Kita tak butuh referensi teknik dasar merindu. Sebab selain tak pernah mau tahu, rindu juga tak tahu malu.
Amelia Fajrin dan Widofan Ramadhian kenal secara tak sengaja. Mereka dipertemukan sebuah buku lusuh yang terdapat di perpustakaan kampus. Ya, bisa dikatakan, buku itu yang membuat mereka berdua bertemu.
Buku karya Andrea Kuncoro berjudul Laskar Patah Hati itu, tak sengaja mempertemukan mereka berdua, karena sebuah tugas menulis esai. Sejak pertemuan itu, mereka jadi saling kenal satu sama lain.
Meski suka baca buku, Amelia Fajrin bukan tipikal mahasiswa yang suka berkunjung ke perpustakaan kampus. Dia lebih suka baca buku di sebuah cafe yang sepi dan tenang. Tapi, entah kenapa, akhir-akhir ini dia sering ke perpus kampus.
Ya, diam-diam, Ameli sedang janjian bertemu dengan sosok lelaki aneh bernama Widofan Ramadhian. Wido merupakan kutu buku berambut ngombak panjang yang wajahnya, selalu mengingatkan Ameli pada sosok Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta?.
Berbeda dengan Ameli, Widofan sosok lelaki aneh yang tiap ke kampus selalu menyempatkan diri nongkrong di perpus. Selain membaca-baca buku, dia juga hobi tidur di perpustakaan. Sebab, hanya di tempat itu dia bertemu AC.
Widofan pembaca buku yang rakus. Tak hanya buku sastra, buku panduan keselamatan hidup macam Teknik Makan Rumput tanpa Merasa Pahit hingga Cara Mengambil Madu tanpa Disengat Tawon pun pernah dia khatamkan dengan baik.
Tapi, meski selalu berupaya tampil cool dan elegan di depan perempuan, Widofan sesungguhnya lelaki yang lucu. Saking lucunya, dia tak bisa membedakan mana bedak dan mana tepung terigu. Hanya, karena tak pernah punya teman, kelucuannya tak terbaca oleh manusia.
Sialnya, Ameli tahu itu. Ameli tahu jika Widofan sesungguhnya seorang yang amat lucu. Tapi selalu pura-pura terlihat cool di mata perempuan. Ameli juga tahu kalau Widofan tak pernah punya teman. Karena itu, dia ingin berteman. Tapi, lama-lama merasa penasaran.
“Dia itu aneh bingit, tapi kok aku jadi sering kepikiran yach,” ucap Ameli dalam hati, sembari duduk di depan perpus kampus dan memeluk buku Laskar Patah Hati karya Andrea Kuncoro.
Widofan datang ke perpustakaan saat Ameli sudah mau beringsut keluar. Dia datang dengan tetap tanpa ekspresi yang cukup berarti. Bahkan, cuma berkata dingin pada Ameli, “sudah dari tadi ya?” ucapnya pada Ameli.
“Kamu ini gimana sich, udah ditungguin daritadi, gak muncul-muncul, sekalinya muncul malah masang wajah tak berdosa. Huvt, sebal!” sayangnya, ucapan itu hanya diucap Ameli dalam hati saja.
“Hmmmm… Sudah lama sih, emang kamu dari mana aja?” Jawab Ameli dengan wajah amat manis dan ramah.
Sebelum menjawab pertanyaan Ameli, Widofan memberikan sebungkus es teh cup pada Ameli. Dia juga bercerita bahwa tadi kantin kampus sangat ramai. Jadi dia telat menemui Ameli.
“Jadi, tadi kamu antre beliin aku es teh?” Tanya Ameli sambil menyimpan senyum.
“Iya, kenapa?”
Pipi Ameli pun memerah. Malu-malu, dia langsung nyruput bungkusan es teh di depannya sembari mengucap terimakasih.
Meski baru kenal belum ada sebulan, Ameli sudah sangat akrab dengan Widofan. Ameli memang aktif, cerewet, dan mudah akrab. Beda dengan Widofan yang lebih mudah ngomong sama semut daripada sama manusia.
“Emang enak ya jadi Introvert?” tanya Ameli.
“Emang kenapa?”
“Bisa nggak sih kalau ngomong itu agak panjangan dikit?” Ameli sebel.
“Kenapa?”
“Kamu itu ya, kalau njawab pasti diakhiri pertanyaan. Bilang ‘kenapa’ sekali lagi takcubit!” Ucap Ameli mengancam.
“Aku mau kok kamu cubit, tapi jangan kencang-kencang ya”
** **
Dua bulan setelah pertemuan itu, lagu berjudul Hey yang dinyanyikan Ipang featuring Sheila Marcia mengalun pelan di kamar Ameli. Sementara si pemilik kamar, duduk sembari memeluk buku berjudul Laskar Patah Hati.
Buku itu yang mempertemukannya dengan Widofan. Kini, buku itu pula yang membuatnya kangen sama Widofan. Dia ingin menghubungi Widofan. Tapi, dia udah janji untuk selama tiga pekan hingga sebulan kedepan, tak menghubungi Widofan.
Widofan sedang pergi ke Saudi Arabia, mengantar orangtuanya umroh sekaligus kulakan kurma. Dan selama di sana, dia berpesan pada Ameli agar tak menghubunginya. Sebab, saat mendengar suara Ameli, dia takut tak bisa menahan rindu. Karena itu, Ameli tak menghubunginya.
** **
Di sebuah apartemen sederhana di Kota Buraydah, utara Riyadh, Arab Saudi, Widofan termenung tak bisa tidur. Pasca umroh, ibu-bapaknya sedang pergi mencari tempat kulakan kurma, sementara dia, memutuskan tak ikut urusan bisnis orang tuanya.
Tak banyak yang dia lakukan selain glimbang-glimbung bhok tangi kepikiran Ameli. Tiap kali melihat padang pasir, dia seperti melihat wajah Ameli. Tiap kali melihat apapun, wajah Ameli menjelma sebagai apapun.
Widofan menyesal kenapa berpesan agar tak perlu saling menghubungi. Sebagai dua orang manusia yang dimabuk kangen-kangenan, harusnya mereka sering saling memberi kabar. Tapi yang terjadi sebaliknya. Mereka berdua menahan siksa rindu bersama.
** **
Kursi sofa di teras Ameli bergetar. Ponselnya berdering. Layar ponsel mengabarkan bahwa kontak telepon atas nama Mas Widofan sedang memanggil. Ameli pun gugup dan tegang, tapi senang.
“Halo, Dek”
“Iya, Mas.”
“Hehehe….”
“Kok hehehe?”
“Pean di mana?”
“Di rumah.”
“Di rumah itu ‘di’-nya disambung apa dipisah ya?” Tanya Widofan yang langsung mendapat protes Ameli.
“Pean itu ga manusiawi sekali ya, Mas. Aku udah kangen kok malah dikasih pertanyaan teknik-dasar-menulis-kalimat?”
“Iya-iyaa, aku kesana.”
” Mas, Wid..?”
“Kenapa?”
“Kita tak butuh referensi teknik dasar merindu. Sebab selain tak pernah mau tahu, rindu juga tak tahu malu.”