Baik bagi negara dan baik pula bagi masyarakatnya. Hubungan negara dengan rakyat haruslah semesra sepasang kekasih, yang masing-masing saling menghargai dan melindungi.
Mungkin satu tahun yang lalu, di warung kopi kecil di ujung barat Kecamatan Bojonegoro, teman-teman berkumpul. Salah satu teman memainkan gitar, satu lagi membaca buku, saya dan yang lain berbincang.
Tiba-tiba ada salah satu di antara mereka berceletuk untuk membuat kelas politik. Kelas politik di sini bukan ruang ajar yang di dalamnya terdapat pengajar dan pelajar.
Itu hanya istilah untuk grup WhatsApp yang dibuat untuk teman-teman yang mau berdiskusi bersama, membahas politik. Pasalnya, di grup besar kami, tak semua suka membicarakan politik.
“Politik itu apa sih?” seorang teman, sebut saja Tulos Adarma, mengerucutkan pertanyaan pada saya, mungkin karena saya satu-satunya lulusan ilmu politik di warung kopi, malam itu.
Selama empat tahun belajar ilmu politik, saya sendiri bingung untuk menjawabnya. Lebih tepatnya, kebingungan itu adalah bagaimana saya harus mengantarkan teman-teman saya untuk bisa memahami satu kata yang amat populer, sekaligus sulit dipahami itu.
Meski saya pun paham bahwa mereka telah punya jawaban masing-masing di kepala mereka, tapi saya tetap harus menjawab. Sebetulnya, jika hanya dilihat dari etimologi katanya saja, politik begitu mudah dipahami.
Politik diambil dari kata dalam bahasa Yunani, polis, yang berarti negara kota. Tapi apakah politik hanya demikian? Bukan. Politik bukan saja negara kota, melainkan segala apa yang terjadi di dalamnya.
Belum selesai saya memikirkan cara mudah untuk mengantar teman-teman saya, muncul lagi pertanyaan, “Apa hubungannya politik dengan cinta?” seorang kawan yang juga merupakan pria romantis idaman banyak perempuan, sebut saja namanya Radinal Bulan Puasa, mengajukan pertanyaan lagi.
Pertanyaan Radinal tentu terlampau menggelitik untuk dijawab dengan serius seperti menerangkan dari etimologi kata dan kemudian berlanjut pada beberapa pendekatan yang digunakan untuk memahami politik pada umumnya. Dan, benar saja, semua teman yang mendengar pertanyaan itu kemudian tertawa.
“Lha iki kok iso muncul kata cinta, piye ceritane?” salah seorang berseloroh. Radinal tak habis pikir untuk menjawab, “Lha mosok gak oleh bahas politik ambek cinta? Mosok kabeh kudu dewe-dewe koyok cah ra ndue bolo?”
Betul. Kali ini saya sepakat dengan Radinal. Malam itu tumben sekali dia pintar, meski saya pun bertanya, kenapa harus cinta yang dipilih untuk disandingkan dengan politik.
Sebagai orang yang sedang mengalami kekosongan cinta kala itu, mendengar kata ‘cinta’ saja saya sudah begitu muak. Tapi, tidak masalah, kami berdiskusi, bukan curhat masalah hati.
Politik hadir di mana-mana dan melekat pada lingkungan hidup manusia, sehingga semua hal berkaitan dengan politik, termasuk cinta. Kalian boleh tidak setuju, tapi tidak ada yang bisa mengelak bahwa hidup mereka tidak pernah lepas dari politik.
Dan untuk itu semua, Aristotle pernah mengatakan bahwa politik adalah the master of science. Akan jadi tulisan yang jauh lebih membosankan jika saya jelaskan mengapa Aristotle mengatakan demikian. Itu pun bisa kalian temui di mesin pencari di gawai masing-masing.
Tapi, saya tertarik untuk membahas kaitan politik dengan cinta seperti yang pernah ditanyakan oleh teman saya, Radilan, eh Radinal.
Saya tidak akan menjelaskan apa itu politik, karena kalian semua, seperti yang saya tuliskan di awal, sudah memiliki pandangan tentang politik. Tapi, apa yang terlintas dalam pikiran kalian ketika mendengar kata politik? Kotor? Licik? Kejam? Buruk? Apa lagi? Kekuasaan? Ya.
Politik tidak pernah lepas dari kata kekuasaan, beberapa bahkan mendefinisikan politik adalah kekuasaan itu sendiri, meski sebetulnya bukan. Kekuasaan jauh lebih luas dari itu. Kekuasaan adalah ketika A dapat mempengaruhi B untuk melakukan C, terlepas B ingin atau tidak ingin melakukannya.
Kekuasaan adalah ketika A bisa membuat B melakukan hal yang dikehendakinya, terlepas B pun menghendaki atau tidak menghendaki. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa A berkuasa atas B. Bukankah cinta juga begitu adanya?
Siapa yang punya kuasa di hadapan cinta? Tidak seorang pun. Sanggahlah bila kalian mau, tapi jika kalian masih berdiri teguh di atas kaki kalian, maka itu bukan cinta. ((Aku nulis begini karena aku sedang jatuh cinta)) —- percayalah, kalimat dalam kurung ini yang nulis bukan saya.
Alasan bahwa setiap momen cinta selalu disandingkan oleh momen jatuh adalah karena ketika kalian merasakan cinta, ketika itu juga kalian tidak mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kehendak kalian tidak lagi penting di hadapan yang kalian cintai, atau sedikitnya dia yang memberikan pengaruh dalam hidup kalian.
“Sayang, menurutmu aku cantik pakai baju warna biru atau baju warna merah?”
Pacarmu mungkin tidak memaksamu untuk mengenakan pakaian dengan warna yang dia sukai, tapi lihat bahwa pandangannya tentangmu sedikit banyak berpengaruh dalam, hal paling kecil saja, berdandan.
Ini berarti kamu telah memberikan pada pacarmu sedikit kekuasaan untuk menentukan hal-hal dalam hidupmu. Dalam pandangan saya, itu adalah hal paling kecil, belum lagi jika pacarmu begitu posesif dan bersikap dominan dalam relasi cinta kalian.
Maka, ia akan mengambil pengaruh yang besar dalam hidupmu. Ia akan berkuasa lebih besar dalam hidup kalian, baik ditempuh dengan jalan paksaan (dominatif) atau manipulatif yang membuatmu melakukan dengan kesukarelaan.
“Begitulah cinta, deritanya tiada akhir…” kalian pasti tahu dari mana asal kalimat itu, jika kalian pernah menonton sinema elektronik Kera Sakti. Menderita pun kalian jalani, karena kalian telah jatuh di hadapan cinta. Tidak lagi punya kendali atas diri sendiri.
Apakah hubungannya dengan politik?
Dalam hal yang paling ‘langsung’, kekuasaan cinta berhubungan dengan politik apabila dengan itu pacarmu dapat mempengaruhi perilaku politikmu, memaksamu memilih calon politisi yang dia kehendaki.
Lebih lagi jika kamu adalah orang yang berkuasa dalam hierarki sosial dan pacar atau pasanganmu mempengaruhimu dalam mengambil kebijakan yang menyangkut hajat hidup banyak orang.
“Yang, aku ikut tender proyek jalan raya A-C.”
“Gampang, nanti aku atur jalan supaya kamu menang.”
Ini mengapa orang yang ingin bertarung dalam politik harusnya belajar dari para pembual cinta yang telah menaklukkan hati banyak lawan jenisnya. Dalam masa PDKT, kebanyakan orang selalu menunjukkan betapa baik dirinya dan betapa ia mau mendengar semua yang dibutuhkan oleh orang yang ingin didapatkan hatinya.
Strategi inilah yang diterapkan oleh para calon-calon politisi untuk meraih suara rakyat. Kata manis penuh rayu dan janji-janji surga akan masa depan yang lebih baik bersamanya. Huekkk.
Kalau kalian bosan dengan politik dan politisi, harusnya kalian juga bosan dengan cinta dan si ‘dia’ dong, Nabs. Mereka kan sama-sama suka berbohong dan memperdayaimu. Hasss…
Tapi, Nabs, saya serius ketika mengatakan bahwa para politisi hendaknya belajar banyak dari mereka yang jatuh cinta. Bahkan setelah menjadi sepasang kekasih, segala keputusan menyangkut relasi cinta mereka harus didasarkan oleh kebaikan bersama.
Baik bagi si perempuan dan baik pula bagi si laki-laki. Politisi pun harus demikian, mereka yang telah mendapatkan jabatan publik haruslah mampu bersikap bijaksana dengan mengambil keputusan mendasar pada kebaikan bersama (general will).
Baik bagi negara dan baik pula bagi masyarakatnya. Hubungan negara dengan rakyat haruslah semesra sepasang kekasih, yang masing-masing saling menghargai dan melindungi.
Tidak mengapa kalau kamu adalah jomblo, Nabs. Kalian masih bisa tetap berbangga hati bahwa kalian masih merdeka dari tipu daya dan janji-janji surga. Wkwkwk