Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Problem Kepastian Hukum Kebijakan PPKM di Kabupaten Bojonegoro

Dicky Eko Prasetio by Dicky Eko Prasetio
12/01/2021
in Cecurhatan, Headline
Problem Kepastian Hukum Kebijakan PPKM di Kabupaten Bojonegoro
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Sebuah analisis tentang PPKM dan PSBB di kabupaten yang konon sangat produktif dan energik dalam berbagai macam hal. 

Berdasar Surat Edaran Bupati Bojonegoro No. 300/0071/412.208.2021, Bojonegoro resmi melaksanakan Pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dimulai pada 8 Januari 2021 hingga 25 Januari 2021.

Pelaksanaan PPKM tersebut dilaksanakan untuk mencegah penyebaran COVID-19 yang masih masif terjadi di Kabupaten Bojonegoro.

Meski secara empirik dapat dibenarkan, namun pelaksanaan PPKM di Kabupaten Bojonegoro masih menyisakan pertanyaan secara hukum, terlebih lagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur sejatinya hanya memberlakukan PPKM di 11 kabupaten/kota di Jawa Timur.

Antara lain; Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kota Batu, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Ngawi.

Berdasar 11 kabupaten/kota yang melaksanakan PPKM sebagaimana perintah dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, maka Kabupaten Bojonegoro yang tidak termasuk 11 kabupaten/kota tersebut justru menetapkan PPKM ~

Jika melihat pada Surat Edaran Bupati Bojonegoro No. 300/0071/412.208.2021 diterapkannya PPKM di Kabupaten Bojonegoro sebagai tindak lanjut dari Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2021, yang menjadi pertanyaan apakah dengan ‘hanya’ berdasarkan atas Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2021 Kabupaten Bojonegoro dapat melaksanakan PPKM?

Tulisan ini akan berfokus pada problematika hukum pelaksanaan PPKM di Kabupaten Bojonegoro, tentunya juga berupaya supaya pelaksanaan PPKM dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.

Kepastian Hukum PPKM di Kabupaten Bojonegoro, dalam hukum dikenal sebuah asas yang menyatakan bahwa, In casu extremae necessitates omnia sunt communia yang berarti bahwa dalam suatu kondisi darurat, maka suatu tindakan yang diambil dipandang perlu.

Asas hukum a quo sejatinya menegaskan bahwa dalam suatu keadaan darurat, maka pemerintah perlu mengambil suatu tindakan yang dianggap penting, perlu, serta untuk mengantisipasi suatu keadaan genting di masyarakat.

Tampaknya, asas hukum a quo lah yang menjadi dasar serta landasan bagi Bupati Bojonegoro untuk mengeluarkan Surat Edaran Bupati Bojonegoro No. 300/0071/412.208.2021 terkait dengan PPKM.

Secara filosofis, apa yang dilakukan oleh Bupati Bojonegoro merupakan pencerminan dari filsafat utilitarianism sebagaimana yang dikemukakan Jeremy Bentham yang berorientasi pada terwujudnya The greatest happiness for the greatest numbers. 

Orientasi filsafat utilitarianism Jeremy Bentham ini adalah berupaya untuk memberikan kebahagiaan (baca: keamanan dan kesehatan) terkait dengan adanya pandemi COVID-19 yang penyebarannya sangat intens.

Selain itu, secara sosiologis, hingga awal Januari 2021 lalu saja, Bojonegoro masih zona merah COVID-19, kemudian per 08 Januari 2021 Bojonegoro berstatus zona ‘orange’ dengan konfirmasi positif sebanyak 392 orang, yang meliputi aktif dirawat 221 orang, sembuh 165 orang dan meninggal dunia 6 orang, sedangkan kasus suspect sebanyak 322 orang.

Meski saat tulisan ini ditulis, jumlah positif COVID-19 di Bojonegoro masih naik-turun, namun Bojonegoro belum dianggap aman dari penyebaran COVID-19.

Dengan demikian, maka diskresi Bupati Bojonegoro dengan mengeluarkan Surat Edaran Bupati Bojonegoro No. 300/0071/412.208.2021 adalah untuk menindaklanjuti fakta dan data positif COVID-19 di Bojonegoro.

Secara yuridis, pelaksanaan PPKM dengan dasar hukum Surat Edaran Bupati Bojonegoro No. 300/0071/412.208.2021 terdapat permasalahan tersendiri.

Pertama, istilah PPKM sendiri baik yang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro hingga pemerintah pusat, sejatinya tidak terdapat dalam UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan hanya disebutkan jenis kekarantinaan kesehatan meliputi: (i) Karantina, Isolasi, pemberian vaksinasi atauprofilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi, (ii) Pembatasan Sosial Berskala Besar, (iii) disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap Alat Angkut dan Barang, dan/atau, (iv) penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan.

Jika melihat pada UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sejatinya istilah PPKM ‘tidak diikenal’ bahkan tidak terdapat dalam UU No. 6 tahun 2018 karena yang terdapat dalam UU a quo hanyalah terkait dengan PSBB.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa harus istilah PPKM? Mengapa tidak istilah PSBB saja yang secara substantif juga memasukkan aspek PPKM?

Hal ini karena istilah PSBB merupakan istilah yang tercantum dalam UU No. 6 tahun 2018. Meski begitu, menurut Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara PSBB dan PPKM yang secara umum PPKM merupakan pengaturan kembali dan akan dievaluasi secara regular, termasuk bahwa PPKM tidak melarang dibukanya mall, restoran, maupun fasilitas umum lainnya, namun lebih berkaitan pada aspek persentase jumlah orang yang diatur untuk menghindari adanya kerumunan yang berpotensi menyebarkan COVID-19.

Berdasar uraian di atas, perbedaan antara PSBB dan PPKM sejatinya tidak terlalu substansial, perbedaannya PPKM lebih bersifat teknis serta menyesuaikan dengan kondisi dan situasi di masing-masing daerah.

Dengan demikian, seyogianya pemerintah pusat tidak perlu mengganti istilah PSBB dengan istilah PPKM.

Istilah PSBB sepatutnya perlu dipertahankan karena terdapat dalam UU No. 6 tahun 2018 serta substansi PSBB dapat diubah sesuai dengan substansi yang terdapat dalam PPKM.

Akibat dari kerancuan istilah antara PSBB dan PPKM ini berdampak pada ketidakseragaman penggunaan istilah antara PSBB dan PPKM.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat misalnya, berdasarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Jabar Nomor 443/Kep.10-Hukham/2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara Proporsional.

Menurut hemat penulis, istilah ‘PSBB Proporsional’ yang dipakai oleh Gubernur Jawa Barat lebih tepat dibandingkan dengan istilah PPKM selain karena tidak tercantum dalam UU No. 6 tahun 2018 juga berpotensi menimbulkan kebingungan dan kerancuan di masyarakat, manakah istilah yang tepat antara PSBB dan PPKM?

Kedua, terkait dengan kebijakan PPKM di Bojonegoro yang berdasarkan Surat Edaran Bupati Bojonegoro No. 300/0071/412.208.2021 padahal oleh Gubernur Jawa Timur Kabupaten Bojonegoro tidak masuk dalam 11 kabupaten/kota yang melaksanakan PPKM.

Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada tidak terpenuhinya tiga nilai dasar dalam hukum.

Menurut Gustav Radbruch, tiga nilai dasar hukum haruslah terpenuhi yang meliputi: kepastian hukum (rechtmatigheid), kemanfaatan (zwechmatigheid), serta keadilan (gerectigheit).

Tiga nilai dasar hukum sebagaimana diikemukakan oleh Gustav Radbruch terkenal dengan sebutan Radbruch formula (Radbruchsche Formel).

Tiga nilai dasar hukum haruslah terejawentahkan dalam setiap produk hukum. Jika salah satu saja nilai dasar hukum tidak terpenuhi, maka hukum bisa cacat dan pincang serta tidak dapat memenuhi tujuan hukum tertinggi berupa keadilan.

Dalam hal inilah maka rechct ist wille zur gerechtigkeit yang berarti bahwa hukum adalah kehendak demi untuk keadilan. Keadilan hukum dapatlah terwujud jika nilai kepastian dan kemanfaatan juga terpenuhi.

Dalam hal inilah, maka ketiga nilai dasar hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruch haruslah terpenuhi semuanya.

In casu a quo dalam Surat Edaran Bupati Bojonegoro No. 300/0071/412.208.2021 maka seyogianya Pemerintah Kabupaten Bojonegoro perlu berkordinasi terlebih dahulu dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) maka permohonan penetapan status PSBB untuk suatu kabupaten/kota haruslah diajukan pada menteri.

Dalam hal ini, seyogianya diperlukan koordinasi mendalam antara Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terkait kebijakan Bojonegoro untuk melaksanakan PPKM sebelum mengeluarkan Surat Edaran Bupati Bojonegoro No. 300/0071/412.208.2021. Hal ini bertujuan untuk menjamin aspek kepastian hukum serta menjamin tidak rancunya penerapan PPKM di Kabupaten Bojonegoro.

Berdasarkan analisis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, pertama, perlu pengkajian kembali mengenai istilah PPKM yang tidak diatur dalam UU No. 6 tahun 2018.

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa lebih baik istilahnya tetap memakai PSBB atau PSBB Proporsional (sebagaimana Pemerintah Provinsi Jawa Barat) namun tetap dengan substansi PPKM.

Kedua, seyogianya Pemerintah Kabupaten Bojonegoro berkoordinasi terlebih dahulu dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebelum mengeluarkan Surat Edaran Bupati Bojonegoro No. 300/0071/412.208.2021. Hal ini karena Bojonegoro tidak masuk dari 11 kabupaten/kota yang diproyeksikan untuk melaksanakan PPKM oleh Gubernur Jawa Timur untuk menjamin aspek kepastian hukum berdasarkan UU No. 6 tahun 2018 dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Terlepas dari dua simpulan tersebut penulis juga berharap supaya pelaksanaan PPKM di Bojonegoro juga dapat memberdayakan pedagang kecil yang mereka dibatasi kegiatan berdagangnya hingga pukul 20.00 WIB. Untuk itu kebijakan yang pro masyarakat kecil khususnya pedagang kecil dapat menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.

Sejatinya kebijakan PPKM yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro perlu diapresiasi, namun Pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga perlu memahami suatu postulat latin yang menyatakan bahwa, Destinata tantum pro factis non habentur yang berarti bahwa maksud baik, tidaklah lantas dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak baik.

Nabs, semoga, ke depan maksud baik Pemerintah Kabupaten Bojonegoro untuk melaksanakan PPKM disertai dengan cara-cara yang baik terutama untuk menjamin kepastian hukum.

 

Penulis merupakan peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan, Universitas Negeri Surabaya. 

 

Tags: Kepastian HukumPPKMPSBB

BERITA MENARIK LAINNYA

Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali
Headline

Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali

19/05/2022
Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari
Headline

Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

17/05/2022
Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan
Cecurhatan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022

REKOMENDASI

Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali

Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali

19/05/2022
Milad Aisyiyah dan Semangat al-‘Ashr

Milad Aisyiyah dan Semangat al-‘Ashr

18/05/2022
Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

17/05/2022
Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022
Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022
MotoGP Mandalika dan Dampak Positif Bagi Perekonomian NTB

MotoGP Mandalika dan Dampak Positif Bagi Perekonomian NTB

14/05/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved