Kisah penjual telur dari Dukuh Pagung yang senantiasa tabah meski dihujani berbagai masalah. Konon ia punya senjata yang diagem secara istiqomah. Lantas, apa senjatanya?
Ali merupakan lulusan sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri ternama. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya.
Setelah beberapa tahun meninggalkan kampung halaman, akhirnya ia kembali menginjakkan kaki di tempat ia dilahirkan, dimana lagi kalau bukan di Dukuh Pagung.
Awalnya, Ali bingung mau melakukan usaha apa. Pada suatu hari, Ali berkeliling dukuh. Menyapa satu per satu warga yang ia temui. Bi Irah, penjual rujak legendaris di Dukuh Pagung yang konon gerakan tangannya ketika menarikan ulekan memberi rasa yang tak tertandingi pada rujaknya.
Lek To, penjual pentol yang bunyi loncengnya senantiasa dinanti anak-anak Dukuh Pagung lintas generasi. Mat Dasim, pendongeng kehidupan yang ulung. Bung Jonet Ependi, pemilik warung kopi yang terkenal se-Dukuh Pagung dan sekitarnya.
Mbah Saporah, penjual grendul yang senantiasa istiqomah berjualan meskipun usianya senja. Mang To’ing, penjual es lilin, kue terang bulan, dan es wawan yang senantiasa menjual dagangannya dengan bersepeda saban minggu pagi.
Mang To’ing, merupakan mantan aktivis, terbukti di rombongnya terdapat kalimat dan gambar-gambar bernuansa harakah/pergerakan.
Pak Sarjono, tukang cukur legendaris yang membuka jasa cukur rambut di bawah rindangnya pohon asam yang berada di dekat pertigaan Dukuh Pagung.
Ali berkunjung ke beberapa tempat yang ada di Dukuh Pagung dan bernostalgia. Tak terkecuali, ke sentra industri batu bata yang dikelola Mancus (kawan Ali) yang berada di dekat pinggiran sungai Bengawan Solo. Dan terakhir, Ali menginjakkan kaki ke kediaman Susilawati yang merupakan konglomerat Dukuh Pagung yang memiliki berbagai jenis usaha. Salah satu di antaranya peternakan ayam dari jenis ras maupun buras. Setelah berkunjung ke sana, Ali memperoleh ide untuk menjadi penjual telur.
Tanpa berpikir panjang, Ali langsung memulai usahanya. Dengan restu orang tua plus modal seadanya, Ali bekerja sama dengan Susilawati. Saban hari, Ali keliling dukuh Pagung dengan jalan kaki dan mengenakan topi, sembari berucap, “Teluuuur, teluuuuur, teeeluuuur”.
Bulan pertama Ali berkerja sebagai penjual telur, ia mampu memenuhi target penjualan yang dibebankan kepadanya, begitupun dengan bulan ke-dua. Pada bulan ke-tiga, merupakan bulan Ramadhan.
Ali berharap di lebaran nanti, bisa memberikan hadiah kepada orang tuanya. Namun, nasib kurang beruntung menimpa Ali.
Ketika Ali berjualan telur, dia menjadi korban tabrak lari di pertigaan Pohagung yang dekat dengan pohon asam.
Tragedi tersebut terjadi menjelang hari Raya Idul Fitri. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, hal tersebut teralami oleh Ali. Target penjualan telur bulan ke-tiga tidak terpenuhi plus uang tunjangan hari raya (THR) dari Susilawati habis digunakan untuk berobat di rumah sakit.
Ali senantiasa tabah, menerima apapun yang terjadi. Karena ia senantiasa ingat dawuh kiai-nya, untuk senantiasa tabah menjalani kehidupan yang fana plus penuh tanda tanya.
Ketika gema takbir berkumandang, Ali hanya berbaring di atas ranjang rumah sakit. Mendengarkan gema takbir sembari mengucapkan takbir kemenangan.
Sinar mentari yang merangsak masuk melalui kaca jendela, menyapa Ali. Menjadi saksi bisu, bahwa lebaran tahun ini, Ali berada di rumah sakit dan dikelilingi orang-orang yang menjenguknya.
Setelah menjalani perawatan di rumah sakit, tepatnya setelah hari raya ketupat, Ali kembali berkeliling Dukuh Pagung dan sekitarnya untuk berjualan telur.
Aspal Dukuh Pagung dan sekitarnya, menjadi saksi bisu derap langkah Ali ketika berjualan telur. Tak lupa, Ali senantiasa bersalawat ketika berjualan telur.
Di bulan ke-empat, Ali tidak memenuhi target penjualan. Ali benar-benar pusing, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Ali juga meminjam uang ke tetangga. Bapak Ali yang merupakan pensiunan penyuluh pertanian, di usia kepala delapan, sering masuk dan keluar rumah sakit.
Ali harus menyisakan beberapa uang untuk biaya perawatan plus pengobatan bapaknya. Ibunya yang bekerja sebagai buruh masak, penghasilannya tak seberapa. Ketika musim hajatan di Dukuh Pagung dan sekitarnya, pendapatannya lumayan besar. Namun ketika orang-orang dukuh Pagung dan sekitarnya jarang menghelat hajatan, pendapatan Ibu Ali tak seberapa. Hal tersebut tak membuat keluarga Ali resah, karena bapak Ali senantiasa berpesan untuk tetap berusaha dan mendawamkan salawat.
Hari demi hari berlalu. Ali menikmati pekerjaannya sebagai penjual telur. Sesekali ia mengeluh, membuktikan bahwa Ali adalah manusia biasa.
Pada suatu hari di bulan ke-lima Ali bekerja sebagai penjual telur, terbesit dalam pikiran untuk berhenti bekerja sebagai penjual telur. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba ada seorang tukang pos yang mengantarkan surat ke rumah Ali.
Surat yang berada dalam amplop cokelat tersebut isinya ihwal pemberitahuan bahwa _business plan_ yang pernah dibuat Ali ketika berada di tanah rantau disetujui oleh sebuah serikat yang bergerak di pertanian organik.
Ketika melihat surat tersebut, Ali sujud syukur. Dan dia berhak menerima uang ratusan juta rupiah untuk mengembangkan pendidikan plus pelatihan pertanian organik di kampungnya, dimana lagi kalau bukan di Dukuh Pagung. Gema takbir iduladha yang berkumandang di Dukuh Pagung dan sekitarnya, menjadi saksi bisu kebahagiaan keluarga Ali. Sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Ali mengundang ratusan anak yatim dan orang miskin yang berada di Dukuh Pagung dan sekitarnya untuk makan bersama.
Setelah lebaran haji, Ali berhenti menjadi penjual telur di bawah Susilawati. Tak lupa, ia mengucapkan matur sembah nuwun kepada Susilawati yang telah memberi kesempatan Ali untuk bekerja. Dan kini, Ali fokus mengelola lahan yang di dalamnya ada sentra pendidikan petani dan budidaya tanaman plus hewan yang ada di Dukuh Pagung.