Foto jurnalistik menjadi suatu produk jurnalistik yang keberadaannya sangat penting. Ia memberi warna tersendiri dalam sebuah media massa, meski secara usia tak setua jurnalistik teks (tulis).
Jika ditarik dari sejarahnya, foto jurnalistik berakar dari fotografi dokumenter setelah teknik perekaman gambar secara realis ditemukan. Tepatnya sebelum abad ke-20.
Embrio foto jurnalitik muncul pertama kali pada Senin 16 April 1877, saat surat kabar harian The Daiy Graphic di New York memuat gambar yang berisi kebakaran di sebuah hotel di halaman pertama.
Terbitan tersebut menjadi tonggak awal keberadaan foto jurnalistik pada media cetak yang kala itu masih menggunakan gambar sketsa.
Grafis pada surat kabar ternyata jadi daya tarik pembaca. Saat sajian foto secara banal hanya bisa dinikmati lewat prdouk percetakan, perkembangan foto jurnalistik sangat bergantung pada kemajuan teknologi mesin cetak.
Perkembangan foto jurnalistik kemudian sampai ada era modern dan dikenal sebagai “golden age” (1930-1950). Saat itu berbagai surat kabar maupun majalah menunjukkan eksistensinya dengan tampilan foto-foto indah.
Di era keemasan tersebut, muncul nama-nama jurnalis foto kondang seperti Robert Capa, Alfred Eisentaedt, David Seymour, hingga Eugene Smith.
Perkembangan foto jurnalistik semakin pesat. Terutama saat National Geographic meluncurkan terbitan majalahnya. Sejak 1959, majalah National Geographic memajang foto pada sampul depannya. National Geographic dikenal sebagai media yang menerapkan standar teknis tinggi untuk menjaga kualitas fotonya.
Foto Jurnalistik di Indonesia
Menurut Taufan Wijaya pada bukunya ‘Foto Jurnalistik’, fotografi masuk ke Indonesia pada 1841 melalui Juriaan Munich. Ia adalah utusan kementerian kolonial Belanda. Dari Juriaan Munich itu, kita mengenal Kassian Cephas, seorang pribumi dengan foto pertamnya yang diidentifikasi bertahun 1875.
Sejarah foto jurnalistik Indonesia diwakili kantor berita Domei, surat kabar Asia Raya, dan agensi foto Indonesia Press Photo Service (IPPHOS). Media cetak tersebut eksis di masa pra-kemerdekaan Indonesia.
IPPHOS pun jadi bagian penting dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Pernahkah kamu pernah melihat foto Soekarno yang membacakan teks proklamasi bersama Moh Hatta di belakangnya? itu adalah produksi dari salah satu pendiri IPPHOS, Frans Mendur.
Uniknya nih Nabs, foto proklamasi kemerdekaan Indonesia itu baru muncul ke publik pada Februari 1946 di harian Merdeka. Foto ikonik nan bersejarah tersebut tak bisa langsung muncul di surat kabar karena Jepang melarang penyebaran informasi mengenai proklamasi kemerdekaan.
Perkembangan foto jurnalitik di tanah air semakin konsisten dan berelanjutan setelah kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) pada 1992.
GFJA adalah galeri pertama yang fokus pada foto jurnalistik. Dengan kelas foto jurnalistiknya, kantor berita Antara menjadi katalis lahirnya jurnalis foto muda. Lewat jalur pendidikan, mereka mengembangkan minat dan wawasan terhadap dunia jurnalistik.
Kini, seiring perkembangan zaman, foto jurnalistik mengalami kemajuaan yang sangat pesat. Di era digital ini, para jurnalis foto bisa dengan mudah membuat, mengirimkan dan mempublikasikan foto-foto mereka.