Di tengah sambatnya petani karena gabahnya menciut di hadapan keran impor, diam-diam Pemkab Bojonegoro bersama DPRD sahkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bojonegoro 2021-2041.
Tak layaknya sebuah peraturan undang-undang yang mestinya transparan dan menjamin partisipasi warganya. Entah kenapa Perda RTRW buru-buru diloloskan begitu saja pada sidang paripurna 19 Maret 2021 lalu. Hanya selang dua pekan sejak rekomendasi kementerian turun pada awal Maret.
Padahal secara regulasi masih ada waktu dua bulan. Meskipun sebenarnya dua bulan tak benar-benar cukup untuk membahas tuntas penataan kawasan Bojonegoro selama 20 tahun ke depan. Perlu pembahasan yang menyeluruh, lakukan riset, dan tentunya uji publik yang benar-benar melibatkan seluruh elemen masyarakat secara transparan.
Mungkinkah misi diam-diam ini akibat dari tekanan Pemerintah pusat dalam rangka mewujudkan kawasan Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan)? Sebagaimana tertuang pada Perpres No. 80 Tahun 2019 untuk mendorong koneksivitas dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional yang boleh jadi berimbas ke Bojonegoro.
Atau kah ada sekelompok orang berkepentingan di antara para penguasa lokal? Para pebisnis yang kebelet pipis, pengen segera bisnisnya jalan? Entahlah.
Yang jelas, narasi yang dibagun oleh Pemkab Bojonegoro dan para legislator sungguh sangat normatif, kawan. Katanya, RTRW yang baru ini dibuat karena ada perkembangan yang begitu pesat pada setiap sektor pembangunan. Juga karena menurunnya kualitas lingkungan hidup. Sehingga menyebabkan ketidakseimbangan struktur dan fungsional ruang wilayah sekaligus ketidakteraturan ruang wilayah. Seperti yang disampaikan Jubir Pansus Raperda RTRW Tahun 2021-2041, Didik Trisetyo Purnomo di website resmi Pemkab Bojonegoro.
Dengan kata lain, Perda RTRW sebelumnya yang disusun tahun 2011 lalu tidak akurat, serampangan, dan ceroboh. Baru 10 tahun sudah harus diganti. Jika kita kilas balik, 10 tahun lalu adalah era kepemimpinan Bupati lama selama 2 periode. Sekarang sudah berganti dengan arus politik yang sering berlawanan. Mungkinkah ini berbau politik? Kita tidak perlu berspekulasi.
Saya rasa, Perda RTRW ini sesegera mungkin diperbarui agar Bojonegoro bisa sinergi dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) andalan pemerintah demi memuluskan narasi besar pembanguan, Nabs.
Sampai sejauh ini draf Perda RTRW ini masih belum bisa diakses masyarakat secara umum. Seolah masih disimpan rapat-rapat bak dokumen rahasia. Padahal perubahan ini, saya haqqul yaqin, akan berdampak besar pada kehidupan warga Bojonegoro.
Kabarnya bakal banyak perubahan kawasan. Mulai dari kawasan kota, pertanian, industri, tambang migas, hingga kawasan wisata. Yang kesemuanya akan terkoneksi dengan PSN prioritas berupa jalan tol, Waduk Gongseng, Waduk Pejok, dan Bendungan Karangnongko.
Bagaimana coba ketika tiba-tiba sekelompok orang memborong tanah sana-sini setelah tahu raperda ini. Segelintir orang mulai mondar-mandir sana sini karena proyeknya akan segera jalan. Khususon tertuntuk mereka yang tahu terlebih dahulu. Para VIP yang selalu mendapat perlakuan istimewa. Bukan kami warga biasa, wong ngisoran.
Masterplan Pinarak Bojonegoro
Senada dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) rezim SBY, yang bersikeras ingin meningkatkan insfrastruktur sebanyak sembilan puluhan proyek strategis, demi meraih pertumbuhan dan meningkatkan daya saing di ranah global (Jamie S. Davidson, 2019).
Melanjutkan agenda neoliberal-nya, Orde Baru sejak dapat gelontoran dana melimpah dari Amerika Serikat, termasuk dalam mewujudkan proyek Jalan Tol Trans Jawa.
RTRW baru ini bisa dibilang masterplan lokal, yang sekiranya bisa menggaet investasi agar pinarak dan tumbuh kembang di wilayah Bojonegoro. Sebagaimana tema pembangunan kawasan prioritas Gerbang Kertosusila plus Bojonegoro-Tuban-Jombang, untuk mendorong industri dan jasa nasional.
Baca Juga:
- Mengenalkan Branding Pinarak Bojonegoro
- Bupati Bojonegoro Ajak Pegiat Digital Kembangkan Visi Smart City dan Pariwisata Lokal
Pertama jelas, membangun landasannya dulu berupa jalan tol untuk melancarkan sirkulasi kapital. Rencana jalan tol dari Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, hingga Manyar Gresik ini bisa menghubungkan jalur lintas selatan dan utara Jawa Timur, terutama dalam merajut kawasan-kawasan strategis.
Jalan lintas modern dengan akses terbatas dan berbayar ini bakal membelah lanskap pertanian dan perkampungan yang berada di atas palung Solo Valley, yang dulu pernah diproyeksikan Belanda untuk memecah aliran Bengawan Solo sebagai upaya pengendalian banjir dan kekeringan.
Balai Besar Bengawan Solo (BBWS) menyebut, sepanjang kanalnya melintasi 11 Kecamatan dari Margomulyo hingga Kecamatan Baureno sejauh 130 kilometer sampai ke Kali Lamong dengan lebar sekitar 70-150 meter, yang hari ini sudah berupa sawah, embung, dan perkampungan.
Kedua, membangun bendungan sebagai persediaan air. Bendung Gerak Karangnongko di Margomulyo sebentar lagi menyusul adanya Bendung Gerak Kalitidu.
Selain menyuplai irigasi pertanian, megaproyek yang mau menenggelamkan wilayah hampir 100 hektar di dua desa ini juga untuk kebutuhan industri yang rakus air, seperti tambang migas. Lalu adanya Bendungan Semantok di perbatasan Nganjuk, Bendungan Gongseng di Temayang, dan rencana membangun Waduk Pejok di Kepohbaru.
Perlu ditengarai ada kepentingan yang lebih besar di kawasan sekitarnya, dari sekedar mengairi lahan pertanian.
Karena erat kaitannya dengan penetapan kawasan tambang migas yang tersebar di 11 Kecamatan dalam RTRW baru, setelah beberapa tahun melalui kajian dan survei seismik oleh Pertamina beserta Kementerian ESDM.
Setelah mengeksploitasi area Blok Sukowati di Kapas, Blok Cepu di Gayam, tambang tradisional di Kedewan, lalu tahap eksplorasi gas Lapangan JTB di Ngasem dan Purwosari. Selanjutnya juga mengincar titik-titik migas baru di Kecamatan Kota, Dander, Trucuk, Kalitidu, Tambakrejo, dan Padangan. Seperti halnya rencana ekspansi PAD C Blok Sukowati di Lapangan Banjarsari Trucuk.
Ketiga, berkaitan juga dengan adanya kawasan industri. Di atas lahan seluas 2.872 hektar yang tersebar di 16 Kecamatan, tentu yang berdekatan dengan lintasan Jalan Tol untuk memudahkan sirkuit kapital.
Jelas saja memberi karpet merah kepada korporasi non migas, dengan dukungan jalan tol, persediaan air yang melimpah, pelebaran kota hingga Dander dan Kapas, dan apalagi di kawasan pinggiran bisa meminimalisir upah buruh.
Wong Ngisoran Tetap Jadi Tumbal Pembangunan
Negara yang terjerat hutang dalam jumlah besar oleh Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), tak akan mampu lagi mewujudkan pembangunan nasional secara otonom.
Karena harus menyesuaikan agenda globalisasi neoliberal untuk meningkatkan kebebasan dan mobilitas kapital (Henry Bernstein, 2019). Seperti halnya Indonesia dengan UU Cipta Kerja-nya, maka membolehkan impor beras di saat panen raya.
Lalu skema pembangunan dalam RTRW baru yang selingkuh kelindan dengan Proyek Strategis Nasional, bisa lebih parah lagi, bakal menghilangkan akses para petani atas ribuan hektar sawahnya yang akan disulap menjadi jalan tol, kawasan industri, dan tambang migas. Jika mayoritas petani rata-rata berlahan 0,25 hektar, maka setiap seribu hektar lahan yang dirampas akan melenyapkan 4.000 kaum tani (deagranisasi).
Meski kawasan pertanian berkelanjutan dalam RTRW diklaim seluas 85.000 hektar yang tersebar di seluruh kecamatan. Namun sulit kita bayangkan pabrik tumbuh menjamur menyelai-nyelai hamparan sawah, tanpa menyumbang polusi udara, tanah, dan air. Efek dominonya, akan banyak lahan yang terpaksa dijual karena kesuburannya menurun, di samping bencana banjir dan kekeringan yang kian tak terkendali oleh daya dukung lingkungan yang makin rusak.
Dan jangan bermimpi menjadi miliarder dadakan jika lahannya cuma sepetak-petak kecil. Yang pasti adalah, dalam sirkuit kapital akan merombak relasi produksi atas tanah, jadi ribuan petani tadi akan menjadi pasukan buruh industri atau terlempar sama sekali ke sektor informal. Cilakanya, UU Cipta Kerja akan mencetak kita jadi budak modern dengan jam kerja yang panjang, dan upah yang murah.
Maka sedari sekarang, kita kudu mulai curiga terhadap slogan pemerintah, macam Pinarak Bojonegoro. Bila yang dipinarakkan para investor, tapi menumbalkan nasib rakyat dan ruang hidupnya. Di mana alam dikuras, hutan jadi komoditas, hamparan sawah disulap jadi pabrik, dan masyarakatnya menjadi budak-budak di atas tanah moyangnya sendiri, miris, Nabs.