahli terdahulu sekaligus sebagai refleksi atas konteks yang berkembang pada saat gagasan itu dirumuskan.
Sebagai bagian dari penemuan intelektual, tentu gagasan Prof. Yudian Wahyudi harus terus dikritisi bahkan hingga didekonstruksi.
Khususnya, gagasan beliau mengenai relasi antara Pancasila dan agama. Hal ini karena, relasi antara Pancasila dan agama adalah pengkajian utama yang menjadi pilar penting dalam meneguhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).