Diterjemahkan dari cerpen karya Naguib Mahfouz berjudul Ar Rojul Al Wahid atau The Only Man.
IZINKAN kuperkenalkan diriku. Namaku Iblis. Cukup begitu saja. Kalian sudah tahu kisahku dari zaman dulu. Sungguh, nyala api misiku menjela-jela sama cemerlangnya dengan mentari yang pasti akan menghanguskanku di Hari Pembalasan.
Tetapi aku linglung dan bingung karena kusadari, terlepas dari semua klaim sebaliknya, ada seorang manusia terhormat tinggal di negerimu.
Supaya tak ada kesalahpahaman apapun, izinkan kukatakan terus terang bahwa aku tak bisa bertanggung jawab apapun atas banjir kejahatan yang kini menelan bumi.
Walau begitu, dengan girang kusambut gagasan-gagasan baru dan menyimpang yang tak pernah terpikirkan olehku bahkan sejak zaman kuna itu.
Aku selalu menerima takdirku, takdir untuk berupaya keras membuat manusia tersandung, kemudian menunggu dengan tenang untuk melihat hasilnya.
Tetapi inovasi-inovasi generasi ini jauh melampaui inovasi semua generasi sebelumnya. Sejak zaman dahulu, seni menggoda seorang pria ataupun wanita akan sepenuhnya menyita perhatianku saat kupertimbangkan repertoir muslihat-muslihat dan sulapku yang sangat banyak dalam upaya menjerat mereka.
Tetapi kini aku menonton belaka saat seluruh kemanusiaan melemparkan dirinya sendiri dengan gila ke dalam jurang. Seluruh kelompok dan orang-orang jatuh ke dalam lubang tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku, tanpa aku bergerak sama sekali.
Mereka semua tenggelam berjamaah ke dalam lumpur, saat aku mundur dan menunggu, tak habis pikir dan bingung, menepuk-nepukkan kedua tanganku.
Bagaimana bisa aku berharap aku-lah penyebabnya, sosok yang membuat semua itu berlangsung, sosok yang bisa sesumbar bahwa itu adalah kerjaannya!
Apa sih yang sebenarnya terjadi? Dari mana asalnya segala kerusakan ini?
Sekali lagi, harus kuakui zaman telah berubah. Setiap hari terjadi semacam keajaiban dan keanehan baru di dunia.
Sungguh, kusadari kini aku harus belajar Ilmu Ekonomi dan Politik, seni bicara di depan umum dan propaganda, dan belajar tuntas sains dan teknologi, sebagaimana juga komisi-komisi para kontraktor dan agen, dan cara serta alat imigrasi ilegal.
Aku harus jadi lebih beradab dan mengubah cara-caraku yang lama jika aku tak ingin posisiku sebagai penyebab dikalahkan, jika aku tak ingin kehilangan satu-satunya alasanku ada.
Kalau tidak, pemberontakanku yang kekal akan lenyap tanpa hasil ke dalam ketiadaan, tanpa jejak sama sekali.
Aku sedang dalam kondisi frustrasi dan bingung saat para telik sandiku menginformasikan, masih ada seorang manusia mulia di tanah ini.
“Namanya Muhammad Zain,” kata mereka. “Profesinya hakim, dia tinggal di jalan Zayn al-Abidin nomor 15.”
Lekas aku mulai mengamati pria ini dengan perhatian khusus. Tempat tinggalnya sebuah rumah tua, tak sesuai dengan statusnya. Rumah itu adalah tempat dia tumbuh bersama keluarganya sampai rumah itu dipasrahkan kepadanya setelah satu demi satu kerabatnya mati.
Meskipun demikian, rumah itu dipandang sebagai satu anugerah besar dari Tuhan pada zaman ketika orang-orang hidup dalam tenda-tenda dan kuburan.
Dia sudah menikah, memiliki seorang anak laki-laki yang sedang kuliah dan anak laki-laki serta anak perempuan lain yang masih di Sekolah Menengah.
Setiap hari dia pergi naik bus ke gedung pengadilan, turun satu perhentian lebih awal sehingga tak ada yang melihatnya berkendara di tengah-tengah orang banyak, mencengkeram tas kantornya dengan kedua lengannya.
Dia memulai sesi-sesi pengadilan pada jam yang dijadwalkan, mengikuti testimoni jaksa penuntut, pembela, dan saksi dengan konsentrasi dan perhatian penuh.
Lain daripada itu, dia hampir tak pernah meninggalkan rumahnya kecuali kalau benar-benar perlu, sesekali untuk mempelajari legal brief-nya, atau untuk membayar tagihan.
Dia menanamkan semangat kerja keras dan menahan nafsu kepada anak-anaknya sehingga mereka tidak menempatkan diri lebih tinggi dari keturunan orang miskin.
Secara keseluruhan, rumah tangga itu ada dalam sungkupan hawa kesederhanaan yang nyata—dalam hal sikap, pakaian, dan bahkan makanan.
Meskipun begitu, istrinya menanggung semua ini dengan sebal, meringankan perasaan-perasaannya dengan mengeluh, dan sesekali dengan mengutuk zaman.
“Seluruh gajiku kuberikan kepadamu,” kata sang hakim. “Aku tak bisa mengubah logam-logam dasar menjadi emas. Aku tidak meminta biaya hidup yang tinggi karena aku hidup dalam lindungan Tuhan yang akan membuatku bertahan dari penderitaan abadi sampai kuhembuskan nafas terakhirku.”
Seorang pria agung sekaligus miskin. Godaan-godaan mengepungnya dari segala sisi, seperti air dan angin. Kurasakan dorongan untuk menaklukkan muncul dan membesar dalam diriku, karena tepat di depanku ada istrinya dan keluarganya.
Tambahan pula, keluarga itu sepenuhnya sadar apa yang terjadi di sekitarnya. Beginilah satu percakapan yang menunjukkan tak seia-sekatanya seorang suami dengan istrinya:
“Dunia macam apa ini?” istrinya bertanya. “Apakah kita dikutuk untuk mengalami seluruh siksaan ini semata karena kita baik?”
Suaminya memotongnya dengan tegas. “Ini adalah nasib orang-orang jujur yang hidup pada zaman jahanam…”
“Mereka semua pencuri, kamu sangat tahu itu!” Dia berkata serius.
“Ya, betul—mereka semua pencuri.”
“Dan kesimpulannya?”
“Satu-satunya yang kumiliki adalah kesabaran…”
Percakapan ini menunjukkan keberatan si istri terhadap bagaimana hal-hal berlangsung saat itu sekaligus juga celaan terhadap kebajikan suaminya.
Putri mereka mendengarkan banyak sekali; dia membaca koran-koran harian dan meluangkan waktu untuk berpikir tentang urusan-urusan duniawi. Haruskah pernikahannya berlangsung di bawah kondisi-kondisi mengerikan ini?
Aku tidak mengurungkan diri mengirimkan seorang pria muda yang memperdayakan kepada dia, sebagaimana juga rekan perempuan yang mengetahui cara menemukan flat-flat berperabot lengkap—tetapi pasangan muda itu berhenti di tepi pemberontakan:
“Para penipu itu aman, bermain-main seolah mereka ada di atas hukum, sementara itu hukum sendiri buruk dan hanya diberlakukan untuk orang-orang miskin…”
“Seluruh pintu terbuka untuk anak mereka, hanya mereka yang memiliki kesempatan bagus.”
“Satu-satunya yang kita dapatkan adalah penderitaan, dan dusta berlapis madu…”
“Bapak kita adalah seorang pria terhormat dan seorang hakim jujur itu lebih lemah daripada penjahat kaya…”
Aku girang mendengar semua itu dan siap-siap bekerja. Segala hal dalam kehidupanku selesai dalam hitungan detik. Tugasku tampak sangat mudah. Aku memutuskan tidak mengganggu si pria itu dan memfokuskan diriku pada anak-anaknya.
Jika orang ingin menaklukkan benteng, maka pertama-tama dia harus mencari satu titik lemah pada dinding-dindingnya. Di situlah dia harus menempatkan perangkapnya yang paling ampuh.
Ekstase yang mendahului kerja keras menyala-nyala dalam hatiku. Meskipun demikian, ekstase itu segera bercampur dengan sesuatu, dan—O dengan betapa cepatnya dan anehnya!—sesuatu ini menyerupai bau yang asalnya adalah keraguan.
Euforia pun surut seperti gelombang meninggalkan pantai. Aku jatuh ke dalam kondisi kelesuan, satu kelumpuhan yang mirip perasaan bahwa aku telah digagalkan, seolah-olah aku malu terhadap diriku sendiri untuk pertama kalinya dalam sejarahku yang berakar dalam.
Aku ragu, padahal aku tak pernah ragu sebelumnya. Aku mundur, padahal aku tak pernah mundur sebelumnya. Nafsu apapun yang kumiliki untuk bertempur, kemenanganku di dalamnya menimbulkan ejekan, kekalahan yang pasti akan memalukan.
Tidak, Iblis—ini bukan kemalasan belaka, ini adalah penolakan untuk bertindak. Aku tak pernah mundur sebelumnya. Aku akan membiarkanmu, Pak Muhammad, dalam kesusahanmu yang tanpa cela, dalam lingkungan-lingkungan pribadimu yang menguji, dan dalam tanggungan-tanggunganmu yang menyiksa.
Kamu tidak bahagia, tetapi tetap saja mereka iri padamu. Kamu tidak mengalah pada mereka, maka mereka mencoba memprovokasimu. Tak ada seorang pun yang mencintaimu. Tak ada seorang pun yang berempati terhadapmu.
Mereka menanggung dendam terhadapmu dan terus-menerus merencanakan membuatmu jengkel dengan keinginan terburuk.
Kini aku akan ucapkan kata perpisahan. Akan kuikuti kabarmu dari jauh.
Kamu akan tetap merupakan noda hitam dalam keberadaanku selamanya. Jika suatu hari nanti aku ditanya tentangmu, aku akan menjawab, “Pria itu menghentikan Iblis dari melakukan pekerjaannya.”
Naguib Mahfouz merupakan sastrawan dan novelis besar Mesir yang mendapat penghargaan Nobel bidang sastra pada 1988.
Cep Subhan KM adalah penerjemah muda progresif yang kini bermukim di Sleman, Jogjakarta.