Sebuah paradoks lahir melalui siskamling. Kerumunan yang mengamankan sekaligus membahayakan jiwa.
Tuhan menciptakan malam agar manusia beristirahat. Begitu kata orang-orang tua dulu, agar anak-anak kecil seperti saya mau segera tidur. Tapi malam, punya tugas tak mengistirahatkan manusia.
Kalau kata Pramoedya Ananta Toer, “kemudian malam melanjutkan tugasnya: kosong dari segala perasaan.”
Tapi malam di Bojonegoro tidak kosong dari segala perasaan. Ia justru mengisi perasaan dengan bermacam kecemasan dan sesekali keanehan yang unik.
Di Bojonegoro, malam tiba dan banyak perihal jatuh di jalanan. Kenyamanan dan kenikmatan menikmati malam, tercecer di jalanan pasca banyak jalan di tutup dalam rangka pemberlakuan jam malam, hingga entah kapan.
Kini, kita bisa menyaksikan banyak gang dan jalanan di tengah Kota Bojonegoro ditutup saat malam hari. Ya, hanya malam hari. Malam hari, penjagaan jalan teramat ketat. Jalan banyak ditutup.
Saya sempat bertanya pada seorang kawan — teman yang, setidaknya lebih paham info terkini soal Covid 19 dibanding saya — apakah saat malam hari, Covid 19 lebih agresif dibanding siang hari? Apakah saat malam hari, Covid 19 lebih kuat dibanding siang hari?
Tidak, katanya. Dia tidak menemukan informasi soal adanya perubahan skema serangan Covid-19 antara siang dan malam hari.
Lalu pertanyaannya, kenapa hanya malam hari penjagaan diketati?
Pertanyaan itu, mungkin bisa dijawab seperti ini: siang hari waktu orang bekerja. Banyak orang bekerja. Jadi jalan tak bisa ditutup. Ini urusan kemanusiaan. Menurut saya, itu jawaban paling paripurna.
Di Bojonegoro, saat ini banyak gang ditutup saat malam hari. Tak hanya ditutup portal. Tapi ditutup manusia. Banyak orang berkerumun dan berjaga-jaga. Pos ronda kembali ramai, demi mencegah Covid 19.
Padahal, kerumunan adalah perihal paling dijauhi demi pencegahan Covid-19. Banyak tempat belanja dan kedai atau warung kopi ditutup dengan alasan demi menghindari kerumunan manusia.
Tak pelak, keanehan terjadi ketika banyak orang berkerumun di depan gang dan jalan berportal, demi mencegah persebaran Covid 19. Mereka berkerumun untuk berjaga.
Sepintas, Covid 19 seperti sosok Buto Ijo yang bisa terlihat, atau seperti sosok ninja jahat di akhir masa Orde Baru yang memaksa banyak orang berjaga di pos ronda. Sebuah kondisi yang melahirkan premis: Covid 19 takut pada kerumunan. Bukan sebaliknya.
Lalu pertanyaannya, kenapa mencegah Covid 19 melalui kerumunan manusia?
Ternyata ada jawabannya juga. Yakni, untuk berjaga-jaga kalau ada maling. Sebab, Covid-19 memicu banyak orang tak punya penghasilan. Sehingga kondisi itu berpotensi melahirkan kriminalitas.
Atau begini
Banyaknya kerumunan manusia di depan gang dan di pos ronda, ditujukan demi mengantisipasi adanya para pemudik yang datang saat malam hari. Sehingga warga sekitar tak kecolongan.
Atau dengan kata lain, banyak orang berjaga sambil tak menjaga dirinya sendiri. Sungguh dedikasi yang luar biasa, dan mungkin sulit ditemukan di luar Indonesia, tentu saja.
Sebab malam jatuh di Bojonegoro dan sebuah paradoks tumbuh melalui penutupan jalan dan kerumunan manusia yang berjaga-jaga atas makhluk buas yang mengincar kerumunan manusia.
Kemudian malam melanjutkan tugasnya: kosong dari segala perasaan.
Begitu kata Pramoedya Ananta Toer dalam buku berjudul Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, sebuah buku esai dan wawancara karya August Hans Den Boef dan Kees Snoek.
Mungkin seperti apa yang dikatakan Pram, kami semua juga ingin melihat semua — kelucuan dan keanehan dan kecemasan dan paradoks dan kekhawatiran yang lahir akibat Covid-19 — ini segera berakhir.