Selain menjadi teror yang buruk, penyeragaman cara pandang rentan melanggengkan sistem busuk yang telah mendarah daging lama.
Pada masa kanak-kanak, ketakutan terbesar yang sering menghantui saya adalah jatuh dari sepeda, tidak bisa bermain playstation, dan terjebak dalam gelap saat mati lampu. Saya sering meluapkan rasa takut itu dalam diam dengan kedua mata sembab dan duduk berlama-lama di pojok teras rumah.
Sebisa mungkin, rasa tangis saya hindari. Sebab, kata orang-orang terdahulu di kerumunan, laki-laki sejati tak boleh menangis. Dan jika terpaksa menangis berarti ia cengeng dan mesti dipakaikan rok atau busana perempuan.
Saya sering tak mengerti mengapa sebuah tangis selalu berasosiasi dengan gender tertentu, dan dalam konteks ini perempuan. Tetapi, begitulah masa kecil yang terjadi pada saya, yang belakangan cukup menjadikan air muka saya tercekat. Oh mengapa kehidupan masa lalu amat bertaut dengan maskulinitas rapuh?
Lalu pada fase menjelang remaja, ketakutan itu perlahan naik kelas. Ia bukan semata soal main playstation atau terjebak dalam gelap. Lebih dari itu, ketakutan yang hinggap adalah persoalan yang susah saya mengerti, yang baru sekarang saya pahami akibat berkubang di zaman tersebut.
Rasa takut itu berwujud dalam istilah “menjadi dewasa”. Khusus hal ini, saya mendapatkannya dari teman-teman yang gemar berbuat konyol di masa akhir SMA. Teman baik itu pernah bilang “Selamat bertambah dewasa. Jangan jadi tua dan menyebalkan ya!”.
Lantas di usia yang terus berjalan sekarang, saya menjumpai betul penjelmaan ketakutan tersebut. Dan itu, bukanlah persoalan sederhana yang dapat dieja dengan kacamata biasa.
Dewasa, selain berarti perubahan sikap dan angka usia, juga selaras dengan banyaknya tantangan yang hadir. Kata orang, ibarat pohon mahoni, semakin ia tinggi, makin kencang angin yang menabrakinya dan membuatnya oleng ke kiri dan ke kanan.
Dan itu, sayangnya tak selalu menyenangkan, apa lagi jika kondisi mental dan energi tidak cukup prima.
***
Menjadi dewasa, saya kira, tak hanya seputar kewajiban yang terus membanyak dan beranak pinak. Namun juga soal “menjadi akrab” dengan cara pandang orang lain yang kerap kali memaksakan kehendak serta tujuan yang ia lalui.
Cukup sering kedua telinga saya menangkap nasehat yang baik yang ditujukan pada yang lain, “Ayo jangan malas bekerja. Kalau kamu berusaha keras, kamu akan sukses dan kaya”. Sepintas itu mungkin benar dan terdengar heroik.
Tapi, apa pernah seseorang menelisik mengapa meski sepanjang hayat manusia bekerja keras, kondisinya begitu-begitu saja? Atau: mengapa meski tak pernah malas, seseorang tetap kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya?
Itulah privilege atau keistimewaan. Yang dalam peranannya, amat mungkin mengubah kondisi seseorang.
**
Orang dengan gampang berupaya menyeragamkan tujuan orang lain agar sama sepertinya. Dan itu, celakanya, tak diiringi keadaban dalam berpikir yang baik dan luas.
Imbasnya, bisa kita saksikan. Bahwa alih-alih nasehat tersebut mampu membuat seseorang bergerak dan bersemangat sepuluh kali lipat justru yang dihasilkan adalah masalah baru dan beban kebencian.
Penyeragaman, kita tahu, tak selalu menghasilkan kebaikan yang harmonis. Dan pada tahap tertentu, ia menjadi celaka bagi siapa yang mengenakannya.
Tak melulu soal bekerja, pada hal sekira menikah dan pendidikan juga demikian.
Orang menikah, tentu saja bagus. Namun jika dengan pertanyaan “Kamu kapan menikah? Itu si fulan sudah menimang bayi yang lucu” seseorang berupaya menjadikan yang lain untuk melakukan hal yang sama, bisa dipastikan ia abai dengan kondisi dan beban yang dijalani orang tersebut.
Atau, taruhlah dalam hal pendidikan. Jika nasehat-nasehat bijak macam “Kenapa nggak kuliah? Sayang sekali usiamu, lho. Itu si A sudah semester tujuh dan hampir lulus.” ditujukan pada seorang lulusan SMA yang mesti bekerja untuk menanggung beban kebutuhan ekonomi keluarga, tentu bisa menjadi bumerang melukai secara kekal.
Kita lupa bahwa nilai (value) yang dianut setiap orang berbeda. Yang melatarinya, tentu saja konteks, latar belakang, hingga keistimewaan (previlige) yang dipunya.
Dengan kenyataan tersebut, menjadi dewasa (dan berusia tua) seharusnya bisa menjadikan seseorang bijak, mawas diri, dan bukannya sibuk menelurkan ketakutan-ketakutan baru bagi generasi lainnya.
Sebab, selain menjadi teror yang buruk, penyeragaman cara pandang rentan melanggengkan sistem busuk yang telah mendarah daging tersebut. Imbasnya, kebencian bisa lahir turun temurun, dan terus beranak pinak lintas generasi.
Sebuah pertanyaan kiranya perlu kita renungkan bersama-sama. Jika dalam definisi “bahagia” saja kita memiliki tafsir yang berbeda, lalu untuk alasan apa seseorang perlu memaksa orang lain melalui jalan yang sama?