Buku ini bukan hanya sangat perlu dibaca oleh para penyintas, tapi juga orang-orang di sekitar penyintas agar mampu memahami fisik dan psikologi mereka para penderita kanker.
Kurang lebih, lima tahun lalu, saya pertama kali membaca buku berjudul Kehidupan Kedua : Memoar Penyintas Kanker yang ditulis oleh Jurnalis Tempo sekaligus senior saya di organisasi. Peluncuran buku pada tahun 2015 itu, membuat saya terkejut.
Tidak pernah sekali pun terbayang bahwa orang yang saya temui di acara Latihan Kader di Lawang – Malang, dengan gaya sporty dan nampak sangat enerjik, itu telah mengidap kanker selama kurang lebih tiga tahun.
Dalam pelatihan-pelatihan yang saya ikuti di kantor Tempo Biro Surabaya, yang dulu berlokasi di Kertajaya, itu juga tak pernah sekali pun saya melihat Mbak Endri dalam keadaan lemas.
Beliau, dalam kacamata saya, selalu tampil sebagai jurnalis yang cerdas, tegas, dan kuat. Jurnalis memang harus kuat. Lebih-lebih Jurnalis Tempo yang terkenal ketat bukan hanya dalam bahasa, tapi keseluruhan proses mendapat informasi, hingga pembaca menerima sajian terbaik dalam bentuk artikel berita.
Melihat buku tersebut diunggah di media sosial Facebook, saya kaget. Itu adalah buku berisi pengalaman Mbak Endri sebelum dan sesudah menerima vonis ‘kanker payudara’. Saya memesan buku itu dan mengambilnya langsung.
Malam itu juga, selepas mengambil buku tersebut dari rumahnya yang berada di Ketintang, saya baca dan tuntaskan keesokan harinya. Buku itu ditulis dengan gaya lugas yang juga komunikatif, sehingga sebagai pembaca, saya merasa bahwa beliau sedang bercerita pada saya, membagi perasaannya kala menghadapi kanker.
Lima tahun setelah buku pertama terbit, saya kembali membaca unggahannya di media sosial Facebook bahwa beliau menerbitkan dua buku baru. Saya kembali memesan buku tersebut untuk mendengarnya ‘bercerita’.
Dua buku tersebut ternyata rangkaian yang digarap bersama dengan Tempo Publishing. “Ini kan buku seri, Nul, rencananya ada lima. Ya doakan semoga saya kuat,” ujarnya pada saya Rabu (04/03) lalu ketika berkunjung.
Beberapa hari sejak saya menerima buku tersebut, saya baca buku itu di waktu-waktu senggang, seperti mendengar penulisnya bercerita. Seri pertama berjudul Tubuhku Panglimaku.
Edisi buku saku Tempo yang dikemas seperti buku saku edisi pahlawan. Pengemasan buku ini serupa dengan pengemasan buku-buku Tempo seri pahlawan yang dicetak kecil seukuran saku.
Saya rasa, bukan tanpa maksud bahwa buku tersebut dicetak serupa. Ini adalah bentuk penghargaan Tempo atas dedikasi beliau untuk karya-karya selama bekerja di Tempo, dan lebih-lebih, untuk para penyintas kanker.
Mbak Endri bukan hanya berjuang untuk terus hidup, tapi membagi kiat-kiat bertahan hidup yang belum pernah ada sebelumnya. Ia tidak berjuang untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang-orang yang memiliki nasib sama sepertinya.
Buku ini dibuka dengan melankolis. “Kepulangan kali ini berbeda dengan pulang kampung sebelum-sebelumnya. Tak ada kegembiraan yang meluap-luap bersama dengan rencana-rencana menyenangkan, seperti janji bertemu kawan atau makan makanan tradisional yang sulit ditemukan di Jakarta.”
Pembukaan buku ini mengingatkan saya pada buku sebelumnya “Kehidupan Kedua : Memoar Penyintas Kanker”, sehingga tidak butuh waktu lama bagi saya untuk masuk ke dalam cerita. Saya menangkap rasa hancur Penulis ketika menerima vonis dokter.
Seperti bom yang jatuh tepat di hadapan, dan barangkali juga rasa takut yang tak terbayangkan mengetahui bahwa ajal begitu dekat.
Puncak dari melankolia yang dihadirkan Penulis ada pada dialog antara ibu dan anak. Itu barangkali adalah adegan paling mengharukan sepanjang cerita, ketika si anak pada akhirnya memutuskan untuk menjalani operasi pengangkatan payudara.
Dia, sebelumnya meminta maaf pada ibunya dengan berlutut mencium kaki si ibu, begitu pula si ibu yang digambarkan menangis tersedu. Sebagai pembaca, tentu saja saya merasakan apa yang dirasakan si ibu ketika anak terkasihnya berada di titik paling lemah dalam hidupnya.
“Jangan bilang begitu…Kamu anak yang saya banggakan. Kau harus kuat hati. Kalau kau kuat, saya akan kuat. Kalau kamu rapuh seperti ini, saya seperti tak punya tulang.” Kata ‘saya seperti tak punya tulang’ adalah metafora yang barangkali memang tidak puitik, tapi perasaan hancur si ibu telah sampai pada pembaca dengan amat menyakitkan.
Seperti kalimat pada kata-kata bijak yang sering kita dengar bahwa rasa sakit yang teramat justru karena melihat orang yang paling kita sayangi menderita.
Beranjak dari bab ‘Pulang’ menuju bab selanjutnya, penulis mengantar pembaca memasuki fase adaptasi yang harus dihadapi penyintas kanker pasca operasi. Mulai dari fisik yang berubah karena satu bagian penting dalam anatomi tubuh perempuan telah hilang dan bagaimana beradaptasi, hingga kekuatan tubuh yang tak lagi sama.
Dalam novel berseri tersebut, Penulis mencoba membawa pembaca masuk ke dalam pengalaman-pengalaman yang bukan hanya terdiri dari pengalaman emosional seperti rasa sedih, tapi juga tantangan sehari-hari yang mungkin tak terpikirkan oleh kebanyakan kita.
Salah satu yang paling menarik sepanjang proses pembacaan buku tersebut adalah ketika pembaca diajak untuk mengetahui kondisi fisik penulis pasca operasi. Satu payudara dan dua payudara jelas tidaklah sama.
Penulis yang menggambarkan diri sebagai orang yang amat peduli dengan penampilan tersebut mulai beradaptasi dengan memodifikasi beha. Itu dilakukan guna menunjang penampilan barunya. Beha yang mulanya kosong tersebut diisi dengan kapas oleh penjahit pilihannya, Mbak Astri.
Namun, hal tersebut ternyata tak menyelamatkan. Beberapa kali, dadanya tetap tak terlihat simetris karena kapas yang terlalu ringan dan itu membuat dada sebelah kanannya berada pada posisi yang lebih tinggi.
Penulis juga bercerita bahwa ia harus beberapa kali membetulkan letak behanya agar tidak tidak terlihat konyol saat berfoto.
Beranjak dari beha berisi kapas, di bab selanjutnya, Penulis bercerita bahwa ia mendapatkan informasi mengenai keberadaan payudara palsu yang terbuat dari silikon.
Dia pun berburu ke DTC sesuai dengan informasi yang diberikan Indri. Di DTC tersebut, ia membeli payudara palsu dari silikon seharga 300 ribu. Berbekal payudara palsu itu, penampilannya terselamatkan.
Namun, ada satu kondisi di mana silikon itu juga membawa kesulitan tersendiri. Payudara silikon itu sempat keluar dari tempat yang seharusnya. Silikon itu melompat tatkala penulis harus membungkuk untuk mengambil barang yang terjatuh.
Nasib baik bahwa silikon yang berbentuk sama persis seperti payudara itu tak melompat keluar dari kaus dan jatuh di jalan. Bisa ramai dunia persilatan jika demikian yang terjadi.
Di satu adegan di mana dia menuliskan bahwa sempat silikon tersebut tertinggal saat harus mengisi materi Latihan Kader di Lawang, ia menyumpal cup-beha yang kosong itu dengan tissue. Saya kira, itu adegan di mana saya pertama kali bertemu Mbak Endri ketika beliau datang dengan penampilan sporty seperti yang saya tuliskan di awal cerita.
Rupanya, bukan hanya perkara beha, tapi yang lebih menuntut adaptasi penyintas pasca operasi adalah persoalan kemampuan fisik. Mulai dari meng-emas-kan tangan kanan yang berada di dekat daerah operasi, hingga menjaga sebaik-baiknya tubuh dari aktivitas melelahkan seperti tidur terlampau malam.
Penyintas harus benar-benar menjaga tubuh agar tetap bisa fit dan berkarya di keesokan harinya. Overwork atau overused hand bahkan akan berakibat cukup fatal.
Selain bisa membuat penyintas merasakan kelelahan yang teramat dan nyeri, efek ringannya, seperti dituliskan, bisa membuat penyintas tidak fokus, “kehilangan kata-kata” kala mengisi materi.
Bagi penyintas lain, mungkin efeknya akan berbeda pada pekerjaan, yang jelas, kelelahan akan berpengaruh pada kelemahan otak, atau dalam bahasa slang di Indonesia disebut lemot (lemah otak)
Terlepas dari isi cerita, saya pribadi kerap kagum dengan bagaimana Penulis, Mbak Endri, menyempatkan waktu untuk menggarap buku ini. Selain harus belajar untuk menyajikan tulisan dengan kemasan yang lebih ringan untuk dibaca, dengan metode yang mungkin saja berbeda dengan kesehariannya mengedit hard news di Tempo.co, ia juga terhitung memiliki banyak kegiatan di luar pekerjaan.
Kepada saya, ia pernah bertutur bahwa ia terlibat aktif di dua organisasi karena diberi amanah untuk menjadi pengurus. “Ada organisasi di Madura, sama ini diminta jadi pengurus organisasi peduli kanker begitu, Nul.”
Dari keseluruhan, novel seri hidup bersama kanker ini begitu menarik untuk dibaca. Disajikan dengan ringan dan renyah, tapi tetap memuat informasi-informasi yang perlu diketahui orang mengenai kanker dan kiat penyintas untuk melawannya (termasuk informasi terapi herbal dengan bahan-bahan alami yang mudah didapat di buku kedua, Mindset Kuncinya).
Bukan hanya sangat perlu dibaca oleh para penyintas, tapi juga orang-orang di sekitar penyintas untuk mampu memahami fisik dan psikologi mereka.
Di samping itu, novel ini juga amat menarik dibaca oleh khalayak untuk menambah khasanah pengetahuan, terutama karena ditulis dengan metode yang digunakan wartawan untuk menulis berita, yakni kaya informasi dari para pakar di bidangnya.