Kesenian adalah hiburan bagi masyarakat. Terlebih, ada unsur pendidikan terkait budaya. Misalnya pengajaran nilai moral dan sejarah.
Lantunan suara sinden mengiringi drama Wayang Tengul. Boneka kayu tersebut menari-nari. Bertingkah layaknya manusia nyata. Tangan lincah sang dalang membuatnya seolah hidup.
Itu terjadi pada Senin (10/2) siang. Tepatnya di atas rel bekas, di hadapan warung kopi pojokan Jalan HOS Cokroaminoto, Desa Pacul, Bojonegoro. Warga berdatangan. Tidak ramai, tapi cukup membuat bangku warung kopi penuh.
Tampak seorang anak kecil melihat dari kejauhan. Tidak berani mendekat. Tampangnya lucu dan menggemaskan. Sepertinya takut dengan wajah para wayang yang berdiri di atas gedebog.
Wayang Thengul, seni budaya asli Kabupaten Bojonegoro. Drama tersebut dipentaskan kelompok pegiat seni Wayang Thengul asal Desa Bakalan, Kecamatan Kapas.
Drama Wayang Thengul tersebut adalah pentas keliling. Hanya sebagai hiburan. Tentunya bagi pegiat tersebut, juga bagi masyarakat. Bukan sebuah pementasan besar dengan panggung megah.
Meski dengan lesehan, drama dimainkan dengan apik. Lengkap dengan gamelan dan sinden sebagai pengiringnya. Meski begitu, sifatnya cukup minimalis.
“Ini sih pentas keliling. Tapi kalau tanggapan besar beda. Kalau tanggapan besar gongnya lengkap, ada pelo ada slendro. Tampil seperti ini digunakan sebagai hiburan,” kata sang dalang, Lasmijan.
Pentas keliling kerap dilakukan Lasmijan. Tentu bersama tim kecil gamelan dan sinden. Hanya saja, itu dilakukan secara gotong royong. Maksudnya, yang ada waktu ya ayo. Langsung deh mencari tempat.
Tempat pentasnya pun tidak tentu. Bisa di mana saja. Asal ada lahan dan colokan listrik. Biasanya, Lasmijan menerima tanggapan kecil dari masyarakat Bojonegoro. Istilahnya sih ngamen gitu.
Untuk sekali pentas, bayarannya bisa 100 ribu rupiah. Itu untuk satu cerita. Cerita dibawakan dalam waktu sekitar satu jam. Tapi, pada intinya yang dilakukan Lasmijan dan temannya adalah menghibur. Khususnya, melestarikan budaya.
“Bukan memikirkan kekayaan juga, tetapi hiburan sekaligus meneruskan kesenian budaya Jawa. Jangan sampai kesenian itu tenggelam,” turut kakek penghisap kretek tersebut.
Benar yang dikatakan Lasmijan. Kesenian adalah hiburan bagi masyarakat. Terlebih, ada unsur pendidikan terkait budaya. Misalnya pengajaran nilai moral dan sejarah.
Selain itu, budaya asli dari Bojonegoro perlu dilestarikan. Dengan pentas keliling, masyarakat akan melihatnya. Penting juga untuk diketahui anak-anak. Meski pun ada yang takut karena belum akrab dengan pewayangan.
“Kalau ini melestarikan budaya, khususnya wayang tengul asli Bojonegoro. Niki wayang tenghul kagungan e Bojonegoro piyambak,” tutur Lasmijan.
Cara Lasmijan untuk mementaskan pun bersifat gotong royong. Tidak seperti grup band dengan personil tetap. Ini kesempatan belajar yang dibuka lebar. Bagi siapapun.
Sayangnya, rombongan pementas Wayang Thengul tersebut tidak ada yang muda. Ini turut menjadi motivasi dalang tersebut untuk pentas keliling. Meski Lasmijan kerap pentas di beberapa event kebudayaan Bojonegoro.
Lasmijan berharap anak muda juga belajar kesenian. Setidaknya, generasi penerus tahu apa yang dimiliki. Misalnya kebudayaan asli milik daerahnya. Itu bagian dari kekayaan yang dimiliki. Bukan saja soal harta.