Seorang waliyullah saja amat tawadhu menerima pelajaran dari anjing. Bagaimana dengan kita, yang selalu merasa mulia terhadap siapa saja?
Suatu malam, Abu Yazid Al-Busthami (804 – 875), berjalan menuju rumah setelah pulang dari bepergian. Tak ada apapun yang menarik perhatiannya hingga dia menyadari, ada seekor anjing yang berjalan dari arah berlawanan.
Melihat seekor anjing yang berjalan ke arahnya, hati Abu Yazid mulai ketar-ketir. Ketika anjing itu kian mendekat, Abu Yazid pun segera mengangkat jubahnya, khawatir terkena najis dari anjing yang melintas di sisinya tersebut.
Anjing yang semula tak begitu memperhatikan Abu Yazid, tiba-tiba berhenti dan terus memandangi sang Syekh, hanya karena melihat Abu Yazid mengangkat jubahnya. Lalu, saat Abu Yazid berpapasan tepat di sisi anjing itu, entah kenapa, Abu Yazid mendengar anjing itu berbicara padanya:
“Syeikh…tubuhku kering dan tidak akan menyebabkan najis padamu. Kalau engkau merasa terkena najis, engkau tinggal basuh 7 Kali dengan air dan tanah, maka najis itu akan hilang. Tapi jika kau mengangkat jubahmu karena menganggap dirimu lebih mulia dan menganggap aku yang berbadan anjing ini najis dan hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tak akan bisa bersih walau kau basuh dengan 7 samudera”.
Mendengar itu, Abu Yazid langsung tersentak kaget dan bergegas minta maaf pada anjing yang berada di dekatnya tersebut. Sebagai tanda permohonan maaf yang amat ikhlas, Abu Yazid pun mengajak anjing itu bersahabat dan berjalan bersama. Namun, si anjing justru menolak seraya berkata:
“Engkau tidak patut berjalan denganku, karena mereka yang memuliakanmu akan mencemoohmu dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu mengapa mereka menganggapku begitu hina, padahal aku berserah diri pada Sang Pencipta atas wujudku yang seperti ini. Lihatlah!! aku juga tidak menyimpan dan membawa sebuah tulangpun, sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum”. Anjing itu pun berjalan meninggalkan Abu Yazid yang masih tertegun.
Abu Yazid terdiam lama, sambil mengusap air mata yang menetes, dalam hatinya berkata: ” Ya Allah, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-MU saja aku tidak layak, bagaimana aku merasa layak berjalan dengan-MU, ampunilah aku dan sucikan hatiku dari najis di hatiku ini ya, Allah”.
Sejak saat itu, Abu Yazid selalu menghormati semua makhluk ciptaan Allah, tak peduli hewan atau manusia atau apa saja. Padahal beliau ulama besar dan masyhur sebagai waliyullah papan atas.
Seorang waliyullah saja amat tawadhu menerima pelajaran dari siapapun. Bagaimana dengan kita, yang selalu merasa mulia terhadap siapa saja.
====================
Selama Ramadhan ini, Redaksi Jurnaba berupaya menyajikan kisah hikmah, baik klasik maupun kontemporer, dari berbagai penjuru dunia. Jurnaba juga menerima tulisan kisah hikmah dari para Jurnabiyin dimanapun berada. Bagi kamu yang punya tulisan, sila dikirim ke email redaksi Jurnaba.