Meski umurnya tak begitu panjang, Kesultanan Pajang (1541–1587 M)
masyhur menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan nilai kemanusiaan. Sebuah konsep hidup yang kerap diperjuangkan Gus Dur.
Serat Nitisruti atau dikenal dengan Naskah Kesultanan Pajang, merupakan karya ilmiah yang ditulis pada 999 H (1591 M) oleh seorang Pujangga Kesultanan Pajang bernama Pangeran Karanggayam. Naskah asli Serat Nitisruti aman dari pengrusakan dan manipulasi rezim setelahnya, karena tersimpan di British Library, London.
Serat Nitisruti adalah bukti nyata, betapa Kesultanan Pajang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ia menjadi salah satu — atau mungkin satu-satunya — warisan Kesultanan Pajang yang lolos dari pengrusakan dan penghancuran oleh rezim Amangkurat Mataram.
Kesultanan Pajang menjadi kerajaan Islam yang tak memiliki peninggalan apapun — baik berupa masjid tua ataupun bangunan kuno — karena diberangus dan dibabat habis oleh rezim Amangkurat Mataram. Bahkan, keturunan Kesultanan Pajang juga harus hidup dengan bersembunyi, agar tak dibabat rezim Amangkurat.
Penulis buku Atlas Wali Songo, KH Agus Sunyoto menyebut, rezim Amangkurat Mataram sangat bengis terhadap apapun yang berbau Kesultanan Pajang. Tak hanya menghancurkan peninggalan fisik (bangunan), identitas dan keturunan Kesultanan Pajang pun diberantas sampai ke akar-akarnya.
Para penerus dan dzuriyah (keturunan) Kesultanan Pajang, serta peninggalan beraroma Kesultanan Pajang, justru banyak muncul dari wilayah Jipang (kawasan yang selama ini dinarasikan oleh pendongeng Mataram sebagai musuh Kesultanan Pajang). Ini bukti ilmiah bahwa hubungan Jipang dan Kesultanan Pajang tak seburuk yang didongengkan Mataram Islam.
Manuskrip Padangan (1820) menyebut Jipang sebagai Biladi Jipang Padangan. Sebuah wilayah pinggir sungai Bengawan yang dipenuhi keluarga besar ulama dan tokoh-tokoh dzuriyah (keturunan) Kesultanan Pajang. Ini bukti bahwa energi dan pemikiran Kesultanan Pajang, justru terlindungi di Tlatah Jipang, tak seperti yang dinarasikan para pendongeng Mataram selama ini.
Identitas Kesultanan Pajang memang dihilangkan. Tapi, energi dan aromanya abadi. Bahkan sulit dimatikan. Gus Dur menulis, identitas Kesultanan Pajang tak lagi bergerak pada unsur kekuasaan. Tapi bergerak pada pemberdayaan di luar kekuasaan. Gus Dur menyebut, Kesultanan Pajang adalah inspirasi utama gerakan Non Government Organization (NGO) di Indonesia.
Serat Nitisruti sebagai pedoman hidup Kesultanan Pajang, justru lolos dari perburuan Amangkurat Mataram. Ini sebuah keajaiban yang sangat elegan. Naskahnya pun terus mengalami penyalinan. Serat Nitisruti merupakan pedoman dan perundang-undangan bagi masyarakat Kesultanan Pajang.
Niti berarti aturan, Sruti bermakna kitab suci. Serat Nitisruti berisi UUD dan pedoman hidup masyarakat Kesultanan Pajang. Di antara isinya adalah: anjuran bertauhid kepada Allah dan mengikuti Rasulullah SAW; pemerataan pendidikan logis (bukan dongeng); dan sikap tenggang rasa antar sesama.
Kesultanan Pajang memang usianya pendek. Tapi diakui atau tidak, sangat masyhur sebagai Kerajaan Islam yang menjunjung tinggi konsep mantiq (logika) dan ilmu pengetahuan. Sisi logis dan ilmiah Kesultanan Pajang inilah, yang selama ini dibabat rezim Amangkurat melalui naskah Babad berbasis Dedongengan.
Di antara isi Serat Nitisriti:
“Samya sumanggem agama/ ageming Nabi sinelir/ Muhammadinil Mustapa/ aterus ing lair batin/ wit yen tan trusing batin/ batal tan bangkit tumimbul/ krana sampurnanira/pangastuti ing Hyang Widhi/ nora kena rinewangan rewarewa//”
Artinya : “Semuanya melaksanakan agama/ yang diturunkan melalui Nabi terpilih/ Muhammadinil Mustafa/ diteruskan sampai lahir batin/ karena apabila tidak sampai ke dalam batin/ batal tidak mampu muncul/ karena kesempurnaan/ ibadah kepada Tuhan/ tidak boleh dilakukan dengan pura-pura//”
(Pupuh 2, pada 23 sampai 27, Sinom (8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a)), Serat Nitistruti.
“Kaping kalih ulahing dudugi/niniteni ulah kang tan yoga/ winor lan ulah kayekten/ sira dipun sumurup/ sameptaning wasisteng westhi/ yen marta ngemu wisa/ sayekti tan arus/ lan yen guyu ngemu rahswa/ luhung lamun tan mawi wisa upami/ ngarah lor kidul kena//”
Artinya: “Yang kedua capailah perilaku/ dengan memperhatikan perbuatan yang tidak pantas/antara campuran dan kesejatian/ kamu telah diberkati pengetahuan keteguhan jauh dari mara bahaya/ jika berbicara mengandung racun/ jangan diteruskan/ jika tertawa membawa wadi (kejelekan orang)/ alangkah lebih baik tanpa racun/meskipun itu mengarah ke sesuatu yang benar”.
(Pupuh 1, pada 18 sampai 20, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a)), Serat Nitistruti).
Identitas Kesultanan Pajang memang telah diberangus. Tapi, energinya abadi dan sulit dihilangkan. Energi Kesultanan Pajang berkutat pada unsur pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Tentu ini ilmiah dan terbukti secara empiris. Para keturunan Kesultanan Pajang, meniti jalan sebagai para pandega pemberdaya peradaban.
Serat Nitisruti menjadi pakem ajaran Pangeran Dandangkesumo Padangan, Pangeran Sambudigdo Lasem, dan Pangeran Sumoyudo Jojogan dalam membangun preradaban Islam Jawi. Konsep dan esensi dari Nitisruti, juga jadi ajaran yang kelak diteruskan para penerusnya.
Gus Dur menyebut bahwa energi Kesultanan Pajang akan terus hidup sebagai suluh peradaban. Dan itu terbukti nyata. Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, Mbah Jabbar Jojogan, serta Mbah Kohar Ngampel hingga Mbah Mutamakkin Kajen, kelak menurunkan banyak ulama pejuang peradaban di penjuru Pulau Jawa.