Hari sudah dini. Kurang lima belas menit, tepat pukul tiga pagi. Dengan kesialan lelaki yang kalah berjudi, aku berjalan gontai menyusuri jalanan di sepanjang Jalan Dr. Sutomo.
Kau tahu, aku baru saja menyelesaikan pembacaan buku What We Talk About When We Talk About Love karya Raymond Carver. Sebuah buku yang, dengan semena-mena, membikin aku kalah bertaruh.
Dia memintaku membaca buku What We Talk About When We Talk About Love. Setelah membaca, aku harus menulis resensi yang minimal kutulis sebanyak dua ribu kata. Dia memberiku tenggat waktu 3 hari untuk menyelesaikan itu semua.
Jika aku gagal melakukan pembacaan dan menulis resensi dalam waktu 3 hari, aku harus berani berjalan kaki melintasi jalanan paling sepi di kota, tepat saat dini hari — ketika Liga Champions menampakkan diri di televisi.
Tentu itu waktu yang berat bagiku. Terlebih jika aku sampai gagal melakukan pembacaan dan menulis resensi dengan jangka waktu 3 hari. Itu adalah perjudian paling bodoh yang pernah aku terima.
Tapi, gara-gara buku itu tak terlalu tebal —hanya 208 halaman — dan di judul buku itu ada kata love-nya, aku yakin hanya butuh waktu dua hari untuk menyelesaikan kisah cinta-cintaan seperti itu. Untuk selanjutnya, sehari lagi menulis resensi.
Namun aku salah. Perempuan itu sangat paham titik kelemahanku. Aku terlalu memandang remeh judul dan ukuran ketebalan buku. Dan akhirnya, seperti yang kuceritakan padamu, aku kalah taruhan dan harus menjalani hukuman berjalan kaki.
Bangsat! What We Talk About When We Talk About Love ternyata tak berkisah tentang cinta-cintaan seperti yang kukira sebelumnya. Ia berkisah tentang solilokui yang getir dan ah, aku tak ingin mengatakannya, indah.
Buku ini berkisah tentang para lelaki dan perempuan kesepian, juga sisi gelap cinta dan kebrengsekan hidup. Buku yang harusnya kuselesaikan dalam waktu dua atau tiga hari itu, justru kunikmati pelan-pelan hingga hampir lima hari.
Dan akibatnya, aku harus memenuhi janji untuk berjalan kaki melintasi Jalan Dr. Sutomo, jalan sepi yang memang aku pilih sendiri. Tepat saat dini hari. Aku yakin, dia sedang tertawa-tawa di rumahnya.
Kau pasti bertanya-tanya padaku, kenapa aku mau menjalani janji yang aneh itu. Meski, sebenarnya aku tahu — andai aku tak melakukan itu pun — dia tak bakalan tahu. Kau pasti bertanya demikian kan? Entah kenapa, aku hanya ingin melakukannya.
1, 2, 3, 4, luka. 1,2,3,4,5, dendam. 1,2,3,4,5,6, ragu. 1,2,3,4,5,6,7, maafkan!
Aku lelaki yang tak begitu percaya pada orang lain. Aku sangat tertutup dan jarang punya kawan dekat. Seingatku, aku hanya punya 3 orang teman dekat saja. 1 kawan SD, 1 kawan SMP dan 1 kawan SMA. Setidaknya, hanya 3 itu kawan yang pernah kuajak bercerita tentang makanan kesukaanku.
Sesaat sebelum lulus SMA, sebenarnya aku sempat membuka hati pada seorang gadis. Tapi sayang, hubungan kasih kami kandas karena dia harus ikut kedua orang tuanya pindah ke luar kota, karena alasan pekerjaan. Kau tahu, di saat yang sama, kedua orangtuaku bercerai.
Itu momen paling menyedihkan dalam hidupku. Dan barangkali, karena itu pula, aku menjadi lelaki pemurung yang tak mudah percaya pada orang lain. Aku sangat menikmati privasi dan ketertutupan. Sekaligus mulai membenci pertemanan dan pernikahan.
Pertemanan, hanya akan membawamu menjadi orang lain. Melalui sikap ramah dan pura-pura baik — lalu dibumbui rasa percaya— ia justru membuatmu menanggung banyak masalah yang kontra produktif.
Belajar dari perceraian kedua orangtuaku, aku sangat membenci rasa percaya. Rasa percaya hanya akan membuatmu terluka lalu menyimpan bara dendam. Aku tak ingin mendendam pada orang lain, sehingga aku tak butuh percaya pada orang lain.
Aku tak terlalu suka menatap mata orang lain. Terutama tatapan yang mendalam. Aku membenci tatapan mata karena dari sana, berbagai hal buruk bisa aku lihat. Aku seperti punya kecenderungan bisa membaca informasi buruk dari tatapan mata.
Itu alasan kenapa aku tak mau menatap mata orang lain berlama-lama. Bukan karena apa-apa, aku hanya berupaya menghindari mendapat informasi buruk dari tatapan mata. Betapa perceraian orangtua, membuatku menjadi pribadi ajaib yang membenci tatapan mata.
Bukan berarti aku tak punya teman. Di masa kuliah, aku punya banyak teman. Tapi, dalam hubungan pertemanan itu, aku tak pernah melibatkan emosi. Berteman ala kadarnya saja. Aku tak pernah kehilangan teman, karena aku sengaja tak pernah merasa memilikinya.
Aku tak peduli label introvert maupun ekstrovert, aku hanya tak mudah percaya pada orang lain, itu saja. Aku sangat menikmati kesendirian. Terlebih jika ada banyak buku di dekatku. Buku, bagiku seperti khamr. Ia melegakan, sekaligus sesaat membikin lupa banyak hal. Tak terkecuali kesedihan dan muramnya kehidupan.
Kesukaanku pada buku tak sebanding dengan terbatasnya uang yang aku miliki. Kondisi itu membuatku sering bermain di Perpusda. Aku bisa menghabiskan berjam-jam waktu hanya untuk duduk terpekur di depan buku.
Hampir dua hari sekali aku ke sana. Aku mengenal Perpusda seperti Francesco Totti mengenal AS Roma. Aku sangat akrab dengan suasana Perpusda yang ramai hingga suasana yang sepi. Bagaimana watak penjaganya pun, aku tahu.
Dari tempat itu pula, aku mengenal seorang perempuan pembaca buku yang lebih murung dariku. Tiap kali aku ke sana, bisa dipastikan, dia juga berada di sana. Perempuan berambut sebahu dengan kaca mata tebal itu, bahkan tak pernah berpindah posisi tempat duduk.
Kami berdua, lebih tepatnya aku dan perempuan itu, selalu menjadi penghuni terakhir di perpustakaan. Tak jarang penjaga perpus memperingatkan kami berdua bahwa jam buka perpustakaan sudah selesai. Anehnya, kami berdua tak pernah sekalipun saling berkomunikasi.
Aku lelaki pemurung yang pemalu. Sangat tidak mungkin mengajaknya berbicara terlebih dahulu. Dan dia, perempuan itu, jauh lebih pemurung dan pendiam daripada aku. Kondisi itu yang membikin kami tak pernah berbicara, meski di dalam perpustakaan hanya ada kami berdua. Dan meski hampir tiap dua hari sekali, kami bersua.
Kesunyian itu berakhir ketika suatu sore, dia menghampiriku dan bertanya, “Jika kau sudah selesai, apa aku boleh meminjamnya?” Katanya sambil menunjuk buku yang sedang aku pegang: Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, karya Puthut EA.
Sambil tersenyum, aku memberikan buku itu padanya, “Aku sudah menyelesaikannya. Kau boleh bawa.” Entah kenapa, jantungku tiba-tiba berdesir.
Sembari berterima kasih, perempuan berwajah murung itu duduk di depanku. Dan bercerita banyak tentang buku yang ingin dia baca. Dan bercerita banyak tentang buku-buku yang pernah dia baca. Dan ternyata dia tak semurung yang aku kira.
Di kunjungan berikutnya, kami sudah saling menyapa. Suatu hari, dia membawakan makanan untukku. Bukan. Lebih tepatnya, membawa makanan untuk dimakan sendiri. Tapi dia menawariku. Dan aku mau.
Di hari yang berbeda, setelah berkunjung dari Perpusda, aku memberanikan diri mengajaknya makan nasi goreng di Jalan Pemuda. Itu pertama kalinya aku merasakan rasa cemas karena takut ajakanku ditolak. Kau tahu, aku tak pernah merasakan kecemasan cemen seperti itu. Untung saja kecemasan itu tak terbukti.
Di Jalan Pemuda itulah, aku melihat matanya yang tak berkaca. Dia melepas kacamatanya sambil mengulum senyum kecil padaku. Kau tahu, itu pertama kalinya aku menatap mata orang lain dengan tanpa rasa cemas. Aku nyaman menatap matanya.
Dari perbincangan tentang buku-buku dan kegagalan-kegagalan masa lalu, kedekatan kami terbangun. Meski suka abai pada apapun, dia jauh lebih bijaksana dariku. Terutama dalam menyikapi kemuraman hidup.
Dia memang terlihat murung. Tapi di waktu yang sama, di belakang kacamatanya, aku sering melihat berkelebat-kelebat cahaya. Pernah tak sengaja, kami bertatap mata cukup lama. Aku ingat, 26 detik aku menatap matanya.
5 detik pertama, aku melihat luka. 6 detik berikutnya, aku melihat dendam. 7 detik selanjutnya, aku melihat ragu. Dan 8 detiknya lagi, aku melihat proses memaafkan masa lalu. 26 detik yang teramat panjang bagiku.
Dia lah perempuan yang memberiku buku What We Talk About When We Talk About Love. Sekaligus menantangku membaca dan meresensinya dalam waktu 5 hari. Jika gagal, aku rela berjalan dini hari melintasi jalanan paling sepi. Dan jika berhasil, dia akan memberikan 3 judul buku gratis padaku.
Barangkali, aku sengaja mengalah. Agar dalam hidupku yang sombong ini, aku pernah mengalahkan diriku sendiri. Aku sangat ingin dikalahkan. Aku rindu menjadi lelaki penurut.
Dia tak hanya mampu mengalahkanku dalam urusan baca-baca buku. Dia, bahkan mampu merusak dan merekonstruksi kembali pemahamanku tentang hubungan sosial. Tentang pertemanan. Tentang masa depan. Dan, tentu saja, tentang pernikahan.