Lee Min Ho dan Ji Chang Wook dengan lahap memakan satu buah ketupat. Kemudian minum di air berkah yang katanya setara dengan minum air zam-zam itu.
Pengatur Rotasi telah mengatur perjalanan bulan. Dari menyabit menjadi setengah lingkaran. Dari setengah lingkaran menjadi bulatan penuh yang disebut purnama.
Langit bersih dari awan. Purnama duduk di kursi paling atas. Sedang bintang gemintang dengan riang menemani.
Gema adzan memenuhi segala penjuru. Dua bocah laki-laki berjalan menuju surau di ujung selatan. Jalanan bebatu dan becek karena hujan, mereka lewati hanya dengan penerangan rembulan. Karena memang belum ada lampu sebagai penerang.
“Men, mosok iya aku sama Emak juga dibawakan air sebotol,” cerita salah satu dari mereka.
“Sama, Ji. Selain ketupat aku juga dibawakan tiga kerikil yang sudah dicuci bersih,” respon Lee Men Ho.
“Kata Mamak, nanti pas habis membaca yasin satu kali kerikilnya dimasukkan botol minum satu. Terus baca yasin lagi, dimasukkan lagi. Sampai tiga kali,” ujar Ji Chang Wook.
Mereka meneruskan perjalanan. Sesampainya di surau ketupat sebak plastik lengkap dengan bumbu kelapa atau biasa disebut sambel cos diletakkan di serambi surau.
Tibalah upacara sakral yang dinanti Lee Men Ho dan Ji Chang Wook. Kupatan. Begitulah mereka menyebutnya. Shalat nisfu sya’ban, pembacaan yasin tiga kali dan tukar menukar ketupat.
“Men, kamu ngerti ora niate shalat nisfu sya’ban. Aku ora,” bisik Ji Chang Wook sebelum shalat didirikan.
“Ngerti to,” sahut Lee Men Ho yang juga berbisik.
“Opo Men? Ndari aku,” pinta Ji Chang Wook.
“Usholli sunnatan melokan lillahi ta’ala,” jawab Men Ho.
“Kok sedikit aneh Men? Melokan?”
“Lah iya to, kita sebagai makmum harus melok imam. Makane niate ya melokan.”
Ji Chang Wook mengucap o panjang. Lalu terdengar sahutan dari belakang.
“Ngawur wae melokan. Seng bener iku, usholli sunnata nisfu sya’ban rak’ataini mustaqbilal qiblati adaan makmuman lillahi ta’ala,” sahut Kang Seo Joon.
“Wah hebat kamu, Kang. Nggak kaya Men Ho, ngawur,” celetuh Ji Chang Wook.
“Niatku itu sudah bener. Aku sama Kang Seo beda madzhab. Sana ikut Imam Syafi’i aku iku buyutku, haha.”
“Dasar kenter!” Umpat Ji Chang Wook.
Usai shalat dua rakaat, semua orang membaca yasin. Yasin pertama untuk meminta umur panjang lagi barokah.
“Fasubkhaanal ladzii biyadihii malakuutu kulli syay’in wa ilaihi turja’uun,” baca Men Ho pada ayat terakhir surat yasin.
Satu kerikil yang sudah disiapkan Emak dimasukkan oleh Men Ho ke dalam botol. Begitu juga dengan jama’ah lainnya.
Lantunan yasin melanjut pada sesi kedua. Di mana diniatkan untuk meminta rizki yang halal dan berkah. Kemudian sampai di sesi terakhir, yang diniati untuk meminta tetapnya iman. Lalu ditutup dengan do’a yang dipimpin imam shalat.
Selepas upacara sakral itu semua jama’ah mengambil beberapa potong ketupat, lontong dan lupis. Tak lupa bumbu pelengkapnya, sambel cos. Beberapa ada juga yang digoreng. Jadi, bisa disebut srondeng.
Men Ho dan Ji Chang Wook dengan lahap memakan satu buah ketupat. Kemudian minum di air berkah yang katanya setara dengan minum air zam-zam itu.
“Allahu akbar allahu akbar…”
Adzan isya’ berkumandang. Ketupat yang sudah ditukar itu diamankan di serambi masjid. Barulah shalat isya’ dilaksanakan.
“Kalau di Mojo, desa asal bapakku kupatannya pakai sayur lodeh, Men,” ucap Ji Chang Wook.
“Sama juga dengan di Soko, Ji. Pakai sayur lodeh. Biasanya isinya ikan pindang, kecambar, tempe sama tahu. Beberapa ada yang ayam dan daging,” respon Lee Men Ho.
“Main petak umpet yuk. Mumpung purnama. Sekarang kan tanggal lima belas ruwah. Lima belas sya’ban,” ajak Kang Seo Joon yang muncul tiba-tiba dari belakang.
“Lha ini berkatnya gimana?” Tanya Men Ho.
“Taruh saja di bawah pohon mangga itu. Aku yakin aman kok,” usul Ji Chang Wook.
Akhirnya semua sepakat. Hom pim pa pun dilakukan.
“Hom pim pa alaihum gambreng!” Ucap mereka semangat.
Hanya Lee Men Ho yang menjulurkan telapak tangan putih.
“Yeah, aku menang!” Uapnya girang.
Kang Seo Joon dan Ji Chang Wook pun melakukan suit untuk menentukan siapa yang jaga.
“Sut jreng!” Ujar mereka berdua kompak.
“Yess, aku menang,” kata Kang Seo gembira.
Ji Chang yang mengulurkan jari kelingkin harus menjadi penjaga sebab dia kalah melawan Kang Seo yang mengulurkan jari telunjuk.
Itulah aturan suit. Jempol kalah dari kelingkin dan menang dari telunjuk. Sedang telunjuk kalah dari jempol dan menang dari kelingling. Begitu pun dengan kelingking yang kalah dari telunjuk dan menang dari jempol.
Sama halnya dengan manusia. Mungkin menurut seseorang dirinya telah menang namun di atas langit masih ada langit.
Men Ho dan Kang Seo telah menemukan tempat persembunyian sebelum angka sepuluh dikumandangkan.
“Mak’eeeeee hantuuuuu,” teriak Kang Seo yang tengah lari kencang.
Men Ho keluar dari persembunyian. Ji Chang berlari menuju arah teriakan.
“Mana? Mana hantunya?” Teriak Ji Chang panik.
“Sini, ikut aku,” ajak Kang Seo dengan muka takut.
“Eh pulang saja. Nggak usah lihat, Ji,” ajak Men Ho.
“Kamu takut, Men? Payah,” ejek Ji Chang Wook.
“Bukan begitu, kita harus tidur awal biar besok bisa bangun untuk sahur. Lalu puasa sunnah nisfu sya’ban.” Men Ho mencoba mencari alasan.
Tapi sayang tidak dipedulikan. Sakit ya tidak dipedulikan. Apalagi ada tapi dianggap tidak ada.
“Mana Kang hantunya?” Tanya Ji Chang lirih setelah sampai di bawah pohon jambu yang menjadi tempat persembunyian Kang Seo.
Telunjuk Kang Seo menunjuk arah dahan pohon jambu bagian utara. Tampak sesuatu.
“Kui burung hantu, koplak!” Gerutu Ji Chang.