Ada rasa entah apa yang tiba-tiba menyeruak ketika mendengar sastra Inggris. Di jurusan itu, setidaknya, saya mendapatkan pelajaran berharga dan berkesempatan memahami arti hidup yang lebih luas.
Saya akan selalu berterima kasih kepada salah seorang guru di SMA. Sebab, jika bukan karena usahanya memilihkan jurusan itu, bisa jadi saya tak bisa mengenal Shakespeare, Robert Frost, dan mungkin saat ini saya telah menikah dan memiliki seorang anak.
Di kampung saya, orang-orang yang tidak berkuliah kebanyakan melanjutkan tangga hidup ke dunia kerja. Dan beberapa tahun setelah menapaki karir itu, biasanya mereka akan menikah dan tak lama setelahnya akan memiliki anak.
Salah seorang teman saya sekarang memiliki anak usia balita. Dia dulu tidak melanjutkan kuliah dan memilih bekerja. Dia adalah orang yang baik yang sering membelikan saya jajan ketika bel istirahat sekolah berbunyi.
Dan sampai saat ini saya masih sulit percaya bahwa lelaki tambun yang dulu kerap berposisi kiper saat kami bermain bola itu telah memiliki panggilan baru sebagai seorang bapak.
Jasa ibu juga tak mungkin saya lewatkan. Jika bukan karena prinsip kerasnya yang mendorong saya kuliah, mungkin saja saya telah tergiur ajakan paman untuk bekerja di salah satu bank sebagai tukang tagih. Di sana barangkali saya akan mendapatkan gaji, tambahan bonus jika sesuai target, dan tentu saja asing terhadap nama-nama penyair tadi.
Kehidupan di kampus telah membentuk saya yang sekarang; sesuatu yang begitu saya syukuri sepanjang masa. Kendati, dalam taraf tertentu sering membuat kepala saya terasa berat untuk berpikir: apa gunanya jurusan sastra Inggris dalam belantika kehidupan?
Alih-alih mendapatkan jawaban yang memuaskan, setiap kali saya mengetikkan “prospek jurusan sastra Inggris” di google, yang muncul pada deretan pertama adalah 20 daftar pekerjaan “yang menjanjikan”.
Saya sengaja menulisnya dengan dua tanda petik, karena menyadari deretan pekerjaan tersebut sebenarnya bisa juga diperoleh lewat jurusan lain. Alias, memakai nama jurusan sastra Inggris sejatinya tidak memiliki keistimewaan yang berarti.
Saya misalkan prospek pekerjaan sebagai pengajar. Karir itu sebenarnya malah lebih mudah dicapai para lulusan sarjana pendidikan, ketimbang sastra Inggris.
Mengingat, dalam metode perkuliahannya, para mahasiswa pendidikan memiliki akses yang lebih luas tentang tatacara mendidik yang baik, mengatur suasana kelas, hingga menyiapkan materi yang sesuai porsi.
Lalu pekerjaan seperti apa yang idealnya bisa dicapai lulusan sastra Inggris? Entahlah, yang jelas beberapa teman dekat saya mengungkapkan di karir mereka saat ini rerata dicapai berdasakan passion dan softskill. Meski tak sedikit juga karena adanya faktor koneksi dan rekomendasi yang mereka miliki.
***
Saya tertegun ketika membaca sebuah artikel di Tirto.id kemarin. Jack Ma, chairman of Alibaba—sebuah ecommerce populer di Cina—menyatakan pensiun dari posisinya itu dan memilih mewakafkan dirinya di dunia filantropis. Dia mengikuti jejak pendahulunya di Microsoft, Bill Gates yang lebih dulu menaungi yayasan sosial bersama istrinya.
Jack Ma tak segan menularkan ilmunya kepada orang lain. Koleganya di Alibaba bilang, Ma sungguh-sungguh ingin memberdayakan orang-orang kecil, perusahaan kecil, dan UKM.
Tentu saja itu adalah langkah visioner dan menggembirakan. Paling tidak, dari prosentase banyaknya manusia dan “mampu” di dunia ini, berapa yang memiliki niat mulia seperti itu?
Tetapi, terus terang yang membuat saya tertegun bukan itu. Ini adalah urusan yang terdengar populis, norak, dan mungkin patut ditertawakan: ya, saya fokus pada keterangan bahwa Jack Ma adalah lulusan sastra Inggris di Hangzhou Teacher Collage.
Jurusan yang sama, dan membuat saya tersenyum karena ternyata lulusan sastra Inggris bisa sehebat itu. Hanya, di artikel Tirto itu juga disebutkan bahwa Ma sempat ditolak untuk bekerja di KFC.
Dia justru menjadi satu-satunya orang yang ditolak, dari sebanyak 24 orang yang mendaftar. Yang membedakan, Ma tetap tekun dan yakin dalam mewujudkan impiannya.
Ini yang barangkali membedakan Ma dengan saya dan beberapa teman lainnya. Di era serba tidak pasti ini, saya terlalu fokus pada impian ideal dan justru melupakan bahwa titik pentingnya adalah yakin dan konsisten terhadap usaha saat ini.
Dengan langkah sekarang, setidaknya semesta bisa lebih mudah menentukan apa yang tepat bagi saya di masa depan. Sedangkan jika titik fokus itu hanya mengacu ke hal tersebut, energi saya akan habis percuma dan di masa tua mungkin saya akan menyesal.
Tetapi, berita baiknya: setidaknya saat ini saya telah mendapatkan figur yang bisa menjadi acuan dari persamaan sederhana sebagai seorang lulusan sastra Inggris.
Saya akan segera menerapkan ilmu itu dalam kehidupan saya, karena tentu saja saya tak mau di masa depan jadi amburadul. Dan semoga, saat ini dalam kondisi yang tengah terjadi, Anda juga sependapat dengan yang saya lakukan. *