Frekuensi gerakan literasi di Bojonegoro mengalami ketidakstabilan. Sebelum kita bahas kampanye literasi, mari kita pahami definisi literasi.
Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Jika kita definisikan sederhana bahwa literasi selalu berevolusi sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan zaman.
Memang secara umum literasi merupakan kemampuan membaca dan menulis. Saat itu juga, istilah Literasi sudah mulai digunakan dalam arti yang lebih luas. Dan sudah merambah pada praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.
Secara etimologis istilah literasi sendiri berasal dari bahasa Latin “literatus” yang dimana artinya adalah orang yang belajar. Dalam hal ini, literasi sangat berhubungan dengan proses membaca dan menulis.
Kalau kita membaca dari sebagian para ahli misal menurut Alberta, Literasi ialah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan ketrampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Sepekan terakhir, kerap sekali dijumpai beberapa komunitas literasi yang ada di bojonegoro gulung tikar, seperti pedagang-pedagang kaki lima, pedagang-pedagang pasar yang demonstrasi dalam merespons kebijakan pemerintah, Umkm tidak stabil, bahkan pedagang jamu keliling, itu semua disebabkan pandemi yang melanda beberapa tahun lalu.
Tidak sedikit di antaranya yang berkeluh kesah, tentang harapan dan impian tumbang sebelum mencapai titik terang keheningan. Dari beberapa data informasi yang didapat terutama pertumbuhan dan perkembangan komunitas literasi di Bojonegoro cukup baik walaupun nilai indeks prestasi begitu rendah dari setiap tahunnya.
Perkembangan komunitas literasi di bojonegoro cukup baik dibanding komunitas yang ada di beberapa daerah. Misal seperti Perpustakaan semangat muda (Perpus Garda) dengan sarana becak keliling untuk mengajak anak-anak untuk gemar membaca.
Selain itu, becak keliling menjadi media transportasi dalam kampanye literasi cukup inovatif, ditengah kecanggihan teknologi dan arus informasi yang begitu pelik, ia mencoba untuk merasakan bagaimana perih dan pedih ketika sedang dihadapkan dengan realitas kehidupan, dengan mengajak anak-anak gemar membaca, berkarya, dan bercerita.
Puluhan buku yang disediakan cukup memuaskan bagi anak-anak, terutama perihal peminjaman, pembaca bisa membawa sampah nonorganik sebagai media transaksi beberapa buku yang diminati untuk dibaca. Dalam konteks ini, ada dua visi khsusu yang dilakukan oleh Agung secara analisis pribadi penulis.
Pertama kampanye literasi memberikan spirit bagi generasi yang baru lahir kemarin, bahwa membaca buku hendak digiatkan lagi, agar membaca bukan lagi perbuatan yang berat, asing, dan menakutkan.
Kedua mendorong kepada masyarakat bahwa menjaga kebersihan lingkungan bagian dari perihal penting yang tidak boleh semua orang mengabaikannya, di larang membuang sampah tidak pada tempatnya. Misal Membuang sampah di sungai, atau memadati jalan dengan tumpukan sampah.
Kembali lagi tentang gerakan literasi yang selalu bias di kalangan internal dan eksternal di dalam komunitas itu sendiri. Grakan-gerakan spontanitas tersebut menjadikan bias dan ganda. Dengan keterbatasan tenaga yang dimiliki, kebanyakan tidak bisa sampai bertahan puluhan tahun, kecuali perpustakaan sekolah dan kampus yang sudah menjamur—jauh dari nilai-nilai substansi.
Jika kita berbicara Bojonegoro, dengan populasi penduduk begitu banyak, dengan gerakan-gerakan komunitas yang tumbuh, jatuh, dan rapuh tidak kembali. Apa yang terjadi? tumbang dan gulur tikar secara eksistensi, karena ia akan menjadi dirinya sendiri, belajar sendiri, membaca bukunya sendiri, dan merasa terasingkan dari realitas kehidupan.
Memang kampanye literasi dengan menggalakkan membaca buku itu tidak semudah mengajak antri bansos di instansi terkait yang secara sadar langsung terkoneksi dengan sendirinya, karena berhubungan dengan kebutuhan pokok untuk bertahan hidup.
Lalu, apa yang menjadi persoalan dalam ekosistem merawat kampanye literasi di Bojonegoro. Kenapa selalu rok-rok asem dalam istilah jawa.
Hemat penulis, kampanye literasi adalah suatu tindakan yang dilakukan secara berjamaah atau kolektif dalam membangun kesadaran manusia secara utuh dan universal. Kecakapan berpikir yang logis, etis dan spiritualis.
Dengan Membaca, memahami, menganalisis dan mengekspresikannya dalam beragam bentuk media kampanye literasi. Dari mulai bedah film, arisan buku, bernyanyi dengan petikan benang maupun gendang, bergumam dengan puisi, bercerita dengan esai, cerpen, dan cerbung, bersekutu dengan waktu, bercanda dengan tanda tanya.
Kebutuhan dasar manusia adalah sadar diri dan ruang, menyadari bahwa membaca buku sama halnya membaca pikiran, moral, dan etika lisan. Kemudian ruang (penyediaan buku) bisa berkolaborasi dengan komunitas maupun perpustakaan buku yang ada atau memiliki kesamaan visi dan misi yang sama. Sama-sama membangun moralitas anak-anak bangsa dengan giat membaca secara etis sekaligus logis.
Misal Komunitas Sematta Sastra yang baru lahir kemarin senja, tidak terlalu padat penduduk yang bergabung seperti kota-kota besar metropolitan dan metropuisi. Hanya beberapa orang yang bergabung di dalamnya, terutama mereka yang sudah sadar dan masih konsisten merawat nalar, ia harus jauh-jauh meninggalkan kampung halaman hanya untuk mendengarkan isi buku, pesan buku, dan kritik buku terutama yang ada hubungannya dengan sastra.
Jika dibandingkan dengan komunitas lain yang sudah puluhan tahun, bahkan lebih produktif dari pada simbol tanah kelahiran, Komunitas Sematta tidak ada apa-apanya, masih minim buku-buku bacaan, minim partisipan, minim panguripan, minim anggota, minim segala segmen yang ada selama ini.
Melihat kondisi tersebut Komunitas Sematta Sastra harus berkolaborasi dengan Buku Jenggala yang ada di Kapas, Bojonegoro. Buku Jenggala merupakan pelayanan jasa rental buku bacaan nomor 1 di Bojonegoro. Melayani peminjaman buku pilihan yang berkualitas sebagai ikhtiar memeratakan akses literatur bacaan untuk semua kalangan, dari usia dini, pemuda, remaja, menua dan lansia.
Seperti yang disampaikan oleh pemiliknya Muhammad baharudin ketika nongkrong di warung kopi sematta beberapa hari kemarin, Buku jenggala bukan komunitas maupun perpustakaan kecil yang menjamur di Bojonegoro yang sama sekali pun tidak berdampak baik bagi masyarakat.
Dengan ketekunan yang dimiliki Bahrudin ia memiliki Misi bahwa buku Jenggala beriktiar semaksimal mungkin untuk mengedarkan sekaligus melapak dari warung ke warung terkait bacaan kritis sebagai upaya mendorong kesadaran kritis secara kolektif terutama terhadap isu-isu sosial, politik, budaya, dan sastra.
Separuh bulan lamanya ia tempuh sendiri, tidak pernah ada kesepian selama hidup bersama buku-buku barunya. Kota-kota kecil telah ia jamah hanya untuk memberikan pengaruh positif bagi lingkungan.
Dengan demikian, kita bisa mengambil dan bertabayun terkait dengan gerakan kampanye literasi di Bojonegoro, memulai dari kelompok-kelompok kecil yang anti bendera, anti kasta, dan anti perahara amoral, apalagi uforia politik identitas sama sekali pun tidak mendidik.
Penulis Muhammad Andrea
Penyaji Kopi di Sematta Kopi, Perumahan Pandawa, Pacul, Bojonegoro