Dalam perspektif ilmu falak, dalam hal penentuan awal bulan (sasi), adalah dengan mengkalkulasi konjungsi atau ijtimak antara Matahari dan Bulan, dimana kedua sumber cahaya di langit ini memiliki nilai bujur astronomi yang sama.
Pergantian bulan Hijriyah, yang kemudian menjadi kalender seluruh muslim di dunia, terjadi manakala konjungsi itu terjadi sebelum Matahari terbenam, sehingga yang terjadi adalah, di bentang cakrawala senja, posisi bulan persis berada di atas matahari.
Sementara itu, bentang cakrawala barat, bagi Jawa, yang telah lama menggunakan kalender Saka dan Pranatamangsa, sering digambarkan sebagai waktu surut (usia tua), apa yang terjadi pada Matahari dengan garis cakrawala senja terkadang menghadirkan dendam untuk sosok Kala. Yang tak lain dari apa yang kita kenal sebagai fenomena gerhana, atau konjungsi antara Bulan dan Matahari pada garis imajiner lintang dan bujur astronomi yang sama.
Matahari dan Bulan merupakan sumber cahaya bagi bumi. Dari segi persifatan karunia, terik sinar Matahari mampu menjadi energi penerang bumi, dan sudah tentu berbeda dengan sinar Bulan yang teduh dan mengayomi.
Dan Jawa, setidaknya telah mengambil hikmah kosmologi itu ketika manifestasi ketegasan pancaran Matahari disampaikan berulang kepada sosok burung sebagai mahluk dunia antara (Garuda), yang kemudian dijadikan wahana utusan Ilahi (Haricandana), kejadian ini harus dimaknai juga diilhami seorang Raja sebagai penguasa Jawa.
Konsepsi ini terus berlaku sampai hari ini, Matahari secara simbolik dimaknai sebagai sumber mata pencaharian dan kesentosaan raga, sedangkan Bulan sebagai keteguhan jiwa, yang wajib dimiliki manusia untuk diposisikan di atas segala hiruk pikuk ragawi. Dan semua itu cukup jelas, meski tanpa pagan.
Gejala cahaya langit dengan jala-jala imaginer, rangkaian-rangkaian konstelasi dan perhitungannya yang “njlimet”, di ranah pikir orang Jawa, seringkali disederhanakan menjadi cercah-cercah padanan dan turunan sebagai pembukti, walaupun akhirnya tetap saja menimbulkan seribu bayang yang tertuang pada mitos Jawa, baik itu agaris maupun maritim.
Semisal, kesejukan sinar bulan yang ternyata sesifat dengan kesejukan air (termasuk sungai, juga samudra). Persamaan sifat ini jelas mengikat kecenderungan mereka untuk terkait satu sama lain, tanpa terikat batas ruang waktu. Ini dibuktikan dengan menyaksikan sendiri air Laut yang pasang ketika Bulan sedang Purnama.
Akan tetapi yang terjadi adalah, bahwa fakta ini hampir selalu diiringi dan terselubung oleh jamaknya mitologi bidadari cantik – dari Candrawati, Nawang Wulan sampai Ratu Kidul -, yang turun dari kahyangan, yang musti dipersunting terlebih dahulu, bagi orang yang ingin menjadi Raja Jawa.
Konon, para bidadari itu sebenarnya turun untuk datang menghampiri bunga Sumanasantaka yang sedang mekar sempurna ketika sinar bulan purnama turun menerangi air murni yang menggenang tenang, di telaga sunyi, di hadramaut, atau di kalimati. Biarlah makhluk-makhluk cahaya menjalani perintahnya.
Kampanye tentang Hydromata sempat dimulai di dekat laut Araba, Palestina, tetapi klaim Abrahah dengan mengartikannya sebagai tempat Air Abadi di Arab sampai juga ke Mekah. Dengan gajah-gajah perkasa dia bahkan ingin agar batu bulan pelindung Hajar Aswat yang dibangun leluhur mereka, Abraham, untuk dihancurkan, tetapi seluruh dunia tahu bahwa usaha itu gagal total dan sia-sia. Abrahah menemukan jalan kematiannya sendiri, sedangkan Hydromata perlahan-lahan berubah nama menjadi Hadramaut di ujung selatan Arab, Yaman.
Kurang lebih 4 abad kemudian, di Jawa, Rakawi Narotama ingin mengisahkan kabar Gajah-gajah itu dengan nenambahkan apa yang terjadi dengan Kura-kura di belahan dunia Masriq, bahwa kedua hewan ini mengalami hal serupa, mereka dicengkram oleh kedua cakar Garuda (jelmaan api) dari angkasa, dibawa menuju kawah gunung tertinggi di dunia, untuk kemudian mati oleh paruh Garuda.
Apakah Rakawi Narotama ingin mengatakan bahwa Garuda lahir ketika ibunya (Winata) disalahkan ketika mengatakan bahwa Aswat itu berwarna putih? Terlepas dari hitam atau putih yang akhirnya malah berujung menjadi abu-abu, akan jelas bahwa samuderapun bisa teraduk seperti lautan susu, bergejolak sedemikian hingga, untuk mencari ketenangan manusia pewaris sifat bulan purnama di dunia, hingga seluruh penjuru bumi (barat dan timur) menjadi saksi (syahada) akan kehadirannya.
Penulis merupakan Sejarawan, Akademisi, dan Peneliti dari Blora Bhumi Budaya.