Berjualan pentol memang seperti PDKT sama si dia. Butuh keberanian dan seni komunikasi, serta beradaptasi di setiap kondisi dan situasi secara nyata, sadar, dan hakiki.
Saya tak perlu diliput koran atau televisi untuk berani hidup sebagai pemuda penjual pentol yang berkeliling dari desa ke-desa demi sesuap nasi, secangkir kopi untuk menikmati senja sambil mentertawakan pahitnya dunia.
Puluhan bulan lamanya, saya habiskan waktu untuk berjualan pentol. Dari tumbuhnya matahari di seberang timur, hingga tenggelam di seberang barat demi mengumpulkan cerita-cerita baru dalam hidup.
Sesungguhnya, berjualan pentol bukan pengalaman baru. Sebab dulu pernah berjualan ketika masih mondok di Pesantren Darussalam Banyuwangi, Jawa Timur. Di situlah mulai tertanam karakter berani dari hasil ngabdi Kiai.
Kala itu, saya berprinsip, cukup bekerja dengan cara sendiri, paling penting halal dan hasilnya sangat memuaskan, atau setidaknya cukup dipakai memenuhi kebutuhan setiap hari.
Berjualan pentol memang seperti PDKT sama si dia. Butuh keberanian dan seni komunikasi, serta beradaptasi di setiap kondisi dan situasi secara nyata, sadar, dan hakiki.
Berjualan pentol, tak saya niati sebagai proses memenuhi kebutuhan hidup saja. Tapi saya niati untuk mengejar masa depan, cinta dan cita-cita.
Keberanian Berjualan Pentol
Meski berjualan pentol adalah fase yang saya lalui jauh sebelum menjadi aktivis progresif, militan dan kesepian seperti saat ini, setidaknya banyak hal yang bisa saya ingat.
Tentu soal keberanian. Keberanian adalah sifat gagah berani, tidak pernah takut dan gentar menghadapi tantangan. Dalam perspektif positif, keberanian ditujukan untuk menyatakan cinta membela kebenaran.
Keberanian adalah kualitas jiwa yang tidak mengenal rasa takut pada kritik, tetapi justru mampu membuat kita melanjutkannya dengan ketenangan dan ketabahan dalam menghadapi kritik dan pandangan sebelah mata itu.
Pengalaman saya sebagai penjual pentol, suatu keberanian yang terlatih dalam diri untuk tidak menggantungkan hidup pada orang lain, atau demi agar tak bekerja di pabrik milik orang lain.
Saya merasa, berjualan pentol di usia muda mampu mengaktualisasikan ide dan lebih mendominasi struktur perkembangan diri dan tidak terikat sistem, meski kerap bingung saat tanggal muda.
Tentu dengan pernah berjualan pentol, saya mampu menangkap problematika modern soal bagaimana pasar-pasar modern diciptakan di desa-desa sebagai upaya kaum kapilitalis mengendalikan harga pasar yang tak sesuai kemampuan konsumen.
Tentang bagaimana masyarakat kecil digiring menjadi konsumen tetap, dan sangat melemahkan kontribusi pasar tradisional, apalagi industri-industri kecil yang sulit menjadi besar.
Saya merasa, berjualan pentol adalah respon atas kegelisahan yang saya rasakan selama ini, bahwa bekerja sendiri lebih baik daripada membudak pada orang lain. Sebab banyak sistem dan peraturan menindas.
Meski tentu saja, sesungguhnya hidup tak semudah tulisan esai yang busa kita arahkan sesuai kehendak. Mau kerja indie sebagai penjual pentol ataupun budak korporasi, pada akhirnya rasanya sama. Sama-sama harus berupaya.
Muhammad Andrea adalah pengelola air mata dan aktivis yang tidak suka menangis.