Semangat menuntut ilmu bisa dipantik dari kesadaran diri bahwa kebodohan adalah giat imperialisme berbahaya bagi manusia yang malas belajar.
Sebuah kebanggaan bagi saya atas partisipasi dan konsistesi sahabat-sahabati peseta Ngaos Jurnalistik bisa menyempatkan waktunya mengikuti Ngaos Jurnalistik pertemuan kedua.
Memang setiap manusia memiliki aktivitas yang tak bisa ditinggal atau menjadi prioritas, tapi manusia juga punya kekuatan untuk bertahan atau pergi meninggalkan. Ingat! dalam hal apapun.
Wahyu Rizkiawan, pemantik diskusi pelatihan nulis esai tersebut, juga mengatakan hal sama. Menurut Mas Rizky, teman-teman yang masih konsisten mengikuti belajar menulis di pertemuan kedua adalah pilihan dan sangat istimewa.
Tentu saja, ini pelajaran penting bahwa hidup tak sekadar belajar tentang bagaimana meninggalkan, tapi bagaimana merawat semangat tetap terjaga hingga puncak kebahagiaan. Semacam kesetiaan pada sesuatu yang diinginkan.
Merawat semangat, bagi saya, butuh dipantik. Dan semangat menuntut ilmu, bisa dipantik dari kesadaran diri bahwa kebodohan adalah giat imperialisme berbahaya bagi manusia yang malas belajar. Karena mencari ilmu hukumnya Fardhu Ain bagi setiap manusia.
Mencari ilmu di setiap tempat, menggali potensi diri sendiri dan mengamalkan setiap kehidupan di dunia, pada intinya sekadar kesadaran diri bahwa kebodohan adalah penjajahan terakhir bagi manusia yang malas belajar.
Mencari Ilmu memang tak semudah menggali gorong-gorong di tiap sudut kota. Sehingga merusak pohon-pohon yang berada di sekitarnya. Sehingga memperindah kecantikan kota tak seharusnya mengorbankan runtuhnya akar dan daun-daun yang masih mampu bertahan hidup.
Maka dari itu, saya memilih belajar menulis. Dengan menulis, saya akan mengetahui seberapa paham ilmu yang didapat, seberapa luas wawasan selama puluhan tahun duduk sambil belajar.
Kalau tak menulis pengamatan yang ada di sekitar, maka hidup tak akan berarti, bahwa manusia adalah makhluk pelupa, teringat kata Pramoedya Ananta Toer: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis, kata Pram, adalah bekerja untuk keabadian.
Dipertemuan kedua kali ini, Mas Rizky memberi materi terkait gaya menulis esai santai berbasis rasa gemes. Misalnya, kata dia, ada dua: niat dan keberanian. Sebab apapun bentuk dan sebuah tulisan, akan selalu ada maknanya.
Maka kita harus berani menulis dulu. Jangan takut salah menelurkan dan menguarakan sebuah ide-gagasan, bagaimana pun jadinya, itu harus diapresiasi dan pasti akan menemukan pembacanya, setidaknya dirinya sendiri.