Di tiga gua inilah kami mendiskusikan banyak hal. Dan pandemi, seakan mendentingkannya berkali-kali. Aih, rindu sekali.
Beberapa tahun lalu, Bu Menik, dosen saya di jurusan sastra Inggris yang amat bersahaja berseloroh di kelas kami dengan penuh semangat: “Siapa di antara kalian yang sudah menonton Dead Poets Society?”.
Seketika beberapa pasang mata di kelas saling lirik dan kami serentak menggelengkan kepala.
“Belum ada? Wah sayang sekali ya. Tontonlah. Itu film yang bagus,” tambahnya.
Pasca pertanyaan itu, saya lantas mencari film tersebut di internet. Dan, ya, dia benar. Film itu yang kelak mengubah saya untuk semakin mencintai dunia sastra dan literasi.
**
Dikisahkan, di sebuah kelas yang padat, John Keating, seorang guru yang diperankan Robin Williams, mengajar para siswa di situ. Ia menularkan semangat bersastra dan berpuisi dengan cara tak biasa. Alih-alih mengajarkan dengan cara monoton dan penuh ceramah, ia malah meminta para siswanya untuk menjadi puisi itu sendiri.
Misalnya, ia kira-kira meminta beberapa siswa untuk membaca puisi di depan kelas dengan raut gembira. Selain itu, semangat itu tak cuma pupus di sana, bahkan di lapangan olahraga, ia mencoba menghidupkan kembali gairah siswa. Alhasil, para siswa kian bergembira.
Pada hari-hari tertentu sekelompok siswa berkumpul dan merayakan puisi di sebuah gua, tak jauh dari sekolah. Mulai dari musik dan aneka jenis sastra tak luput dinarasikan secara epik di tempat tersebut.
Dan itu, kiranya adalah momen paling fenomenal yang mungkin saat ini dibahasakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai “merdeka belajar”.
Perasaan itulah yang kelak di akhir tahun 2018 terjadi pada diri saya. Saya seperti menemukan John Keating versi Kota Ledre, dan kami melakukan pertemuan rutin di tiga “gua” terpisah.
Keating yang saya maksud adalah Wahyu Rizkiawan, seorang jurnalis dan pegiat literasi yang telah lama berkutat di Bojonegoro. Sedang para siswa itu adalah saya, Riza Al-Ghazali, dan Muhdany Yusuf Laksono.
Kami bertiga adalah jurnalis magang di sebuah media lokal di Bojonegoro dan Bung Rizki adalah senior yang telah menggeluti profesi tersebut selama beberapa tahun.
Pertemuan perdana kami terjadi di gua pertama yang bertuliskan Warkop Giras di sekitar Jl Patimura Bojonegoro. Di sana, alih-alih berinteraksi soal jurnalisme secara kaku dan keras, waktu-waktu genting justru kami isi dengan ledekan ciamik yang mampu menjadikan muka masing-masing seperti stroberi.
Bung Rizki banyak bercerita kepada kami seputar features-features bertenaga. Mulai dari bagaimana mengemas kisah tukang tambal ban off road menjadi narasi human interest menakjubkan, sampai menuliskan cerita pelukis kaligrafi tanpa perlu mendatangi yang bersangkutan dan cukup diketik via ponsel.
Saya pikir itulah titik balik di mana saya getol menulis features. Sebab, kapan lagi tulisan saya bisa ditelisik dengan cermat oleh Bung?
Gua berikutnya adalah Kedai Kopinem di kawasan dekat terminal lama Kota Bojonegoro. Pertemuan di sana biasanya terjadi ketika masing-masing di antara kami bingung mencari topik berita, dan Gua Giras Patimura kebetulan sedang ramai.
Di Kopinem, di saat paling genting menuju deadline, alih-alih kami berusaha memberi solusi, yang ada dengan datangnya Bung, perbincangan tak jauh-jauh berpaut pada ledekan yang membuat kami berkeringat malu.
Namun ajaibnya, kendati begitu, pada saat menjelang deadline entah dengan kekuatan macam apa, kami selalu berhasil menemukan topik berita. Saya pikir itulah bukti otentik karomah dari John Keating Bojonegoro. Dengan kehadirannya saja, walau tanpa nasehat-nasehat bijak, kami telah terbantu secara otomatis.
Sedang di gua berikutnya adalah Warung Kopi Jiwo yang terletak di Jalan Panglima Polim Bojonegoro. Masa-masa ini lebih epik disejajarkan dengan nuansa perpisahan.
Lebih tepatnya di masa ini Bung keluar dari media yang menempanya menjadi penulis features ulung. Dan kami berbincang-bincang sekadar untuk melakukan farewell party.
Di momen ini bung banyak bicara kepada kami seputar arti hidup, pertemuan dan perpisahan, perjalanan mengembara, sampai impian-impian kecil di masa lalu. Meski seharusnya dikemas dengan aura kesedihan, tapi toh kami justru merayakannya dengan cara paling bahagia.
Dan benar saja, pasca pertemuan itu, saya kemudian ditugaskan di Lamongan (meski cuma singkat saja sebab saya mengundurkan diri), Riza di Tuban (kini ia melancong ke Nabire Papua), dan Dany menetap di Kota Ledre (sekarang ia telah resmi berpredikat suami).
**
Pada akhirnya, di tahun 2020 ini, segala napak tilas itu masih mengendap rapi dalam ingatan saya. Bayang-bayang kegembiraan kami terasa kuat dan menyala terang di sebuah ruangan yang dalam. Dan pandemi covid-19 ini seakan mendentingkannya berkali-kali. Aih, rindu sekali.
Surabaya, 9 Mei 2020.