Mancing ikan memang membohongi makhluk Tuhan. Serupa menebar janji kesejahteraan, tapi diam-diam mengesahkan RUU yang memicu binasanya kehidupan.
Athok, kawan baik saya, duduk santuy di tempat kami biasa ngopi siang ini. Tak seperti biasanya, dia ngopi dengan posisi membelakangi jalan. Alih-alih menatap ke arah jalan raya seperti sebelum-sebelumnya.
“Aku niru awakmu, ngopi kalau bisa membelakangi jalan.” Ucapnya tiba-tiba, “Biar tak melihat banyak godaan.” Tentu dia sambil tertawa.
Mendengarnya, sesungguhnya saya juga ingin tertawa. Tapi tak jadi, karena kami langsung berdiskusi tentang kondisi harga emas dunia. Tentang apakah harga emas dunia terdampak oleh keributan akibat respon terhadap pengesahan Omnibus Law.
Ya, Athok lagi semangat menggeluti bisnis investasi emas. Salah satu bisnis yang dia yakini memiliki potensi kerugian kecil. Mirip bisnis tanah. Bedanya, harga tanah tak begitu terpengaruh harga tanah global layaknya harga emas global.
Berinvestasi itu, kata Athok, seperti memancing. Kalau mancing ikan sudah jelas yang dicari adalah ikan. Entah apapun jenisnya, tapi karena fokus dan niat utamanya dapat ikan, pasti bakal dapat ikan. Kalau tidak dapat, coba lagi.
“Investasi itu mancing perihal ghaib yang hasilnya belum jelas.” Kata saya, “Tapi tenang, bukankah dalam hidup kadang tak butuh kejelasan?”
“Iya juga ya. Berarti berdagang juga termasuk memancing perihal ghaib, karena kita tak tahu, ada yang beli atau tidak.” Athok membenarkan dan menanggapi ucapan saya.
“Jangan-jangan kehadiran kita di dunia ini juga perkara ghaib, Thok. Lha piye, wong kita ndak tahu nasib dan masa depan kita seperti apa, Je.”
Athok tertawa. Saya juga tertawa. Sementara televisi di dekat kami, sayup-sayup riuh mendedar berita tentang demonstrasi besar-besaran yang terjadi di sejumlah titik di beberapa daerah dan kota di Indonesia.
“Gimana kalau kita mancing saja?” Kata saya menawarkan, setelah dia yakin bahwa kehidupan akan tetap stabil dan baik-baik saja, di tengah goncangan kecemasan psikologis alam raya.
Mendengar ajakan mancing, Athok sempat kaget. Dia semacam mendengar ajakan main petak umpet atau main bola di belakang masjid — sejenis momen nostalgis yang hanya didengar saat kami masih kecil, dan mulai tak didengar kala sudah dewasa.
“Tenanan?”
“Iya, tenan leh…”
Tak ada drama panjang-panjang untuk menjelaskan bahwa pada akhirnya kami mengetuk palu kesepakatan untuk berangkat mancing bersama. Kami mancing di sebuah blombangan (rawa) di sisi barat Kota Bojonegoro. Sebuah rawa berbatasan kali dan sungai yang terkenal banyak dihuni ikan kutuk.
Orang-orang menyebut tempat itu sebagai Rawa Kutuk. Entah karena banyak ikan kutuk, atau memang ada kisah mistis tentang cerita kutukan di sana. Saya tak terlalu paham. Saya hanya tahu tempat itu bernama Rawa Kutuk, dan tak tahu kisah di baliknya.
Tak butuh waktu lama dari tempat kami ngopi, kami sudah sampai di lokasi. Mula-mula kami memarkir motor di sebuah warung kopi yang berada tak jauh dari jalan raya Bojonegoro -Cepu. Untuk menyewa pancing dan beli umpan, kemudian menuju lokasi.
Jika ditarik garis lurus ke arah utara, Rawa itu tepat berada di belakang warung kopi tersebut. Hanya butuh jalan kaki sepanjang kurang dari 100 meter. Sayangnya, motor tak bisa masuk. Sehingga kami harus memarkir motor agak jauh.
Athok dan saya tak langsung menuju lokasi. Kami pesan kopi dulu di tempat itu. Ngopi lagi. Ya, itung-itung formalitas, agar tak dikira cuma nitip motor belaka. Meski sebagian besar masyarakat juga tahu, warung kopi tersebut kerap jadi jujukan para pemancing yang mau parkir motor.
“Wes berapa kali mancing ning kene, Bro?,”
“Bolak-balik leh.”
“Pernah dapat kutuk?” Tanya Athok penasaran.
“Durung blas….” Kami pun tertawa.
Athok bercerita kalau dulu dia juga sering mancing. Tapi, jarang bahkan gak pernah dapat ikan kutuk. Memang benar jika ikan kutuk adalah ikan yang sulit dipancing. Konon, ia mengonsumsi nafsu syahwatnya sendiri. Sehingga sulit diberi umpan.
Lalu, entah ada angin apa, tiba-tiba Athok dan saya mulai membahas hukum mancing yang konon melanggar hak kehewanan. Sebab memancing serupa membohongi ikan. Tapi ikannya kok mau aja ya dibohongi.
“Itu kan… seperti kita membohongi orang lain ya?” Tanya Athok mengagetkan.
Saya tak langsung menanggapinya. Saya merenung. Memang benar juga. Mancing itu membohongi makhluk Tuhan. Serupa memberi janji kesejahteraan, tapi diam-diam mengesahkan RUU yang membinasakan kehidupan.
Saya langsung ingat beberapa tahun silam, saat masih jadi mahasiswa dan sering main ke Masjid Al-Akbar Surabaya. Suatu hari, dalam sebuah kuliah umum di sana, ada seorang dosen yang juga ulama, mengharamkan mancing karena ada unsur penipuan dan penyiksaan di dalamnya.
Mendengar fatwa itu, saya langsung tak bisa tidur semalaman. Mengingat, banyak orang-orang terdekat bahkan keluarga saya punya hobi mancing. Bapak, bahkan Kiai saya, hobi sekali mancing ikan di sungai Bengawan Solo yang tak jauh dari rumah.
Saya pun pulang. Lalu bertanya pada bapak terkait fatwa ulama tersebut. Awalnya Bapak tak mau menjawab. Tapi, pada akhirnya, beliau menjawab kegelisahan saya. Sebuah jawaban yang awalnya jauh dari ekspektasi.
“Lho, itu nggak diniati cari ikan. Yang dipancing bukan ikan, tapi hawa nafsu. Ngetes kesabaran. Kalau nggak sengaja dapat ikan, kalau bisa jangan dimakan.” Kata bapak sambil tertawa.
Memang benar. Seingat saya, bapak tak pernah sekalipun pulang membawa ikan. Beliau hanya membawa alat pancing dan umpan saja. Saya tak pernah sekalipun tahu beliau pulang membawa ikan. Begitupun Kiai saya yang juga kawan mancing bapak. Hanya membawa alat pancing, tapi tak pernah membawa hasil ikan.
“Gimana kalau kita mancing tapi tak diniati mancing, Thok?”
“Maksudnya?”
“Ya bagi-bagi umpan aja. Nanti kalau digondol kita lepas.”
Athok tertawa tapi menyetujui niat itu. Setidaknya kami sudah menggugurkan niat awal kami untuk mancing. Sekaligus tak memancing karena takut menipu ikan. Kami hanya berbagi rezeki pada ikan saja.
Toh nama lengkap Athok adalah Athok Rozaqi. Sementara nama saya Wahyu Rizky. Ada unsur rezeki di dalam nama dan tubuh kami. Jadi amat pantas jika kami berbagi rezeki pada ikan-ikan di Rawa Kutuk tersebut.
Kami baru saja berdiri untuk bayar kopi dan menuju lokasi, ketika tiba-tiba hujan turun deras sekali. Sialnya, hujan turun lama sekali. Bahkan sampai sore. Kami memutuskan untuk tak jadi mancing.
Di perjalanan pulang ke kota, Athok dan saya tertawa kencang. Niat kami mancing memang sama. Sejenis pelarian agar kami tak membahas pengesahan Omnibus Law. Dan niat itu memang sukses, untuk kemudian tidak sukses, karena kami toh tiba-tiba ingat Omnibus Law lagi.