I want you mostly in the morning/ when my soul is weak/ from dreaming
Di atas adalah potongan dari lirik lagu yang ditulis oleh Natalie Laura Mering, atau penyanyi yang lebih dikenal dengan nama panggung Weyes Blood. Musik dengan nuansa era 70-an itu berhasil menghipnotis saya selama berbulan-bulan untuk terus mendengarkannya; setiap pagi sebelum berangkat kerja, saat bekerja, di perjalanan pulang, dan malam ketika hendak tidur.
Lagu-lagu Mering menemani telinga saya berdamai dengan segala sampah di kepala. Selain Lana Del Rey, Weyes Blood secara khusus mewakili kesedihan-kesedihan yang saya kira hampir dialami oleh semua manusia.
Mering, seperti yang selalu dilakukan, menyanyi dengan tanpa beban seperti halnya Lana. Ia seolah tak memberikan effort berarti untuk setiap suara yang keluar dari bibirnya.
Namun luar biasanya, nada, lirik, dan ekspresinya memunculkan kesedihan yang dalam, yang membekas pada pendengaran saya.
Seven Words, salah satu yang belakangan saya dengarkan, dibuka dengan dua orang duyung yang duduk di atas karang, menikmati ombak, sekelebat pandangan kala berenang di lautan, dan kemudian Mering beranjak dari sofa tempatnya duduk, dengan mimik muka sedih, dengan langkah gontai tanpa semangat ia menuju tempat seorang laki-laki sedang tidur.
“These seven words, i say to you. One by one, i love you, and you have to know…”
Adegan di atas mungkin tampak biasa, tapi saya melihatnya seperti menuliskan surat yang tak pernah sanggup untuk dikirimkan. Seperti pula kata yang dibiarkan tak terucap, tak diketahui, dan tak pula dimengerti.
Kesedihan yang sama seperti ketika saya membaca puisi Sapardi “Aku Ingin”, atau barangkali lebih dalam, saya tidak bisa menentukan. Bedanya, jika Aku Ingin berisikan dengan kepasrahan, Seven Words berisikan penyesalan tak berarti atas runtuhnya hubungan, dan hilangnya cinta.
If I could change
How I’m insane
If I could learn to leave
My troubles behind
It’s starting to hurt
And I know you’ve moved on
Telling everyone
How I’ve done you so wrong
Part of falling.”My words that made you bleed
Now I face tomorrow
Now I face tomorrow
Saya tidak tahu bagaimana saya bisa menyampaikan kepada kalian tentang kesedihan yang ada di lagu ini, atau membahasakan secara tepat agar rasa itu sampai.
Kesedihan yang tidak hanya diwakili setiap adegan dalam scene video clip, tapi juga mimik wajah Mering di atas panggung kala membawakannya. Musiknya sendiri adalah kesedihan yang luar biasa bagi saya.
Pada bagian lirik yang saya kutip untuk membuka artikel ini, saya tertegun cukup lama. Diam sekian detik, lalu merenungi maksud dari lirik itu.
“I want you mostly in the morning, when my soul is weak from dreaming.”
Ini kedua kali di hari yang sama saya menuliskan soal mimpi. Apa barangkali mimpi adalah perwujudan sebenarnya dari apa yang lama bersemayam di alam bawah sadar kita?
Yang di dalam lagu ini memporak-porandakan kenangan dan membawanya kembali pada penyesalan yang dalam. Sebuah ratapan.
Dan pada pagi ketika kita terlahir kembali, saat tubuh kita menjadi sangat lemah seperti bayi yang baru saja lahir ke bumi, kita membutuhkan hal-hal yang bisa menguatkan kaki kita memijaki tanah. Sesuatu yang menjadi harapan, tujuan, atau semangat kita untuk melanjutkan hidup di hari yang sama.
I want you mostly in the morning…When my soul is weak from dreaming…
When the dust has cleared
And you forget that I’m here
Hangin’ on
I’ve been hangin’
Sampai di sini, kita semua diberitahu olehnya bahwa patah hati adalah proses tak terelakkan. Ini pernah dikatakan pula oleh teman saya ketika kami membicarakan perihal ketakutan-ketakutan kami untuk kembali jatuh cinta.
“Deep down, we know that broken heart is inescapable part of falling.”
Menggantungkan diri pada eksistensi manusia lain, dan menjadikannya sebagai orang yang kita inginkan untuk membuka hari ketika jiwa kita begitu lemahnya. Saya kerap bertanya-tanya, apakah setiap orang yang jatuh cinta tahu akan momen jatuh yang harus di hadapinya kemudian?
Bahwa cinta tidak hanya terdiri dari kebahagian, tapi juga kesedihan yang dalam, yang barangkali mematahkan tulang-tulang kita saja tidak cukup, tapi juga membawa kita pada hari-hari yang kelam.
Penyesalan yang gelap, seperti yang disampaikan Mering dalam lagunya. Kecuali jika kalian se-masokis Bukowski di dalam puisinya, “Love breaks my bones and i laugh.”
Memiliki pengetahuan akan momen jatuh, tapi rela menjalaninya dengan tersenyum. Atau barangkali memang sebagian besar dari kita adalah masokis, menikmati rasa sakit dengan demikian gilanya.