Saat isu kiamat sempat trending beberapa bulan lalu, kami justru membentuk Panitia Hari Kiamat dalam suasana diskusi yang gayeng.
Berbicara tentang terjadinya suatu bencana yang pernah melanda bumi tercinta Nusantara. Pasti menyimpan sebuah kenangan pahit bagi sebagian orang yang pernah selamat atau bahkan menyaksikan secara langsung dahsyatnya sebuah bencana alam.
Namun, tak banyak pula yg memikirkan penyebab terjadinya suatu bencana tersebut. Sehingga mereka lupa akan hikmah yang dapat diambil dari suatu musibah.
Di sini saya yang notabene mahasiswa berproses dalam dunia lika-liku birokrasi kampus, mulai teringat analogi dalam Al-Qur’an yang artinya “Tidaklah suatu kaum tertimpa musibah, kecuali Dia (Allah SWT) menjadikan itu sebagai pelajaran bagi mereka”.
Sekelumit sabda yang pernah saya dengarkan dari ceramah Gus Baha yang saya lupa ayat tersebut diambil dari Qur’an surat apa.
Kita semua tahu bahwa bulan Ramadhan ialah bulan suci umat islam yang diyakini sebagai bulan penuh rahmat. Disamping sakralnya bulan Ramadhan tahun ini, tersimpan sebuah cerita misterius. Cerita itu sempat menggemparkan warga yang keimanannya perlu dipertanyakan.
Penganut kepercayaan kejawen atau dalam bahasa lain sebagai kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang kita terutama suku Jawa.
Mengatakan bahwa pada pertengahan Ramadhan tepat pada hari jumat, itu bakal terjadi sebuah peristiwa bencana besar bagi umat seluruh dunia. Bahkan ada yang mengatakan itu kiamat dan ada juga yang nengatakan jatuhnya meteor yang akan membumihanguskan kehidupan di planet biru (bumi).
Hal itulahlah yang menyababkan otak saya terlintas untuk membuat sedikit tulisan ini. Tujuannya untuk mengabadikan jepretan pemikiran yang konyol ini terhadap fenomana yang terjadi.
Bertepatan dengan adanya debut virus yang melanda dunia saat itu, yakni virus corona melumpuhkan ekonomi dunia. Dogma- dogma tentang terjadinya kiamat pun semakin gencar untuk diperbincangkan.
Begitu derasnya isu tentang akan berakhirnya alam semesta ini, sampai salah satu warga yang tepatnya berdomisili di desa Banjaragung-njarjo sudah siap siaga untuk menangkal segala sesuatu yang akan menimpanya, tak terkecuali kiamat.
Dengan strategi ala pelatih sepak bola, warga tersebut berinisiatif menjual salah satu asetnya yang berharga berupa seekor sapi. Sapi tersebut dirupiahkan dan ditukar menjadi sejumlah minyak gas, dan beberapa kebutuhan pokok untuk bertahan hidup, karena ia meyakini bahwa pertengahan Ramadhan itu bakal terjadi peristiwa dahsyat, yakni kiamat.
Berbeda dengan para pemuda Gumeng. Sebuah cabang dusun desa Banjaragung yang letaknya sangat strategis plus kaya akan sumber daya alamnya.
Pesertanya adalah saya sendiri, Rizki Maulana (yang banyak digandrungi oleh kaum hawa), Bung Muchlis (salah seorang aktivis yang berproses di Tuban dan Bojonegoro), Bung Roni (Gus Azmi KW), Bung Khafid (tokoh agamis di Gumeng), Bung Ricko (pelajar SMKN 1 Rengel) dan masih banyak lagi sahabat-sahabat lain yang tidak bisa saya sebut satu per satu.
Kami lebih senang menanggapi isu kiamat tersebut dengan iktikaf di Masjid Tasyakur Gumeng. Kami percaya bahwa apa yang di luar sana katakan tentang peristiwa 15 Ramadhan itu hanyalah sebuah khayalan belaka, dan tidak ada dasarnya.
Sedikit bercerita tentang aktivitas kami di masa-masa pandemi yg bertepatan di bulanRamadhan. Kala itu, kami Jandoman (berkumpul sambil ngopi dan bersenda gurau) sedang memikirkan cara agar apa yg dikhawatirkan oleh masyarakat awam itu benar-benar hanya kebohongan belaka.
Akhirnya kami, wabilkhusus saya, mempunyai ide cemerlang yaitu dengan membentuk panitia kiamat dengan beberapa anggota di dalamnya.
Tujuannya tak lain ialah untuk sekedar guyonan agar imun tubuh kita menjadi kuat. Terlebih lagi di waktu pandemi corona. Hal ini sangat cocok dengan latar belakang kita sebagai Nahdliyin. Saya teringat pepatah dari Gus Dur yang pernah mengatakan “Tidaklah sempurna Ke-NU-an seseorang apabila tidak ada guyonan dalam dirinya”.
Sempat ragu untuk memikirkan siapa yang akan berperan sebagai ketua di dalam Panitia Kiamat dadakan ini. Akhirnya saya selaku pencetus ide cemerlang itu ditunjuk sebagai ketua panita. Saya setuju dan segera membentuk badan pengurus harian sebagai panitia Pra Kiamat waktu itu.
Setelah semua sudah terbentuk pada malam dini harinya tepat puku 00.00 WIB, kami pun sudah menyiapkan seluruh tenaga kami untuk menangkal kiamat/meteor yang diyakini banyak warga akan mucul pada waktu itu. Kami pun berbaris sesuai posisi yg sudah ditentukan dan semua membaca amalan” yang kami peroleh dari Petapa Gunung yg terletak di utara Dusun Gumeng, yaitu gunung Kapur.
Setelah satu jam dengan mengeluarkan semua jurus, kami pun saling memberi kode yang artinya waktu yang kita butuhkan untuk menangkal kiamat pun sudah berakhir. Kami pun bak para pahlawan di tokoh Marvel.
Peristiwa penangkalan tadi membuat kita para pemuda Gumeng tertawa riang seakan-akan apa yang kami lakukan itu benar-benar telah menyelamatkan milyaran penduduk bumi. Tindakan yang sangat beresiko ini kami jadikan sebagai bingkai kenangan yang tak akan pernah kami lupakan sepanjang zaman.
Walaupun tiada warga lain yang mengetahui bahwa kami lah para panitia kiamat yang sudah menangkal terjadinya bencana tersebut, wqwqwq.
Keesokan harinya, saya selaku panitia kiamat berfikir bahwa betapa kecewanya seorang warga dusun Njarjo yg sudah menyiapkan segala cara agar terhindar dari bencana. Mengetahui espektasinya tidak sesuai kenyataan.
Saya hanya kawatir kalau dia memikirkan kemudian melakukan hal-hal yang nekat seperti bunuh diri. Karena terlilit rasa malu oleh warga sekitar, sebab perspektifnya yang tidak benar benar ndilalah terjadi. Ahh…sudahlah biar itu menjadi urusannya sendiri.
Inilah, Nabs. Sebuah cerita singkat tentang tragedi 15 Ramadhan yang sempat heboh di dunia, khususnya di desaku tercinta. Melahirkan suatu pelajaran yang sangat penting, yaitu kita harus yakin akan takdir Tuhan Yang Maha Esa, bukan kepada manusia yang hanya menuruti ego plus hawa nafsu belaka.
Keberhasilan kami pemuda Remas Gumeng menangkal peristiwa tersebut pun tak lepas dari karunia Allah yang selalu memberikan rahmat-Nya kepada makhluk-makhluknya. Sampai sekarang peristiwa itu pun masih membekas di hati kami para generasi Penerus Raden Arya Bangah.
M. Rizki Maulana, mahasiswa Universitas Ronggolawe Tuban yang suka berdiskusi.