Setelah memberikan bocoran melalui trailer pertama kali pada Desember 2021, anime yang paling dinanti di Jepang akhirnya tayang di Indonesia kemarin (8/3). Ya, betul, Suzume no Tojimari, yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah Pengunci pintu Suzume.
Di Jepang sendiri, anime movie ini telah tayang pada 11 november 2022 dan mendapat animo yang luar biasa dari masyarakat di Jepang. Suzume no Tojimari dikatakan sebagai film nomor 4 paling banyak ditonton oleh masyarakat Jepang di tahun 2022.
Di Indonesia, Suzume no Tojimari resmi tayang perdana untuk umum pada Rabu kemarin (8/3), setelah presale khusus yang hanya bisa dilihat di CGV Grand Indonesia dan Central Park pada Sabtu lalu (4/3).
Dari ulasan-ulasan yang beredar di sosial media seperti twitter dan juga Instagram, penonton Suzume no Tojimari banyak dipuaskan oleh visual. Itu tidak mengejutkan mengingat semua film Garapan Makoto Shinkai selalu menyajikan visual dan grafis yang amat memanjakan mata.
Suzume no Tojimari dibuka dengan mimpi Suzume akan kenangan masa kecil, yang kemudian menjadi petunjuk dari semua rangkaian cerita yang dialaminya bersama Sota Munakata.
Ia bermimpi berada di reruntuhan akibat bencana untuk mencari ibunya seorang diri. Gadis kecil dalam mimpi Suzume, yang merupakan dirinya di masa lalu, kemudian menemukan pintu dan membukanya.
Di balik pintu itu terdapat ruang lain yang seolah terlepas dari reruntuhan tempatnya berada, sebuah tempat dengan kilauan bintang dan langit indah berwarna biru gelap-keungguan.
Di sinilah visual khas yang menjadi karakter Makoto Shinkai dapat dijumpai seperti yang dapat dilihat di Voice of The Distant Star, 5 Centimeters per Second, Kimi no Nawa, maupun Weathering with You…yaitu langit serupa galaksi dengan taburan bintang dan gradasi warna yang luar biasa.
Dalam perjalanannya menuju sekolah, Suzume Iwato, gadis SMA berusia 17 tahun yang hendak pergi ke sekolah, bertemu dengan Sota Munakata, yaitu laki-laki gondrong yang merupakan penjaga pintu yang menghubungkan Ever-After dengan dunia yang dihuni manusia. Ever-After digambarkan sebagai dunia tempat jiwa-jiwa yang telah tiada bersemayam.
Tempat tersebut dijaga oleh cacing yang dapat menyebabkan bencana apabila ia keluar dari pintu. Untuk itulah keluarga Sota menjadi penjaga kunci secara turun temurun.
Jika dipahami lebih jauh, Suzume no Tojimari mengangkat bencana yang sering terjadi di Jepang, yaitu gempa bumi. Makoto Shinkai tidak hanya mengangkat bagaimana mitigasi bencana alam (terutama gempa bumi) di Jepang, tetapi memadukannya dengan legenda penduduk setempat yang mempercayai bahwa ada hal-hal mistis yang tak dipahami logika manusia yang menjadi sebab terjadinnya bencana.
Dalam mitologi di Jepang, ada yang Namanya Namazu atau Onamazu, yaitu sejenis lele raksasa yang menyebabkan terjadinya gempa apabila ia keluar. Namazu ini dijaga oleh dewa Takemikazuchi.
Dalam cerita Makoto Shinkai, lele dan dewa Takemikazuchi digambarkan sebagai cacing raksasa dan dua kucing (jelmaan dewa) yang menjaga pintu.
Suzume no Tojimari agak berbeda dengan anime movie Garapan Makoto Shinkai terdahulu. Jika biasanya anime-movie Makoto Shinkai menitikberatkan pada hubungan emosional antara laki-laki dan perempuan, namun tidak dalam Suzume no Tojimari.
Meski cerita didominasi oleh adegan Suzume dan Sota, namun yang menjadi klimaks dalam rangkaian usaha mengunci pintu-pintu yang terbuka adalah masa lalu Suzume.
Ketika Sota (yang telah dikutuk menjadi kursi) menggantikan Daijin (kucing kecil penjaga pintu) untuk menggantikan tugasnya, Suzume bersikeras ingin membebaskan Sota dengan cara menemui kakek Sota.
Hanya ada satu cara, yaitu masuk kembali ke dalam Ever-After di mana ia pernah tersesat ketika masih kecil. Tepat ketika Sota telah dibebaskan dan Daijin kembali menjaga pintu, Suzume melihat dirinya semasa kecil yang menangis karena kehilangan ibunya.
Ia menenangkan Suzume kecil dengan mengatakan bahwa dunia selepas kepergian ibunya tak semengerikan yang dibayangkan dan ia juga akan dipertemukan dengan orang-orang baik dan tumbuh dewasa.
Inilah adegan paling menyentuh dari seluruh rangkaian cerita. Semua bencana-bencana yang terjadi ternyata berkaitan dengan kenangan masa kecil yang terus menerus hadir sebagai mimpi.
Di sini, Makoto Shinkai seolah menggambarkan emosi dan ketakutan anak-anak ketika kehilangan ibunya, yang kemudian tetap bersemayam dalam diri mereka bahkan setelah tumbuh dewasa.
Suzume tumbuh menjadi gadis SMA berusia 17 tahun, tetapi jauh di dalam dirinya ada anak kecil terluka yang masih menyimpan ketakutan paska kehilangan seseorang paling berarti dalam hidupnya, yaitu ibu.
Anak kecil dalam mimpi Suzume adalah dirinya di masa kecil, sedang orang dewasa yang ditemui Suzume kecil ketika tersesat di Ever-After adalah Suzume berusia 17 tahun yang ingin mengatakan bahwa semua mungkin tidak berjalan dengan baik, tetapi juga tak semengerikan dalam bayangannya dan ia akan tumbuh dewasa.
Dalam tulisan Sigmund Freud, The Interpretation of Dream, dapat kita baca bahwa mimpi adalah alam bawah sadar manusia yang begitu liar dan tak terkendali. Ia merupakan manifestasi dari segala sesuatu yang kita tekan dengan akal dan rasio orang dewasa.
Tumbuh dewasa dengan mimpi-mimpi akan kenangan menyedihkan di masa kecil adalah pertanda bahwa dalam tubuh Suzume ada diri kecilnya yang terluka dan belum bisa diobati.
Luka masa kecil itu tumbuh membersamai dirinya yang dewasa, yang dituntut untuk berdamai dan lupa seiring pertumbuhan tubuhnya. Emosi manusia nyatanya tak seperti tubuh yang berkembang seiring dengan usia.
Selama 12 tahun Suzume mengalami fase denial, yaitu fase penolakan emosi dengan berpindah kota bersama Bibinya. Menolak untuk bersedih, melupakan duka, dan memilih melanjutkan hidup dengan menganggap bahwa bibinya akan mampu menggantikan peran Ibunya yang hilang. Konon, fase denial adalah tahapan yang paling lama dan mungkin saja tak mengantar orang pada kesembuhan luka.
Jika ia berhasil melewati fase itu, maka ia akan sampai pada fase anger atau marah, membiarkan emosinya tersalurkan, memberikan waktu untuk dia berduka, menangis, atau marah.
Fase itu dilakukan dengan menghadapi kembali luka-luka di masa lalu, yang dalam cerita Makoto Shinkai dimetaforakan dalam kejadian Suzume besar menemui dirinya kembali di masa kecil yang masih menangis terisak.
Kengerian emosi dan duka mendalam yang dialami Suzume kecil dapat kita lihat pada buku yang ia kubur bersama dengan kenang-kenangannya. Beberapa lembar buku itu hanya diisi oleh coretan-coretan hitam yang memenuhi lembaran buku. Pekat. Gelap. Kelam.
Kesedihan itu seolah tidak bisa ia gambarkan, yang membuatnya hanya merancau dengan membuat garis-garis coretan hitam penuh.
Setelah menghadapi fase anger akan ada fase bargaining, yaitu ketika manusia melakukan negoisasi dengan dirinya sendiri. Adegan Suzume memutar kembali kenangan indah bersama ibunya.
Yaitu ketika ibunya membuatkannya kursi anak sebagai hadiah ulang tahun mirip seperti momen bargaining antara mengenang kesedihan tau momen paling membahagiakan dalam hidupnya. Setelah itu adalah fase acceptance, yaitu penerimaan.
Pada fase inilah luka dianggap telah sembuh, yaitu saat kita menerima luka, memberikan waktu untuk menyembuhkan luka, dan kemudian mengobatinya.
Suzume no Tojimari dengan alur cerita yang matang, karakter-karakter yang kuat, dan visual khas Shinkai sangat layak untuk penantian panjang sejak trailernya pertama kali release di akhir 2021.
Makoto Shinkai sukses mengaduk emosi sekaligus memanjakan mata penonton, dan untuk itu saya merekomendasikan kalian ‘mengalaminya’ secara langsung dengan menontonnya di bioskop.