Ulang tahun ke-73 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mahasiswa dan mantan mahasiswa masih yakin usaha sampai? Yakusa!
Kukira, 7 tahun lalu seorang teman mengajakku untuk mengikuti sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek). Salah satu ormek terbesar di Indonesia. Syarat menjadi anggotanya adalah mengikuti Latihan Kader. Ha?
Dilatih gimana tuh? Saya sudah berprasangka buruk duluan. Pasalnya, sebagai mahasiswa yang tergolong masih baru, saya masih punya rekaman berupa kenangan buruk tentang ospek jurusan. Apakah kami akan dibentak-bentak lagi?
Disuruh melakukan hal-hal tidak masuk akal? Dimaki-maki dengan segala kebun binatang dan apa yang diharapkan dari mahasiswa baru dengan memperlakukannya demikian? Perlawanan? Itu konyol.
Baca juga: Mahasiswa dan Konsep Pendidikan yang Memerdekakan
Lukman, teman saya yang lebih dulu berproses di HMI, kala itu meyakinkanku dan teman-temanku bahwa Latihan Kader (LK) akan jauh berbeda dengan ospek jurusan.
Dia meyakinkan kami betul-betul bahwa sebagai mahasiswa sosial, kurang afdol rasanya jika tidak bergabung dengan ormek. Di saat yang bersamaan, teman saya dari ormek lain juga menawari kami untuk bergabung dengan GMNI.
Mengetahui hal itu, Lukman, teman saya, memberi saya kebebasan memilih. Dia berbicara sebagai Lukman, sebagai teman saya, dan bukan sebagai kader HMI. Saya ingat betul kalimatnya, “anak politik kalau kamu nggak ikut ormek, pengetahuanmu hanya akan sebatas pengetahuan yang kamu peroleh di kelas,” katanya.
“Ormek itu tempat aktualisasi ilmu yang kamu dapat di kelas, Chus. Mau itu HMI, mau itu GMNI, mau itu KAMMI, semua baik, tergantung kamu, tapi eman kalau kamu Cuma kuliah-pulang-kuliah-pulang,” ucap dia melanjutkan.
Saya ingat betul ketika saya membantah apa yang dikatakan Lukman, bahwa ormek hanya membikin perpecahan. Ormek yang memecah FISIP, fakultas kami, menjadi dua kubu. Kubu hijau dan kubu merah, dan itu melelahkan.
Tapi berkali-kali Lukman memberikan pandangan bahwa itulah proses, bahwa di dalam politik pun kami mengenal pendekatan konflik yang memandang perbedaan sebagai hal yang lumrah.
Bahwa di dalam perbedaan itu, nilai-nilai, ide, gagasan diperdebatkan, dipertarungkan, dan itu adalah hal yang sangat lumrah untuk memperoleh gagasan baru atau mempertahankannya. Demikian yang terjadi di FISIP.
“Kamu berpandangan seperti ini karena kamu masih menerka-nerka. Ibarat masih ada di luar rumah, cuma bisa membayangkan apa yang ada di dalam rumah itu. Kubilang, terjunlah, Chus. Eman kalau kuliahmu dihabiskan dengan haha-hihi dan ngerjakan tugas saja. Terserah, kamu ikut ormek mana.”
Kali itu saya tertarik untuk ikut. Lukman, teman saya sejak awal. Kami sama-sama mahasiswa baru yang vokal di kelas kala itu. Dia yang membara di awal, saya lihat lebih tenang.
Saya putuskan sore itu untuk bergabung dengan HMI, dan benar saja. LK sangat amat jauh dengan ospek yang kami hadapi. LK dipenuhi dengan diskusi, bedah pemikiran hingga larut malam.
Otak kami diperas untuk memperdebatkan apa-apa yang telah kami yakini. Kami diajak berfilsafat, skeptis dengan kebenaran yang telah ada, meragukan segala hal untuk menemukan yang benar-benar kami yakini.
Tentu saja kami dibekali semangat “Yakin Usaha Sampai”. Yakusa. Slogan yang mendadar daging. Bukan lagi dadar telur. Juga Yakin Kuasa Alloh. Hemm~
Setelahnya, saya bertemu Fahri yang dengannya dan teman-teman lain membangun Pers Kampus. Saya bertemu Genut, yang dengannya saya diajari menyusun bagaimana kaderisasi yang baik, yang bisa memunculkan potensi-potensi dan menyediakan ruang aktualisasi.
Baca juga: Gerakan Mahasiswa dan Kekuatan Nyata Media Sosial
Saya bertemu Tirta, yang dengannya saya diajari menjadi Sekretaris, satu bidang yang tak saya ketahui sebelumnya.
Di HMI, saya bertemu banyak kawan-kawan hebat. Kawan-kawan yang tulus berproses merawat organisasi. Kawan-kawan yang terus Yakin Usaha Sampai.
Terlepas dari apa yang terjadi di Pengurus Besar HMI (PB HMI), mereka yang paling tulus merawat adalah mereka yang ada di komisariat.
Yang siang malam menyediakan waktu buat adik-adik untuk bertanya, melayani hasrat diskusi.
Di usia ke 73 ini, usia yang hanya terpaut 2 tahun dari usia NKRI, HMI bukan lagi terdiri dari anak-anak kemarin sore. Usianya kian matang dan melahirkan banyak akademisi, politisi, negarawan, dan banyak lainnya.
Apapun yang sedang terjadi di PB adalah bagian dari aktualisasi. Dan karena setiap kader adalah insan akademis, insan cita, semoga dapat mengambil sikap bijaksana. Yakusa!
Senior saya pernah berkata bahwa organisasi kami adalah organisasi besar, maka setiap hal yang terjadi di dalamnya adalah isu seksi yang akan dibahas dan disorot, untuk itu kami diwanti-wanti agar menjaga laku kami tetap tegak dan lurus.
Saya menjanjikan HMI sebuah rumah baca di mana anak-anak bebas mengakses buku dan merajut mimpi-mimpinya. Kawan saya Genut menjanjikan hal lain. Lukman menjajikan hal yang lain pula.
Kami semua membawa janji ketika masuk menjadi kader, dan semoga, semua janji-janji itu dapat terpenuhi. Setidaknya, langkah kami punya arah. Ketika mulai goyah, masing-masing kami saling mengingatkan. Yakusa!
Sampai detik ketika kami tidak lagi menjadi kader, masing-masing kami masih memegang janji dan membawa nama besar organisasi.
Selamat ulang tahun ke-73, HMI! Selamat beraktualisasi kader-kader organisasi! Yakin Usaha Sampai.