Kepada
Yang Terhormat
Wahai Bapak Presiden, Mas Menteri, Bapak Gubernur, Bapak/Ibu Kepala Dinas Pendidikan, Bapak/Ibu Pengawas, Bapak/Ibu Pejabat, dan Bapak/Ibu Guru serta Orang Tua di seluruh Indonesia.
Salam Satu Frekuensi
Pertama
Kelas adalah Indonesia kecil. Di sana, gambaran masa depan sebuah generasi dapat tertakar. Anak-anak dapat mengalami perundungan, pertengkaran, bahkan tidak langka bahwa darah menetes ke lantai.
Paling berbahaya ketika mereka memiliki ruang rahasia yang tak dapat diakses oleh wali asuhnya. Maka, hentikan pertengkaran, dendam, dan kubu-kubuan sejak hulu!
Pernahkah melihat seorang anak putus sekolah memberi pencerahan tentang perkalian yang justru membantu dan memudahkan kemampuan berhitung anak-anak kelas IV? Risman, seorang anak putus sekolah, saya beri kesempatan untuk mengajar di kelas IV pada tahun 2012.
Dia kerap mengikuti kegiatan saya sejak usianya 13 tahun. Sebenarnya, ia anak asuh Panji Jarmiko yang mendirikan Saung Langit. Sehubungan ia berminat untuk berada di atmosfer kehidupan saya, maka saya dengan Panji berbagi peran.
Semenjak mengikuti keseharian saya, ia kerap berada di lingkungan sekolah, tempat saya mengajar. Biasanya, ia mendatangi saya setelah selesai mengamen.
Kedatangannya kerap mengejutkan saya, terkadang memanggil dari luar pintu kelas yang terbuka. Pada hari lain, ia tengah khusyuk membaca buku di perpustakaan sekolah. Jika buku itu belum selesai dibaca, ia melipat kecil bagian ujung kertas pada halaman tertentu.
Adakah sebuah situasi di mana anak-anak sekolah menyaksikan perubuhan sebuah saung belajar anak-anak putus sekolah (pemulung dan pengamen) yang dindingnya terbuat dari bambu (bilik)? Peristiwa tersebut akan membentuk perspektif anak-anak. Mereka bukan sekadar empati, melainkan tumbuh juga simpati. Selain itu, spirit kemanusiaan semakin kuat.
Pada kasus lainnya, seorang anak SD kelas IV yang disleksia kemudian diajak bergabung untuk membaca ragam tumbuhan dan pepohonan, mendengar seruling angin dan gemercik air di tengah hutan, merasa beku, menemukan diri yang lebih berarti di tengah sepi.
Anak SD tersebut mengikuti kemping bersama anak-anak yatim piatu sebuah yayasan. Saya bekerja sama dengan Edi Martoyo, yang dipercaya sebagai pengasuh anak-anak Rumah Yatim Indonesia saat itu.
Pertanyaan lainnya, yaitu bagaimana kemudian saya bersepakat dengan Kang Duddy RS (jurnalis dan pegiat literasi digital) dalam memberi ruang kepada anak-anak sekolah dasar untuk berkarya tulis di surat kabar lokal? AD Rusmianto kemudian membantu proses awal dalam pendirian Pers Cilik Cisalak, 12 Juni 2010.
Keempat ilustrasi tersebut telah tercerita-gambarkan dalam documentary graphic Saung Langit (Shelter of the Sky) Slowork Publishing Taiwan, 2016. Saya bersama Syswandi dan Leo Ruslan Aryandinata menggarapnya selama 2 tahun (2014 – 2016) yang dieditori ketat oleh Peishan-Huang dan Olivier Schneider.
Semua peristiwa itu merupakan serpihan dalam membangun atmosfer pendidikan gotong royong. Kang Duddy RS kerap membunyikan Ramatloka sebagai peta jejaring gerakan komunitas saat itu.
Saya kira, justru apa yang telah dipraktikkan selama 2010 – sekarang, merupakan sebuah konsep Pendidikan Ramatloka. Peran orang dewasa yang memahami psike dan kultur lingkungan sekitar anak-anak asuh, kemudian membantu untuk menjejaringkan mereka dengan anak-anak lainnya.
Hal tersebut merupakan sebuah upaya dalam menghubungkan anak-anak pada realitas sosial. Jika Dr. Maria Montessori memiliki istilah Rumah Anak-anak, Rabindrath Tagore dengan Shantiniketan, dan Ki Hajar Dewantara memunyai konsep Taman Siswa, maka, bolehlah kami menyebut istilah ini dengan Pola Pendidikan Ramatloka.
Bagi kami, semua tempat adalah ruang. Adapun Komunitas Pers Cilik Cisalak, Saung Langit, dan Mata Rumpaka, adalah bagian kecil Laboratorium Kreativitas yang telah berdiri.
Saya diburu waktu untuk menjawab pertanyaan tentang konsep pembelajaran dengan pendekatan kreativitas sejak 2010. Berdasar keyakinan, saya perlu lima tahun (sebagai siklus pertama) dalam memprosesi konsep Pola Pendidikan Ramatloka yang dimaksud.
Bagaimana menerangkan ini kepada kepala sekolah, rekan sejawat, pengawas, dan lainnya? Saya hanya terus berusaha menyambungkan benang proses pembelajaran dengan kreativitas sesuai potensi yang terbaca dari setiap angkatan.
Saya menyerap tenaga semesta sebagai kekuatan. Selain itu, saya harus berani menerima risiko karena kerap terbentur urusan administratif. Hingga detik ini, perlu 10 tahun (lima tahun kedua, siklus kedua) untuk mengampanyekan Pola Pendidikan Ramatloka, yang saya yakini akan menumbuhkan generasi emas Indonesia yang manusiawi, tidak kastais, dan bernas.
Kedua
Tolong jangan takut-takuti para guru se-Indonesia dengan segala macam tekanan yang membuatnya tidak tenang berhadapan dengan anak-anak. Mereka perlu ruang seluas-luasnya melahirkan gagasan yang brilian dan canggih. Buatlah konsep yang tidak membatasi kreativitas para guru yang telah dibekali potensi atas pemberian langsung dari Tuhan sejak lahir.
Jika para guru se-Indonesia merasa terhuyung dengan kurikulum, bukan mata mereka yang rabun. Barangkali, pemahaman pendidikan antara pemangku kebijakan dengan pelaksana masih tertutup kabut tebal.
Sehingga, kurikulum yang kerap berubah-ubah, tidak pernah selesai terpahami. Jika kreativitas guru tak memiliki ruang, bagaimana mungkin mereka dapat membangun ruang kreatif untuk anak-anak? Hukum cermin berlaku di sini.
Jangan membuat guru-guru cemas menuju kelas dengan setumpuk tugas! Buatlah mereka bahagia agar anak-anak tidak pias! Apakah yakin guru (SDM) kita sedemikian rendah? Banyak dari mereka yang mengajar puluhan tahun. Mereka lebih paham ragam medan dan psike pendidikan.
Sepertinya, Mas Menteri perlu mengajak bicara tentang temuan-temuan mereka yang langka terpublikasikan. Tak perlu dibingungkan dengan sistematika dahulu. Biarkan mereka bersuara, dengarkanlah!
Ketiga
Saya membayangkan Mas Menteri, misalnya, mengajak diskusi para guru di sawah, warung, atau tempat-tempat tidak kaku. Butuh suasana tenang untuk mendengarkan suara batin para guru.
Sesekali barangkali bisa dilakukan jika berkunjung ke daerah-daerah. Andaikan bersedia ke Tasikmalaya atau Garut, saya akan mengajak ke tempat rahasia di mana anak-anak muda penggagas, berproses kreatif dengan bahagia.
Sekolah hari ini, butuh mereka dalam pengembangan kreativitas, agar para guru terbantu demi anak-anak terhubung dengan realitas.
Anak-anak muda adalah para konten kreator, sedang para guru sebagai monitor. Jika konsep pendidikan tidak beradaptasi, maka akan berjalan seperti siput. Sebuah era telah melompat jauh, sedang kita masih lambat menciptakan gagasan-gagasan baru.
Sekali lagi, ini semacam suara batin yang selama ini bersembunyi di balik gua kegelisahan selama satu dasawarsa. Mohon maaf jika kurang berkenan. Semoga kita semua dapat menyumbangkan generasi emas untuk Indonesia agar menjadi juara dunia akhirat. Amin.
Vudu Abdul Rahman, guru kreatif dan wali asuh Matarumpaka