“Hanya karena dia menyukai hal – hal yang sama denganmu, bukan berarti dia adalah belahan jiwamu.”
Kalimat itu keluar dari mulut Rachel, adik dari Tom Hansen dalam film 500 Days of Summer. Tom yang sedang patah hati setelah berpisah dengan Summer mendapatkan nasehat menohok dari adik perempuannya yang ternyata lebih mengedepankan logika daripada perasaan.
Film 500 Days of Summer memang menimbulkan perdebatan panjang. Banyak yang membela Tom karena dianggap dicampakkan begitu saja oleh Summer. Namun banyak pula pendukung Summer merasa bahwa tak ada hal salah yang dilakukannya.
Keduanya memang dipertemukan oleh sebuah persamaan. Yakni sama – sama suka dengan musik dari band The Smith. Jika mengutip istilah dari seseorang yang saya kenal, ada proximity antara Tom dan Summer lewat The Smith.
Bagi Tom, persamaan sederhana itu lebih dari cukup untuk membuatnya tergila – gila kepada Summer. Singkat cerita, keduanya pun jalin hubungan asmara dengan penuh gelora khas anak muda. Tom sangat yakin bahwa Summer adalah “The One“. Namun, keyakinan Tom dirontokkan sendiri oleh Summer.
Summer secara terang – terangan tak ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan Tom. Ia hanya ingin “bersenang – senang” di masa mudanya. Berbeda dengan Tom yang merasa bahwa Summer adalah cinta sejatinya. Pada akhirnya, cinta Tom Hansen bertepuk sebelah tangan.
Apa yang dilakukan oleh Summer bisa dikatakan sebagai breadcrumbing. Secara sederhana, breadcrumbing adalah situasi di mana seseorang memberikan perhatian hingga harapan lebih kepada orang lain, tapi tanpa ada niat untuk menjalin hubungan yang serius. Istilah jadulnya PHP atau pemberi harapan palsu.
Psikolog asal Kanada, Dr. Monica Vermani, menjelaskan bahwa breadcrumbing adalah bentuk manipulasi baik disengaja atau tidak dari seseorang yang berpura – pura tertarik pada hubungan dengan orang lain, padahal tidak.
Meski bisa merujuk pada berbagai relasi lain, namun Dr. Monica Vermani menitikberatkan breadcrumbing pada hubungan romansa antar manusia.
Efek dari breadcrumbing itu bisa dilihat dari sosok Tom pada film 500 Days of Summer. Setelah mengetahui bahwa cintanya ke Summer bertepuk sebelah tangan, Tom mengalami rasa cemas, sedih, bingung, kesepian, malu, hingga hilang harapan.
Apa yang dialami Tom Hansen memang bukti kalau efek breadcrumbing itu bisa berbahaya. Perlu ketenangan dan akal sehat untuk menghadapi situasi seperti ini.
Persoalan breadcrumbing potensinya semakin besar terjadi saat memasuki era digital. Dengan berbagai platform media yang ada, proses untuk menjalin hubungan baru dengan seseorang lebih dipermudah. Hanya dengan modal smartphone saja, seseorang bisa dapatkan kenalan hingga gebetan baru.
Namun, mudahnya mendapatkan gebetan juga berbanding lurus dengan potensi kehilangannya. Banyak yang jalin hubungan asmara karena ingin bersenang – senang saja.
Ketika sudah bosan dan hilang kesenangannya, hubungan bisa disudahi begitu saja. Padahal, bisa saja salah satu pihak berharap agar hubungan asmara terjalin lebih serius.
Itulah kenapa potensi breadcrumbing lebih mudah terjadi di era keterbukaan informasi. Tanpa membeda – bedakan gender, apa yang dialami Tom Hansen, bisa dialami juga oleh kita semua di zaman digital di mana semuanya jadi serba mudah.
Seorang psikoterapis asal Amerika, Duygu Balan mengatakan bahwa hubungan asmara yang sehat itu tidak bisa dipaksakan. Semuanya harus berjalan secara organik atau alamiah. Tujuannya agar hubungan bisa berjalan dengan baik dan tidak satu arah.
“Sesuatu yang tidak dijalankan secara organik, tidak berasal dari hati, hanya melakukan tindakan demi tindakan tanpa emosi maupun komitmen, maka hubungan tersebut tidak akan ada artinya,” kata Balan.
Pada akhirnya, Tom memang punya harapan yang terlalu besar. Namun, apa yang diharapkan tidak linier dengan kenyataan. Dari Tom Hansen kita bisa belajar tentang ancaman dan bahaya laten dari breadcrumbing.