Bagi saya, Puthut EA bukan orang lain. Ia punya hubungan emosional yang cukup kuat dengan Kota Bojonegoro.
Hujan belum benar-benar reda ketika saya menjemput Mz Puthut di sebuah lobi hotel di tengah Kota Bojonegoro. Ia mengenakan kaus hitam berbalut jaket hoodie merah hati, bertulis AS Roma. Tak banyak yang berubah dari wajahnya. Ia, entah kenapa, selalu bisa tampak lebih muda saat menemui saya.
“Ayo, ngopi neng ndi ae siap, aku manut kue pokoke“. Begitu kata Mz Puthut pada saya.
Bergegas saya ambil motor di parkiran. Saya membonceng Mz Puthut menyusur Jalan Veteran Bojonegoro. Tak jauh dari posisi nytater motor, kami menemukan warung kopi yang pas di hati. Motor segera saya parkir. Kami pun bersigera memilih tempat duduk.
Di tempat itulah, kami berbincang tentang semesta dan perihal kecil yang melingkupinya. Dari jam 22.00 hingga jam 02.00 dini hari. Dari banyak pengunjung hingga warkopnya sepi. Kami berdua bahkan sengaja ngobrol di emperan, ketika warkop sudah ditutup rapat.
Mz Puthut penulis yang saya kenal sejak lama. Bukunya berjudul Berani Beli Cinta Dalam Karung? (Cinta Tak Pernah Tepat Waktu), jadi buku yang selalu ada di dalam tas saya, saat mahasiswa. Buku itu saya bawa berkeliling sudut Kota Surabaya, untuk mencari cinta, tentu saja ~
Ada dua penulis yang cukup berpengaruh pada dunia kepenulisan saya. Keduanya adalah Puthut EA dan Nirwan Ahmad Arsuka. Mz Puthut dan Pak Nirwan Arsuka adalah dua penulis yang sangat mempengaruhi saya. Tak heran, keduanya punya kedekatan emosional dengan saya, sebagai salah satu muridnya.
Bagi saya, Mz Puthut dan Pak Nirwan tak lahir dari menara gading intelektual yang angkuh. Tapi tumbuh dari dialektika bersosial yang menyeluruh. Mereka berdua tak hanya menginspirasi bagaimana menjadi seorang penulis, tapi juga memberi contoh bagaimana menjadi penggerak yang tidak lebay.
Mz Puthut bercerita, pada perjalanan mudik sebelumnya, sesampainya di Perempatan Padangan, ia akan menyeberang lurus menuju Jatirogo, lalu masuk Sale, Rembang. Tapi kemarin, entah kenapa, sesampai di Perempatan Padangan, ia banting setir ke arah kanan. Menuju Bojonegoro. Tentu ini sebuah isyarah yang tak sederhana. Padahal, kami tak saling berkomunikasi sebelumnya.
Kedatangan Mz Puthut ke Bojonegoro selalu menarik ingatan saya pada Komunitas Ngaostik. Komunitas melegenda yang didirikan para pemuda progresif Kota Bojonegoro beberapa tahun silam. Ngaostik, kala itu jadi satu-satunya komunitas di planet bumi yang menyatukan 4 sektor disiplin seni ke dalam satu tarikan nafas.
Sektor sastra, sektor musik, sektor teater, hingga sektor seni rupa yang masing-masing dikomandoi para pioner di bidangnya. Dengan slogan Progresif, Militan, dan Banyak teman; Ngaostik jadi komunitas yang disegani government dan dicintai masyarakat sipil.
Untuk diketahui, ada tiga begawan literasi yang dulu jadi beking kuat Ngaostik. Mereka adalah Nirwan Ahmad Arsuka, Sigit Susanto, dan, tentu saja, Puthut EA. Ngaostik jadi titik temu para begawan sastra nusantara pada ekosistem literasi Kota Bojonegoro.
Selain Komunitas Ngaostik, keberadaan sosok Mansour Fakih juga jadi perekat emosional antara Puthut EA dan Kota Bojonegoro. Beliau adalah orang Bojonegoro, sekaligus guru yang sangat dihormati Mz Puthut. Pak Mansour adalah sosok yang disebut Mz Puthut sebagai “Kitab yang Selalu Terbuka”.
Bertemu Mz Puthut, bagi saya, tak hanya mengenang masa silam. Tapi juga membincang visi masa depan. Darinya, saya belajar tentang bagaimana menjadi lelaki yang kontekstual terhadap zaman. Mulai dari jadi jomblo yang elegan, hingga jadi suami yang idaman.
Serpihan Jimat Peradaban
Waktu menunjuk pukul 01.15 ketika perbincangan kami, tiba-tiba, berubah tema. Mz Puthut meminta saya sedikit bercerita tentang catatan-catatan dari masa silam. Beberapa tahun terakhir, saya beserta para kerabat sedang melakukan pembacaan ilmiah terhadap catatan-catatan masa silam.
Manuskrip atau turots atau naskah klasik, bagi sebagian kalangan peneliti (filolog) juga dikenal dengan jimat peradaban. Ia dikenal sebagai jimat, tapi di lain sisi, bercerita perihal kronik peradaban. Itu alasan lembaran-lembaran tersebut dikenal sebagai jimat peradaban.
Catatan bertarikh 1800 M itu, banyak berada di kampung halaman saya, Padangan Bojonegoro. Di kalangan pesantren, dikenal sebagai turots. Di kalangan yang lain, dikenal azimat (jimat), benda pelindung yang keramat. Memang di antara ratusan manuskrip, ada catatan tentang jimat. Tapi tak semua. Justru lebih banyak kitab-kitab ilmiahnya.
Di Padangan, ada sebanyak 94 judul kitab ilmiah yang baru ditemukan. Itu belum termasuk lembaran-lembaran mujarobat, dan puluhan lembar catatan perjalanan. Bahkan, ada lembaran yang fokus bercerita tentang jimat berjalan di atas air, menaiki angin, hingga kebal dibedil.
Lembaran-lembaran itu ditulis pada periode circa 1800 M. Periode penuh peperangan. Sehingga, apa yang ditulis sangat kontekstual terhadap zaman. Menurut saya, jimat adalah metafora dari ilmu pengetahuan. Serupa halnya ilmu, sepatutnya ia melindungi seseorang dari kebodohan dan ketergelinciran hidup.
Catatan-catatan bertarikh 1830 M itulah, yang sedang saya dan para kerabat terjemahkan ke bahasa yang lebih mudah dipahami. Sehingga tak hanya dikeramatkan, tapi juga bisa diambil ibrah-nya. Memang prosesnya lama. Tidak mudah. Butuh ketelatenan. Dan Mz Puthut sangat mendukung penuh proses penerjemahan itu.
“Wah, iki kudu diterjemah, Lur”.
Mz Puthut dan saya percaya, keberadaan catatan leluhur menjadi bukti penting bahwa tingkat literasi di Indonesia sudah tinggi sejak dulu kala. Narasi tentang rendahnya minat literasi, hanya propaganda penjajah terhadap intelektualitas kaum pribumi.
Suwuk Nusantara
Kemarin malam, kebetulan gusi Mz Puthut sedang sakit. Saya lalu memberitahu Mz Puthut, bahwa ada lembaran manuskrip berisi teknik suwuk pengobatan, yang dikenal dengan Kitab Mujarobat. Kitab ini sangat populer di dunia pengobatan alternatif.
Keberadaan kitab Mujarobat, adalah bukti penting betapa hebat masyarakat nusantara. Mereka terbukti mampu menyiasati langkanya fasilitas kesehatan. Terlebih, ditulis di awal periode 1800 M. Ini bukti betapa masyarakat kita sudah sangat dekat dengan dunia literasi.
Saat ini, konsep suwuk tentu sudah tak kontekstual terhadap zaman. Sebab, akses kesehatan yang lebih ilmiah sudah mudah dijangkau. Tapi, 300 atau 200 tahun lalu, ia menjadi bukti otentik betapa jenuinnya daya pikir masyarakat nusantara kala itu.
Maka tak heran, di kampung kami, ada adagium yang berbunyi: “Cah lanang kudu iso nyuwuk, yo kudu iso nggepuk”. Maksudnya, seorang lelaki harus pandai berdoa (tawakal), dan pandai bekerja nyata (ikhtiar).
Kehadiran Mz Puthut di Bojonegoro, bagi saya, sangat istimewa. Sebab, kami tak janjian sebelumnya. Bagi saya, Mz Puthut selalu membawa energi daya hidup. Ia tak pernah menggurui, tapi selalu memberi suntikan semangat untuk terus berguna bagi orang-orang di sekitar kita.