Hingga saat ini bahasan tentang FPI bisa disaksikan dimana-mana. Berikut ini tentang quo vadis pelarangan FPI.
Front Pembela Islam atau yang lazim disingkat FPI menjadi ormas yang ‘dilarang’ untuk menggunakan simbol serta melaksanakan kegiatan seperti biasa.
Dilarangnya ormas FPI didasarkan pada Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor 220-4780 Tahun 2020 nomor M.HH-14.HH05.05 Tahun 2020 nomor 690 tahun 2020, nomor 264 tahun 2020, nomor KB/3/XII/2020, Nomor 320 Tahun 2020.
Dibalik nama produk hukum tersebut, tersimpan sebuah pertanyaan sederhana apakah ‘pelarangan’ dan ‘pembubaran’ FPI telah sesuai dengan prinsip negara hukum?
Tulisan ini akan mencoba menganalisis Keputusan Bersama Menteri dalam perspektif hukum, khususnya Hukum Tata Negara, Nabs.
‘Pelarangan’ FPI, relevankah?
Jika melihat pada rumusan Keputusan Bersama Menteri a quo sejatinya terdapat dua hal yang harus menjadi objek dalam analisis, pertama, terkait dengan istilah ‘pelarangan FPI’, ‘pembubaran FPI’, atau istilah lain yang sejenis.
Kedua, dalam Keputusan Bersama Menteri yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 2020 sejatinya memiliki lima argumentasi pokok terkait ‘pelarangan/pembubaran’ FPI tersebut.
Kelima argumentasi tersebutlah yang akan dianalisis serta dikritisi secara hukum. Terkait dengan hal pertama, yaitu istilah ‘pelarangan FPI’, ‘pembubaran FPI’, atau istilah lain yang sejenis jika mengacu pada Keputusan Bersama Menteri maka sejatinya istilah ‘pelarangan FPI’ atau ‘pembubaran FPI’ adalah tidak tepat.
Jika menilik pada konsideran Menimbang huruf g juncto menetapkan poin ‘KETIGA’ maka istilah yang tepat adalah ‘pelarangan kegiatan ormas FPI’ dikarenakan secara administratif ormas FPI dinyatakan telah ‘membubarkan diri’ sejak 20 Juni 2019 karena tidak menyelesaikan aspek administratif maksimal tanggal 21 Juni 2019.
Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Bersama Menteri a quo adalah dapat dibenarkan secara hukum karena yang dilarang adalah ‘kegiatan FPI’ dikarenakan dianggap ‘membubarkan diri’ setelah tidak memenuhi aspek admistratif sejak 20 Juni 2019, sehingga dianggap tidak terdaftar mulai tanggal 21 Juni 2019.
Hal ini tentunya berdasar atas asas presumptio iustae causa bahwa suatu tindakan administrasi negara dianggap benar sampai dapat dibuktikan sebaliknya.
Dengan demiikian, berdasarkan asas presumptio iustae causa maka Keputusan Bersama Menteri a quo adalah dapat dibenarkan, namun yang menjadi pertanyaan, jika FPI telah dianggap membubarkan diri pada tanggal 21 Juni 2019 (karena tidak memenuhi aspek administratif) mengapa Keputusan Bersama Menteri a quo baru dikeluarkan di penghujung tahun 2020?
Terkait dengan hal yang kedua, yaitu adanya lima argumentasi pokok Keputusan Bersama Menteri a quo pada konsideran menimbang huruf b sampai f maka perlu dianalisis satu per satu terkait dengan argumentasi pada konsideran menimbang.
Namun sebelum itu, alangkah lebih baik jika terlebih dahulu melihat kedudukan hukum Keputusan Bersama Menteri a quo dalam tata urutan perundang-undangan.
Jika mengacu pada UU No. 12 tahun 2011 juncto UU No. 15 tahun 2019 maka tidak dikenal istilah Keputusan Bersama Menteri.
Jika menilik pada Tesis S2 Bayu Dwi Anggono di Program Magister, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, maka terdapat tiga jenis Keputusan Bersama Menteri yaitu: (i) Keputusan Bersama Menteri yang bersifat peraturan kebijakan (beleidsregels), (ii) Keputusan Bersama Menteri yang bersifat peraturan perundang-undangan (regeling), dan (iii) Keputusan Bersama Menteri yang bersifat penetapan (beschikking).
Jika dikaitkan dengan Keputusan Bersama Menteri a quo maka dapat digolongkan sebagai jenis Keputusan Bersama Menteri yang bersifat beschikking karena bersifat individual-kongkrit (dalam hal ini ditujukan untuk ormas FPI) serta final (jika tidak dapat dibuktikan sebaliknya).
Hal ini diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh Hananto Widodo (Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan UNESA Surabaya) yang menyatakan bahwa Keputusan Bersama Menteri a quo bersifat deklaratif yang hanya menguatkan bahwa sejak tanggal 21 Juni 2019 FPI dianggap ‘membubarkan diri’ dan tidak dapat menjalankan kegiatan seperti biasanya.
Akan tetapi, jika Keputusan Bersama Menteri a quo bersifat deklaratif serta hanya merupakan beschikking mengapa dalam konsideran menimbang dalam huruf b,d,e, dan f ada kesan seolah-olah ‘menjustifikasi’ bahwa ormas FPI bertentangan dengan hukum, konstitusi, serta Pancasila yang ‘idealnya’ itu semua merupakan kewenangan pengadilan untuk memeriksa, mengadili, serta memutus suatu perkara yang berpotensi mereduksi hak asasi manusia dalam hal ini hak untuk berkumpul dan berserikat.
Minim Peran Pengadilan
Sejatinya, Keputusan Bersama Menteri a quo adalah sah secara hukum apabila hanya bersifat deklaratif serta hanya menegaskan bahwa semenjak tanggal 21 Juni 2019 FPI tidaklah memenuhi aspek administratif.
Akan tetapi, Keputusan Bersama Menteri a quo dapat dianggap bersifat represif dengan konsideran menimbang dalam huruf b,d,e, dan f yang sejatinya harus dibuktikan secara layak dan patut di pengadilan.
Memang, pembubaran organisasi masyarakat (ormas) pasca adanya Undang-Undang (UU) No. 16 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang berdasarkan asas _contrarius actus_ sebagaimana dalam Pasal 61 ayat (3).
Meski begitu, jika melihat konsideran menimbang yang juga menegaskan bahwa Anggaran Dasar FPI bertentangan dengan ideologi Pancasila maka perlu dikaji serta dibuktikan secara patut, apakah benar Anggaran Dasar FPI bertentangan dengan Pancasila?
Oleh karena itu, dengan berbagai polemik serta kemelut yang ada maka penulis menyimpulkan dua hal, yaitu: pertama, Keputusan Bersama Menteri a quo adalah sah secara hukum jika hanya bersifat dekklaratif dan beschikking.
Kedua, terkait konsideran menimbang dalam huruf b,d,e, dan f kiranya perlu dikaji lebih mendalam karena ada kesan pemerintah menjustifikasi serta ‘memainkan kewenangan lembaga pengadilan’.
Untuk itu, ke depan pembuktian suatu ormas bertentangan dengan hukum, konstitusi, maupun Pancasila haruslah dapat dibuktikan secara patut di pengadilan dan hal ini dapat dilakukan dengan merevisi UU No. 16 tahun 2017.
Karena itu, hendaklah pemerintah serta berbagai pihak yang terkait selalu mengingat postulat latin yang menyatakan, ‘errare humanum est, turpe in errope perseverare’ yang berarti bahwa, melakukan kekeliruan adalah manusiawi, tetapi tidak etis serta logis apabila terus melakukan kesalahan apalagi jika menyangkut hak asasi manusia setiap warga negara Indonesia.